~Ketika Allah menghendaki kebahagiaan untukmu, maka tak ada seorang pun yang dapat mencegahnya.~ (Anonim)
Aku melihat pantulan diri ini di depan cermin seukuran diriku. Terlihat buram dan tidak terurus. Entah seberapa dekade lalu tak sedikit pun peduli dengan kamar ini. Ah, lebih tepatnya diriku sendiri. Terlihat sangat urakan.
Kenapa Ra seperti ini? Bukankah Ra sendiri yang pernah berjanji menjadi orang yang lebih baik lagi dan percaya diri apabila ada cermin?
Nyatanya itu semua tidak berarti sedikit pun. Ada atau tidaknya fasilitas di depan hadapan Ra toh tidak merubah kualitas hidup. Ra tetap seperti yang dulu. Pecundang dan tidak bisa diandalkan. Malahan Ra tidak punya semangat saat ini.
Impian Ra musnah. Semua yang Ra angankan terasa sia-sia dan tidak ingin bangkit lagi. Ra terbelenggu pada mimpi yang tak seharusnya dijadikan panduan dalam kehidupan masa depan. Meskipun begitu, sedikit harapan cahaya masih ada di relung.
Aku melihat Mama sebentar lagi menuju kamar. Kuputuskan percakapan monolog ini sebelum ada desas-desus diriku tengah gila dan dibeberkan ke seluruh penjuru. Lebih baik aku melanjutkan solat isya.
Aku mengingat tentang kakak stambukku yang belum juga tamat. Ah, mereka bahkan tidak terlalu mengeluhkan hal ini. Kak Syifa, Bang Fadil, dan ketua kelasku juga belum tamat. Masalahku tidak besar sebenarnya. Tapi aku sendiri yang membesarkannya. Menyebalkan sekali. Seharusnya ini bisa menjadi pelajaran untukku. Bukan ajang menjatuhkan diri. Kenapa sih aku lupa dengan firman-Nya pada surah al-baqarah ayat 286?
Astaghfirullah, Allah mempercayaiku mampu melalui ini semua. Aku sungguh lupa pada kesabaran yang harus dipupuk rapat-rapat dan rutin. Bukan dihempaskan begitu saja. Aku telah berdosa menyalahkan takdir tak menyenangkan itu semua. Entah apa yang terjadi sebenarnya denganku? Aku telah berputus asa.
Aku ingat perkara sebuah ayat yang menampar relungku. Ketika aku mencoba membaca kandungan ayat yang terbaca di tengah keputus-asaanku di waktu ashar kemari sore. Saat itu otakku mendadak konslet dan hanya terpikir perkara kematian saja.
Dia (Ibrahim) berkata, "Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat." (Al-Hijr, 56)
Pertama kali dalam sejarah hidupku. Aku merasakan keputus-asaan yang luar biasa. Rasanya tidak ingin bangun dari tidur dan membiarkan diri ini dalam mimpi. Lari dari kenyataan dan aku tidak ingin kembali ke dunia nyataku. Semua yang kulihat bagaikan kelabu. Tak ada kebahagian apalagi cinta yang membujukku untuk tetap bertahan. Omong kosong dengan iming-iming bertahan. Semuanya lindap dan bahagia apabila terpuruk.
Semua itu telah terhempaskan beberapa waktu lalu atau semenjak orang lain membeci. Namun aku sendiri yang tak percaya. Biarlah mereka akan menertawai kebodohanku yang teramat. Aku sudah tak punya alasan untuk tetap bertahan.
"Hei bangun. Gitu aja kau ya. Enggak ada berubahnya. Kau kerjain itu. Udahlah dibenci orang. Enggak tahu diri," ucap Mama sarkastis.
Hatiku merasa dongkol seketika. Bahkan tidak berdaya. Otakku yang pendek merasa sesak napas ketika di hadapan soal-soal tersebut. Batuk yang mulai meradang dan aku merasa migran. Tak ada yang lebih baik selain air mata terurai lega di pipiku. Aku masih memilih berbaring di atas katil dan menenggelamkanku wajah di bantal. Tapi aku tidak bisa terus-terusan begini. Otakku mendadak mampet. Entah berapa jam lamanya aku menghabiskan waktu untuk tidur dan bermimpi. Lihatlah, bahkan pipi ini sepertinya semakin tembam.
Aku mengambil gawai dan menyembunyikan diri di sudut gelap. Rasanya sudah lama aku tidak menyendiri seperti ini. Masa kecilku yang suram. Bertemankan sepi yang menenangkan hati. Percakapan grub WhatsApp-ku mungkin sudah pada berdebu. Ribuan chattingan sengaja tidak kubaca atas dalih tidak ingin menganggu diri. Padahal secara logika amanah dan petuah di dalamnya sebenarnya malah menambah antrian kegusaran kalbuku. Aku tahu, rasa pengecut ini sungguh keterlalu. Tapi mau bagaimana lagi. Relungku sudah kadung putus asa. Pemikiran untuk mengakhiri hidup tengah memenuhi ruang kosong kalbuku.
Nadia Zahira
Mas, Ra minta maaf ya slow respon.Mas Alfie
Kenapa Ra?Nadia Zahira
Ra frustasi Mas. Selalu ditolak terus skripsi Ra.Aku tahu seharusnya tidak seperti ini. Tetapi mencoba jujur dengan situasi ini saat ini mungkin bisa meringankan bebanku. Aku sungguh terbebani dengan tanggung jawab. Namun tak mampu berkutik sedikitpun. Terbelenggu ketakutanku tak mampu melewati itu semua. Tenggelam dalam kegelapan yang nyata.
Mungkin berbicara dengan Mas Alfie akan mengurangi kegusaran dalam kalbu. Ironi sekali, ketika aku sudah menemukan orang-orang yang berkecimpung dalam literasi. Aku sendiri yang malah bersembunyi dari mereka. Ada sebuah ketidaksanggupan barangkali mengetahui fakta aku harus menulis lagi dan melupakan skripsi ini.
Bukan hanya bagian fiksi saja aku berkecimpung. Bahkan pada ranah non fiksi juga. Cerita perjalanan ataupun membuat iklan layanan. Semuanya sangat menarik bagiku dan rasanya tidak ingin melepas mereka. Kegiatan menulis adalah hal yang paling menakjubkan. Sedangkan Mas Alfie memberikanku persepsi berbeda untuk menulis di blog. Sungguh menggembirakan ketika memasukinya akan kutemui orang-orang hebat. Baik itu dosen, akademisi, ibu rumah tangga, dan lain-lain.
Mas Alfie
Jangan terlalu dipaksakan Ra. Coba dulu melakukan hal yang bisa membuat Ra senang. Misalnya membaca buku yang Ra suka.Aku sedikit tersenyum membaca balasan pesan tersebut. Aku tahu itu semua menyenangkan perasaanku. Membaca buku dan menuliskan kelanjutan cerita yang terjeda. Sayangnya pintu itu semua suda kututup dan tak kuizinkan untuk menyentuhnya. Aku sungguh takut terbelenggu lagi dalam keterlenaan seperti dulu. Tak bisa terkordinir mana yang lebih dulu kuprioritaskan. Kenyataan yang harus kuhadapi adalah rutinitas itulah yang menekan batin ini.
Astaghfirullah, aku tengah depresi. Tangan ini seolah keringat dingin. Padahal orang lain melihatnya biasa saja. Pemikiran semrawut dan spekulasi beraneka macam membuatku terbelenggu dalam nestapa. Bahkan tingkat kewaspadaan nyaris lindap dan tidak peduli lagi pada sekeliling.
Padahal aku sendiri dulunya dengan bangga akan mempertahankan ini semua sampai akhir. Nyatanya kesulitan itu membawaku ke lembah yang curam. Ada banyak kerikir dan mampu melukaiku sewaktu-waktu.
Ah, inikah buah dari kedegilanku? Orang bilang jangan mengambil berat judul skripsiku. Atas dalih aku menyanggupinya, aku pun mengiyakan. Tapi, itu semua tidak berarti. Sebenarnya di mana masalahnya? Setelah menyelisik lebih lagi. Mungkin ini alasannya. Apa yang menurutku baik, belum tentu itu baik.
Mungkin benar apa yang dibilang Mas Alfie. Aku harus menemukan dulu kebahagianku jika berada di situasi depresi begini. Kebahagiaan dulu yang pernah hilang. Pengetahuan tentang seluk beluk kedokteran.
Iya, aku sangat menyukai itu. Mungkin jika aku kembali membaca dan mencari tahu kembali akan membangkitkan hormon dopamin ini. Apalagi ranah kedokteran itu patuh pada kedisiplinan dan kebersihan.
Tuh kan, kenapa tidak menyadari ini lebih dulu? Para penulis di dunia jingga itu berasal dari kalangan yang berbeda. Sudah tentu beberapa di antar mereka itu jurusan kedokteran bahkan menuliskan kisah atau seputar tentang dunia medis.
Ya, kali ini aku harus kuat. Sebab menemukan kebahagian yang berbeda untuk melanjutkan kisahku yang belum sempurna. Meskipun masih dalam masanya pandemi. Aku berharap tahun ini bisa bertemu dengan si makhluk astral itu. Semoga saja, kuharap doaku bisa terkabul.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Physics Not Doctors
ChickLitNadia Zahira bercita-cita menjadi guru sejak Sekolah Dasar. Namun, setelah memasuki Sekolah Menengah Pertama ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Keinginannya diperkuat dengan mempelajari olimpiade Biologi sejak Sekolah Menengah Pertama hingga Se...