(5) Renyem Dadakan

121 9 25
                                    

~Senyum itu tak semerekah luang lingkup sesungguhnya~

Aku melirik ponselku yang berdering dari aplikasi BBM malam ini. Entah kenapa gawai yang dulu selalu kujadikan hanya sebagai pendukung kini seolah kebutuhan. Eh, kebetulan sekali ada notifikasi masuk.

Muhammad Mukhlis Muflih, Ping!

Nadia Zahira, iya

Muhammad Mukhlis Muflih, lagi apa?

Tumben nih orang nge-chat. Oh, aku lupa tanyakin dia kuliah jurusan apa.

Nadia Zahira, lagi chattingan aja. Oh, iya situ kuliah jurusan apa?

Muhammad Mukhlis Muflih, kedokteran.

Nadia Zahira, aku dari SMP pengen banget masuk jurusan itu. Gimana kuliah di situ menyenangkan nggak?

Muhammad Muklis Muflih, ya gitulah.

Nadia Zahira, eh katanya kuliah kedokteran mahal ya?

Muhammad Mukhlis Muflih, memang iya.

Nadia Zahira, makanya karena aku nggak bisa masuk kedokteran nanti aku cari suami calon dokter aja.

Muhammad Mukhlis Muflih, oh

Nadia Zahira, iya

Muhammad Mukhlis Muflih, (read)

Kebetulan banget, bisa tanya-tanya nih. Aku menjitak jidatku seraya mengucapkan astaghfirullah, kenapa aku bilang gitu ke dia. Otakku mulai tidak waras bersebab sikap frontal ini.

"Kak Ra!"

Suara Yuliana terdengar sampai ke telingaku. "Masuk aja!" balasku cepat.

Ia datang kemudian mengendap-ngendap di balik daun pintu. Perlahan dia mulai menghadapkan diri padaku membentuk garis lurus.

"Yaelah, masih aja pemalu tingkat akut," cibirku geram.

Ekspresi wajahnya hanya cengar-cengir tanpa dosa dan berusaha mengatakan sesuatu. Sedangkan kedua tangan dimasukkan ke dalam baju tidurnya.

"Ehem, coba tebak Kak," ucapnya antusias.

Kalimat yang masih dalam kategori ambigu. Datang-datang disuruh menebak. "Tebak apanya? macam cenayang aja ya."

Ia mengerucutkan bibir. Aduh, apa aku yang nggak peka kali ya. Oh, tebak suasana kalbu rupanya. "Iya-iya, lagi bahagia kan?"

Yuliana menggeleng. Bibir tipisnya masih dirapatkan dan matanya seperti orang China.

"Sedih?"

Ia tetap menggeleng.

"Oke-oke, nano-nano. Tapi bukan nano-nano high scholl ya. Ada senang, sedih, ngreget dan macam-macam kan?"

Akhirnya dia mengangguk juga.

Straight number one, isyarat jatuh cinta tingkat kedua. Padahal sering makan hati, tapi kok hatinya nggak mau berpaling dari manusia yang diam-diam bertahta ya. Busyet, ini pasti nggak pakai sistem pemerintahan presiden. Makanya nggak pakai periode. Sebagai seorang gadis yang sedang beranjak dewasa pasti tidaklah lepas dengan virus merah jambu.

"Kak, Yulia kan berteman baik sama temannya, ...," curhatnya penuh derita.

"Oke, kalau begitu sabarkan hati dan lihat apa yang terjadi selanjutnya. Jalani hari-hari penuh suka cita. Jangan mentang-mentang naksir orang. Tiba-tiba setiap tempat ada dia. Kayak hantu tahu digentayangi terus."

Physics Not DoctorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang