(18) Keberhasilan yang Bersyarat

41 2 2
                                    

~Sebuah akumulasi dari intensitas latihan sebelum di medan perjuangan.~

Aku menggeret sebuah meja persegi yang ukurannya sedengkul ke arah ruangan tengah setelah memastikan lantai sudah dipel. Kemudian mengelap setiap bagian alas dengan serbet yang masih bersih. Posisi penerangan tepat di bawah bola lampu yang ukurannya dua puluh tiga watt. Cocoklah digunakan untuk belajar dibandingkan penerangan lima watt. Jika dulu aku selalu merengek akibat diomeli belajar di tempat yang remang dan tidak bersahabat. Kini beberapa posisi ruangan telah berganti menjadi lampu berjenis LED yang lebih cerah.

Sebenarnya membaca di tempat yang kurang intensitas pencahayaan itu tidak akan langsung membuat mata rusak. Melainkan hanya kelelahan saja. Aku pernah memperhatikan kinerja pupil secara iseng dengan cermin. Ketika posisi gelap, pupil akan melebar untuk mendapatkan cahaya lebih banyak. Sedangkan ketika terang malah sebaliknya. Sehingga, ketika belajar di tempat yang lebih gelap akan merasa ngantuk. Kalau sekali-kali ya tidak apa-apa. Asal jangan rutin saja. Hanya saja, jiwa penasaranku tentang suatu ilmu itu pasti akan tidak tertahankan dalam waktu lama.

Meskipun waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Inilah kesempatan ketika semua orang terlelap dan hanya ditemani beberapa suara jangkrik. Biasanya hawa juga semakin sejuk. Konsentrasiku berada di tingkat puncak pada saat seperti ini.

"Emangnya mau lomba Kaligrafi yang bagaimana?" tanya abang Zain sembari fokus menghitung pendapatan hari ini. Ia bekerja sebagai pedagang ketengan di sore hari. Sedangkan paginya mengajar. Pendapatan mengajar sebagai guru honorer tidak memberikan dirinya kesejahteraan yang lebih baik sebagai seorang laki-laki. Bahkan di umurnya yang sudah cukup untuk menikah. Tabungannya masih sedikit dan hidup serba pas-pasan.

"Enggak tahu bang. Enggak ada dikasih tahu, aku juga pertama kali mengikutinya."

Ia mengerutkan dahi mencerna ucapanku. Sembari berasumsi ini itu dan ini merupakan bagian yang paling membingungkan. "Macam mananya kau, ada tiga cabang dalam perlombaan kaligrafi. Kau pilih yang mana?" Ia menjeda kalimatnya menyisakan ucapan yang menggantung. Berusaha menjelaskan namun enggan mengucapkannya. "Cabang kaligrafi itu ada tiga. Cabang pertama tulisan biasanya yang sesuai dengan kaidahnya. Namanya Kaligrafi Naskah. Cabang kedua kaligrafi yang sengaja dihiasi menggunakan mal namanya Kaligrafi Hiasan. Sedangkan cabang kaligrafi yang ketiga itu kaligrafi yang dihiasi juga, namun dikerjakan di papan. Namanya Kaligrafi Dekorasi."

Entah cabang yang mana pun itu. Kali ini aku akan tahu diri. Semua yang dibilang abang Zain masih sulit kumerti sebelum aku benar-benar mengalaminya sendiri. Kemampuan ini belum ada di diriku. "Paling mudah saja bang dan enggak ribet."

"Yaudah, kaligrafi naskah saja. Hanya menggunakan tinta dan kertas karton," putusnya tanpa basa-basi.

Ia mengambil sebuah papan dan kursi kemudian membentuknya menjadi meja belajar yang ukurannya sepinggang diriku. Setelah itu menarik kursi biru sebagai tempat duduk. Sedangkan aku, masih belum bisa berkedip melihat kelakuannya. Sesekali merasa kalau saat ini tengah menjadi Cinderella yang bertemu bapak peri dan memberikan sebuah sihir dalam sekejap dengan kedua tangannya. Tentang bagaimana ia menjadikan tempat ini lebih nyaman dipandang dan ditempati. Padahal, aku sudah memerlukan banyak waktu hanya untuk hal-hal sederhana.

Aku mengambil sesuatu yang sengaja kusimpan sejak lama. Sebuah rotan milik abang Zain yang sudah tidak digunakan lagi. Dulu ia sering menggunakannya saat baru pulang dari pesantren. Aku sengaja memungutnya ketika tidak digunakan lagi. Abang Zain sudah memiliki pulpen kaligrafi sebagai penggantinya.

"Nah, gunakan tinta ini," tawarnya ketika aku merentangkan kertas putih di atas papan ujian.

Tinta itu berada di dalam tempat kuno yang tutupnya cobel sebelah. Walaupun begitu aku masih bisa menggunakan tinta tersebut di papan ujian yang alasnya lebih halus daripada meja seluas ini.

Aku melihat ujung rotan yang seratnya pada kelihatan. Kemudian mencoba satu sentuan di atas kertas dengan tinta. Entah kenapa aku menyukai bentuknya, namun tidak menikmati hasilnya. Beda sekali dengan hasil yang dituliskan abang Zain. Terlihat lebih indah meskipun tulisan tanganku jauh lebih baik untuk digunakan melamar pekerjaan.

"Sini!"

Aku terkejut ketika ia membawa pisau cutter di tangan kanannya. Tenanglah Ra, meskipun abang Zain sikapnya kadang aneh. Kalau urusan hal seperti ini, ia bakalan waras kok. Hatiku berusaha menenangkan diri dari pemikiran yang terbias ini.

Setelah aku menyerahkannya, ia beringsut ke depan pintu dan merautnya menjadi ujung yang lebih pendek. "Kalau bersaing dengan kawanmu, beda kasta. Mereka memakai handam sebagai pena."

Lagi-lagi istilah yang ia lontarkan itu terasa asing. Apa itu handam? Gimana sih bentuknya? Emang bedanya apa dari rotan? Ketika abang Zain menggunakan rotan saja, hasilnya sudah sangat bagus. "Emangnya itu apaan sih?" tanyaku lebih lanjut mencoba mengerti.

"Oh, payah dicari tuh. Itu pakis hutan yang hanya bisa didapatkan di hutan."

Aku membayangkan hutan yang mustahil ada di sini kecuali di Brastagi. Baru tahu ada pakis hutan yang bisa digunakan untuk pena. Sedangkan pakis biasa saja sudah bisa digunakan untuk telunjuk ngaji. Aku ber-oh ria setelah itu sebelum melanjutkan pertanyaanku. "Emang berapa lama sih Bang, biar tulisannya cantik dan rapi gitu?"

"Tiga tahun, kawan abang saja setiap hari latihan sampai lemarinya dipenuhi dengan karton kaligrafi semua ketika dibuka," jawabnya antusias kemudian memberikan rotan yang usai diraut.

Aku menelan saliva mendengar jawaban tersebut. Aelah, gimana bisa aku mengimbangi mereka yang sudah senior? Apalagi para peserta yang lain mungkin saja dari pesantren. Sedangkan aku sudah seperti remahan rengginang. Ah, walaupun memang belum pernah di ranah ini. Setidaknya sudah berusaha mempersiapkan semaksimal mungkin menurut versiku. Aku enggak boleh mundur hanya karena belum pernah memulainya.

Hari yang tersisa tidak kusia-siakan begitu saja. Meskipun mataku sudah mengantuk. Aku terus berlatih hingga membawanya ke tempat tidur. Sampai pada akhirnya ketiduran sendiri. Saat di kampus juga begitu. Sesekali menyempatkan waktu untuk berlatih sembari menunggu dosen datang. Aini yang turut mendaftarkan diri sebagai peserta kaligrafi masih tampak santai saja. Aku paham, ia sudah pakarnya dalam bidang ini. Sedangkan aku memang harus tahu diri.

Saat perlombaan dimulai aku juga melihat peserta yang lain menggunakan alat sepertiku. Hanya saja rotan yang ia gunakan jauh lebih gelap dan tinta tidak cepat menyerap. Aku menyadari bahwa itu bukan rotan, tetapi handam yang abang Zain ceritakan. Kualitasnya memang lebih baik dari punyaku yang belepotan ini. Tapi biarlah, pengalaman ini mengajarkan aku sesuatu yang baru dan menyenangkan.

Setelah perlombaan, pengumumannya pada hari itu juga. Aku sudah merasa yakin pasti tidak mendapatkan nominasi. Namun langkahku tertahan untuk pulang lebih dulu dan penasaran pada juara-juara MTQ dan MKQ. Yah, setidaknya aku bisa mengetahui siapa saja yang memiliki kualitas di bidang ini bilang berpapasan di jalan nanti. Hati kecilku berkata yang lain. Para peserta itu sudah merupakan pemenang juga. Mereka sudah berani melawan rasa takut. Kalah menang itu mah biasa. Penampilan nomor satu. Itu kalimat yang biasa kuucapkan pada orang lain.

"Juara ketiga kategori Naskah, atas nama Nadia Zahira."

Semua orang bertepuk memberikan sebuah antusias kepada nama yang tidak kusangka. Remahan rengginang berasa naik kasta.

Bersambung
Note : based on true story, eh.

Physics Not DoctorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang