(13) Terlalu Dini

35 4 19
                                    

~Ada dua konsep yang berbeda. Terlalu dini atau lebih dini. Maka orientasi manakah yang lebih dominan dalam hidupmu?~
***

Orang bilang terlalu dini untuk menyerah, melepaskan asa, dan melindapkan impian. Namun pemikiranku bisa saja berbalik arah menjadi hal yang tak terlupakan. Entahlah, rasanya ketika aku berada di hadapan mereka seperti remahan rengginang saja atau butiran rinso yang sekali kucek langsung hilang. Aku sadari memang, hati ini sangat membenci fisika. Otakku terlalu absurd menguraikan deretan angka yang membuat kepala berdenyut. Ada sebab yang paling bisa diterima akal. Pertama, aku tidak menyukainya dan yang kedua, aku tidak mengulanginya. Maka sudah bertambah pula rasa malas dan kebencian itu yang menyelinap dalam dadaku.

Pukul satu setengah siang aku sudah berada di depan kontrakan Kanaya dan Inaya Fatia. Kini panggilanku tidak dijawab oleh Fatia. Rasanya enggak enak ya kalau panggilan kita tidak dijawab. Sedangkan kepada Kanaya aku masih belum terbiasa. Terlalu dini menjadikan ia sebagai teman yang sok akrab. Bahkan nomornya saja aku tidak punya. Untung saja Fatia sempat mengirimkan lokasinya

Kanaya menyibakkan tirai jendela dan melihat ada aku di luar. Suara ceklekan membuktikan ia tengah membuka pintu untukku. "Eh, Ra. Kok enggak bilang udah di depan."

Aku tersenyum getir menyahut sambutannya. Kerudung instan hitamnya menutupi dada dan ia memakai stelan baju tidur ungu polkadot. Perasaanku masih buruk hari ini. Namun senyumannya mampu menyihir kebahagiaanku. Uh, cepat sekali suasana hati berubah.

"Masuk saja Ra, Fatia masih halaqah. Palingan setelah jam lagi dia sudah pulang." Ia membuka pintu selebar-lebarnya dan mengarahkanku untuk menempati suatu tempat.

Halaqah? Rajin banget sih dia ikutan yang begituan. Aku pikir Fatia itu hanya doyan belajar saja. Aku saja yang rumahnya jauh dari kampus sering enggak dapat izin dari Mama. Konsepnya sederhana memang. Ketika aku berusaha mendekatkan diri kepada-Nya pasti tidak sungkan untuk menghadiri kegiatan itu. Selalu ada cara ketika cinta pada lingkaran takwa itu melekat. Namun kalau rongga dada dipenuhi dengan setan paling kampret. Uh, mendengar namanya saja sudah malas. Termasuk diriku saat ini.

Aku mengiyakan paham dan menduduki karpet merah yang sudah terbentang. Sesekali melirik Kanaya yang kembali sibuk di meja belajar pendeknya. Tempatnya masih strategis berada di hadapannku dan masih dapat menjangkau daerah luar dari pintu yang terbuka. Kelihatannya ia begitu serius mengerjakan tugasnya tanpa ada paksaan. Jadi iri deh, aku saja tidak seperti itu.

"Lagi ngapain?" tanyaku basa-basi dan memecah keheningan.

"Oh, ini hanya laporan kok. Bentar lagi juga siap. Nanggung soalnya. Masih banyak laporan lain yang ngantri."

"Oh begitu ya. Aku saja lagi capek mengerjakan laporan. Tanganku kayaknya masih sensasi gempor deh," curhatku tidak mau kalah. Mungkin menundanya saat ini tidak menjadi masalah. Namun lihat saja nanti di jam berikutnya. Diri mulai terasa terbebani dengan waktu yang tidak akan berjalan mundur. Keseringan mengerjakan laporan itu di jam tidur sih. Ya, namanya mahasiswa suka gitu. Sering banget dikejar deadline. Rasanya jantung ini ingin dead duluan. Entah kenapa aku masih belum punya keberanian dan tekad untuk menegaskan diriku dalam menyelesaikannya lebih dulu.

"Ada kalanya kita akan memasuki sebuah fase kejenuhan pada sebuah rutinitas. Makanya tidak jarang beberapa orang akan berusaha mengembalikan mood-nya dengan beragam cara. Namun kalau memang sudah mendapatkan semangat itu lagi. Sebaiknya jangan disia-siakan. Segera sikat sampai dapat," ucapnya sembari fokus menulis, "Ra, tunggu sebentar ya. Saya mengambil minum dulu untukmu." 

Aku mengangguk dan mengiyakan apa yang ia instruksikan. Setelah itu mengabsen seluruh ruangan kontrakan yang memiliki kamar tidak lebih dari dua ini. Warna dinding abu-abu dan setiap pintu memiliki penanda masing-masing. Maka pintu ruangan yang pertama kali ketemu pasti punya Fatia. Terpampang jelas soalnya dengan tulisan Comic. Terlihat sederhana dengan warna hitam. Sedangkan pintu selanjutnya juga begitu. Hanya saja kedua bola mataku belum bisa menangkap tulisannya. Terlalu kecil jarak pandang mataku untuk bisa melihatnya. Mungkin saja itu nama lengkap Kanaya juga.

Aku mulai merasa bosan.   Sepertinya menuliskan ide cerita atau melanjutkan cerita adalah cara paling ampuh untuk membunuh kebosanan. Bahkan semenit yang lalu ditinggal oleh Kanaya ke dapur berasa sepuluh menit. Waktu itu relatif ya. Kadangkala merasa cepat ketika banyak urusan. Kadang merasa lambat ketika menunggu begini.

Kanaya membawa sebuah nampan yang berisikan beberapa donat dan sirup. Wuah, mewah sekali hidangannya. Jadi takut merepotkan nih.

"Silahkan Ra, tadi pagi baru dibuat nih."

"Cius ini Nay?" Dahiku berkerut turut mengekspresikan ketidakpercayaanku.

"Iya."

"Wuah, salut aku loh. Aku saja seperti enggak punya waktu untuk ngebantu orang tuaku Nay.  Bahkan kondisi kamarku saja berantakan enggak menentu kalau sudah ngerjain laporan. Rahasianya apa sih?"

Kanaya masih belum menjawab pertanyaanku. Ia merapikan kertas-kertas yang ada di mejanya. Entah mungkin aku salah dalam curhat atau pertanyaanku yang begitu sulit.

"Saya dulu juga gitu Ra. Balik lagi ke kitanya dihadapkan sebuah permasalahan. Ada yang menganggapnya memang biasa saja, ada pula suatu beban. Tapi kalau masalah kebersihan ruangan sama kuliner. Bagi saya ya harus dinomorsatukan. Bisa jadi itu merupakan ladang inspirasi untuk menciptakan kreasi. Termasuk cara cepat buat ngerjain tugas. Otomatis kan kita ngerasa nyaman kalau berada di lingkungan yang bersih dan pekerjaan beres. Enggak ada beban aja gitu. Coba aja pikirkan prioritas dengan memanajemennya. Enggak usah mikir terlalu dini untuk mencoba, tetapi sebaiklah berpikirlah sebaiknya lebih dini mencoba. Insyaa Allah ketemu itu Ra. Hal yang terpenting jangan nyerah. Hidup ini memang keras, tapi jangan nyerah sama keadaan," ucapnya sembari menatap lawan bicara.

Aku tafakur sejenak dengan ucapannya barusan. Memori seluk beluk rumahku sudah layaknya kapal perang. Sudah berdebu dan bahkan tidak diurusi selama berbulan-bulan. Padahal kalau dibilang aku tuh ya kuliah saja. Kok bisa masih ngeluh. Baju dicucikan, disetrika, makan ya tinggal makan. Itu pun berasa masih kurang. Heran deh, ke mana semua waktu yang kumiliki saat ini? Ah, aku selalu merasa lelah duluan dan kebanyakan tidur. Menyebalkan, Ra itu memang tidak tahu diri. Selebihnya menghabiskan waktu untuk menulis dan membaca yang enggak ada hubungannya di jurusanku sendiri. "Ada enggak jadwal yang Nay tulis di buku atau kertas gitu untuk menyusun rencana?"

Ia menatap langit sembari mengingat-ngingat seolah ada jawabannya di atas sana. "Hm, tergantung kebijakan masing-masing. Kalau dulu Nay pernah dan sering buat dari hal yang paling kecil hingga besar. Kalau sekarang malah beda. Kalau seperti rutinitas udah enggak kepikiran lagi ditulis. Hanya deadline tugas dan acara saja sih. Kalau orang bilang enggak terpatok namanya." 

Kini aku tahu jawabanya. Pilihan mengutarakan permasalahan pada Kanaya bisa menemukan solusi. Walaupun sebenarnya ia memberikan pilihan. Jalan hidup dan pengalamannya bisa dijadikan sebagai pentunjuk.

"Assalamualaikum," ucap Fatia yang baru saja memasuki rumah. Sepatunya langsung dijinjing.

Bersambung

Physics Not DoctorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang