(23) Berfase

72 2 2
                                    

~Masih terngiang ucapan pepatah terdahulu. Jangan lihat siapa yang berbicara namun dengar apa yang dikatakan~

Genap sudah dua tahun menjalani perkulihan ini. Ada rasa bersalah yang tak dapat terungkap. Ilmu.
Sadar jika isi kepala ini hanyalah tak lain otak kosong. Bahkan mengalami kemunduran teratur.
Tak ada lagi nuansa kritis nan optimis.
Tak ada lagi semangat membara pantang menyerah.
Nyatanya tak bisa kubunuh impian terdahulu. Aku terperangkap dalam ruang imajinasi yang tidak dapat kusentuh. Ketika kecil pemikiran seolah dewasa. Namun ketika dewasa pemikiran seolah anak-anak.

Ah, aku bimbang dalam kelarutan. Dilema dalam kebisuan. Tersurut dalam berfase. Berubahan kemunduran berlarut-larut membutku tersulut pada keterpurukan.

Ada rasa yang mendadak datang. Rindu percakapan dengan makhluk astral yang tak mengenal rasa. Setiap kali diri hanya bisa terbungkam seraya mengamati aktivitasnya di BBM. Ia orang yang sibuk dan dicintai banyak orang. Sedangkan aku hanyalah penganggum rindu yang meringkuk.

Aku ingin melihat kesuksesan nyata yang ia raih dari jauh. Bahkan senyum, tawa dan bahagia meski hanya dari sosial media.
Aku ingin menjaganya dari hatiku yang menggebu. Emosiku yang menyala dan rinduku yang bersarang.
Aku ingin mendoanya dari jauh. Semoga Tuhan memberikannya kebahagiaan, kesuksesan dan kemudahan dalam setiap langkah.

Meski aku tahu bahwa mengaguminya adalah kenyataan yang pahit. Padahal, sudah jelas ia selalu menjaga jarak, menjauhi dan mungkin menganggapku seolah epidemi. Padahal aku juga tahu bahwa ia suka mempermainkan hati wanita alias playboy cap kampak. Namun namanya terus saja terperangkap dalam sanubari.

Sebab cinta tak butuh alasan. Nyatanya cinta yang menyakitkan juga cinta.
Ana uhibbuka filla.

"Jadi benar, Kakak mau berencana melupakan calon dokter itu?" tanya Yuliana memastikan. Hanya dia yang tahu paling detail tentang hubungan asmaraku.

"Seharusnya sih begitu. Meskipun ada kemungkinan yang paling cepat untuk melupakannya." Hal yang paling mujarab dan terbukti di kalangan anak muda. "Jatuh cinta pada orang lain."

"Jadi, siapa? Heseh, bisa juga move on cie ...." Senyuman Yuliana begitu mekar hingga memberikan sedikit keriput setelah berhenti. Meskipun ia tidak memberikan solusi. Setidaknya Yuliana merupakan pendengar yang baik.

"Ah, belum tahu siapa. Hal yang jelas ingin mengosongkan hati saja dari siapa pun. Masih banyak yang paling penting dipikirkan. Berusaha menjadi lebih baik dan pribadi yang ideal," jawabku sok bijak. Alih-alih menyingkirkan perasaan tertarik setiap kali melihat lelaki menarik. Banyak sekali soalnya. "Jadi, bagaimana denganmu dek? Ada perkembangan dari si doi enggak?"

"Enggak ada sih Kak. Masih tetap sama, tetap menunggu sampai kini." Seutas senyumnya terbit kembali diiringi semilir pagi yang menggelitik.

"Oh." Aku berusaha menetralkan rasa gemuruh yang mendera. Tentang kacaunya diri dan asmara yang bertepuk sebelah tangan. Sesekali mengalihkan pandangan pada tumbuhan yang membiaskan keteduhan daunnya. Sayangnya, dari sekian banyak jenis bunga yang ditanam hanya satu yang mekar. Hanya sekuntum mawar.

"Yuli pulang dulu ya Kak," pamitnya setelah tidak ada lagi percakapan selama lima belas detik.

Aku mengangguk dan membiarkannya pergi begitu saja. Meskipun ingin berbicara lebih banyak. Aku tidak boleh mempertahan ego yang bersarang hanya karena ditinggal sendiri. Penyendiri ulung ini tidak perlu merasa kesepian. Sebab rasa sepi adalah bagian dari teman sejati. Tidak akan pergi sebelum ada orang-orang yang menghampiri.

Alam semesta adalah cara pandang yang membuatku akan merasa terkagum dengan beragam macam kuasa-Nya. Aku bersyukur Mama suka menanam bunga. Meskipun jarang ada yang berbunga. Tetap saja mereka termasuk dalam kategori tumbuhan yang berbunga. Seperti jepun, melati, kenanga, dan lainnya. Sebagian tumbuhan yang lain merupakan tanaman obat seperti tapak darah dan bunga telang. Selain sebagai penghias ruangan, juga bermanfaat untuk kesembuhan bagi orang-orang yang sakit. Termasuk jiwa yang tengah sakit bersebab depresi karena pemikiran tidak sanggup berkutat dengan angka.

Kedua kelopak mataku beralih pada sesuatu yang berbeda. "Mang, sini!" panggilku pada penjual bunga yang lewat seraya melambaikan tangan. Jarang-jarang ada yang lewat. Kalau saat kecil dulu biasanya ada dalam kurun waktu seminggu sekali.

"Manggil-manggil. Emang ada duit?" tuding Mama menghampiri dan mendekatkan diri di posisiku yang berada di dekat tiang gang rumah.

"Eh, ada Ma." Walaupun sedikit. Ada sesuatu yang ingin kucari. Daun mint dan lavender. Sekilas netraku menangkap ada dedaunan yang menjalar ke bawah dari pot itu. 

Tukang bunga baru saja tiba setelah berbalik dari suara panggilan. Sedangkan aku mulai mendekatkan diri pada sesuatu yang dituju. Batinku tidak menyangka kalau bunga yang dijual merupakan bunga biasa. Daun yang menjalar tadi merupakan krokot. Hanya saja ditempatkan di pot yang indah.

"Mana dek? Ini empat puluh ribu saja," ucapnya spontan.

Sedangkan aku masih tidak habis pikir daritadi. Hah? Enggak salah itu? Bedah jauh dengan ekspektasiku pada tanaman yang Mama tanam. Kelihatan hijau semua dari jauh. Padahal krokot ini ada di bagian mereka. "Mamang tahu enggak, ini namanya apa?" tanyaku menunjuk barisan bunga lain.

"Enggak tahu dek, abang hanya jual saja," jawabnya jujur. "Yang mana, ini harganya empat lima saja."

Yah, gimana sih. Tukang bunga, tetapi enggak tahu namanya gimana. Enggak meyakinkan kalau mempromosikannya. Setidaknya penjual bunga harus tahu namanya apa. Kalau begini, ini sama saja menanyakan sesuatu tapi enggak tahu apa-apa selain pokoknya bungalah yang dijual. Anak kecil pun tahu itu. "Mang, aku lagi nyari daun mint sama lavender. Mamang ada nggak?"

Ia menggelengkan kepala dan terpaku dengan jawaban yang akan diberi. Perlahan, aku melihat sesuatu yang terkucil namun tidak kelihat. Namun bagaimana lagi. Pertama, aku hanya modal nekat saja memanggil penjual bunga itu. Kedua, hanya ingin membeli sesuatu yang kubutuhkan saja. Jadi, kalau bagian terpaksa membeli atas dalih kasihan. Aku tidak bisa kali ini. 

"Bang, kalau jualan. Buat juga tuh yang sering diminati sama orang. Daun mint, rosmery, lavender gitu. Bunga yang bisa menghasilkan manfaat sekaligus cantik," saran Mama dengan frontal setelah ikut-ikutan melihat. Drama sok tahu mulai tayang kali ini.

"Yaudah deh Ma. Enggak ada yang kucari," putusku berusaha mengakhiri tayangan. Aku tidak ingin drama ini semakin berlanjut dan membiarkan waktu terbuang begitu saja dengan percakapan enggak berfaedah.

"Maaf ya Bang, enggak jadi beli. Abang enggak marah kan?" tanya Mamaku lebih lanjut sebelum membiarkannya pergi begitu saja.

Sedangkan aku masih bertafakur sejak tadi. Tentang perbedaan yang signifikan dari bunga itu dan bunga milik Mama. Jenisnya sama. Hanya saja kemenarikannya berbeda. Aku menganggap lebih mahal bunga yang dijual ini daripada bunga di pekarangan. Seolah tidak berharga.

Kalau dipikir sekali lagi, kualitas baiknya tetap sama. Kemasannya berbeda. Itu berarti seumpama dengan diriku ini. Kualitas kepribadian yang baik hati dan tidak sombong itu merupakan suatu kekuatan. Aku seperti bunga-bunga di pekarangan Mama. Cantik, namun tidak kelihatan. Kemasan dari cara berpenampilan dan berkomunikasi harunya bisa diperbaiki. Agar terlihat lebih nyaman dan sedap dipandang oleh orang yang melihat.

Bersambung

Physics Not DoctorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang