~Ada yang terlalu lama menunggu. Namun tidak ingin mengeluhkan sakitnya diabaikan.~
"Wa'alaikumussalam." Kami menjawabnya dengan serempak dan saling melirik satu sama lain.
Inaya menjinjing sepatu dan langsung membawanya ke kamar yang kedua. Sekaligus juga membawa barang-barangnya. Lagipula ia terlalu sopan kali ini dengan membungkukkan badan saat melintasi kami. Oh, iya. Aku lupa kalau harus memanggilnya dengan sebutan Fatia kali ini. Nama yang cantik.
Fatia sama sekali tidak berniat mengganti bajunya. Gamis toska polos tanpa pernak-pernik dan kerudung hitam. Lagipula kalau dilihat dari segi mana saja ia akan tetap terlihat manis. Beruntung sekali kan menjadi dirinya. Jarang bisa bertemu makhluk yang mendekati sempurna seperti ini. Sudahlah pintar, ramah lagi orangnya. Kalau kebaikan yang ia miliki sepertinya enggak jauh berbeda dari perawakannya deh yang punya banyak penggemar. Sebelas dua belas gitu.
Walaupun begitu, keyakinanku masih tetap sama. Semua wanita itu memiliki kesempatan untuk menjadi yang terbaik menurut versi masing-masing. Ya, walaupun terkadang ironinya harus menelan ludah jika dibandingkan dengan orang lain. Makanya aku tidak pernah setuju konsep Mamaku. Rumput tetangga jauh lebih hijau. Sedangkan konsepku, rumput sendiri berpotensi lebih hidup. Jadi enggak perlu menyiksa diri dengan ngebanding-bandinginkan diri ke orang lain.
Fatia mencoba memulai pembicaraan. Namun memandangi kami dengan tatapan kosong. Sepertinya suasana hatinya seolah tidak baik kali ini. Keringatnya bercucuran dan entah mengapa aku merasakan ia sedang gemetar. Kalau enggak salah istilah medisnya ya tremor.
"Kamu Kenapa?" tanyaku siaga berusaha memancingnya untuk memberikan sebuah alasan.
"Enggak apa-apa kok," jawabnya setelah mendiami pertanyaanku beberapa saat, "Oh, iya. Maaf juga aku telat soalnya."
Aku mengangguk dan mengiyakan permintaan maafnya. Enggak apa-apa kok diperlakukan begini. Sekali-kali aku memang harus merasakan penderitaan yang sama ketika menunggu.
Tapi, orang yang dalam masalah biasanya suka begitu kan. Selalu saja bilangnya tidak apa-apa. Namun memendam kesengsaraan yang menjadi-jadi. Ya, walaupun tidak semua orang seperti itu. Aku hanya tidak bisa memaksa saja. Aku hanya orang baru di lingkaran Fatia. Sedangkan aku sendiri. Bahkan tidak sungkan menceritakan permasalahanku untuk mendapatkan sebuah solusi. Mungkin ke mana saja.
Sebenarnya aku juga tidak menginginkan hal itu terjadi. Sebab tidak selamanya apa yang kita ketahui perlu juga diketahui orang lain. Orang bilang buah tidak jauh dari pohonnya. Kemungkinan aku mengadopsi konsep Mamaku dalam mengeluhkan permasalahan suatu hari nanti. Meskipun tanganku berungkali mengelus dada sembari berharap tidak mengikuti jalan ninjanya.
"Kalau membutuhkan sesuatu untuk penguatan enggak apa-apa. Ungkapin saja, kami bisa dipercaya kok," tawar Kanaya seraya melirikku sepakat. Ia seperti cocok deh sebagai orang yang cukup berpengaruh untuk masalah sosial. Mulai dari pengetahuan bahkan masalah kepribadian. Seeorang yang dapat mendinginkan di tengah panas dan dapat menghangatkan di tengah dingin. Netral. Filosopi garam juga begitu, meskipun rasanya asin tetap saja termasuk materi netral. Termasuk air mata.
"Terima kasih ya teman-teman yang sudah mencoba mengerti," dahinya berkerut dan napasnya terasa berat. Ia berusaha membuang energi negatif yang mengendap. "Aku hanya merasa gagal saja menjadi Kakak yang baik." Sikap pesimis itu memenuhi raut wajahnya.
"Kamu masih belum kalah kok," Kanaya beringsut mendekati Fatia dan merangkulnya. "Kita kan juga masih sibuk, jadi juga enggak mungkin kan kita paksaan untuk melibatkan diri ke keluarga. Saya juga punya keluarga yang di kampung. Tapi, satu hal yang masih bisa lakukan adalah berdoa. Jadi jangan berhenti untuk melangitkan doamu," pujuk Kanaya sembari mengelus bahu Fatia.
Sedikit banyaknya, Kanaya pasti sudah tahu dengan kondisi Fatia. Apalagi mereka juga satu kos-kosan.
Terkadang, ada suatu hal yang dapat diucapkan secara gamblang. Ada pula secara tersirat. Melalui sebuah ilustrasi dari Fatia sendiri. Aku menyadari bahwa ia memiliki jiwa ketulusan yang amat dalam. Terlebih lagi terhadap keluarganya sendiri. Beda sekali dengan diriku yang nyaris lupa punya keluarga. Terkadang, ada kalanya doa menjadi senjatanya orang mukmin. Selalu meminta yang terbaik. Meskipun realitanya tidak sesuai dengan harapan. Walaupun begitu, Kanaya mencoba meyakinkan bahwa ketika doa-doa yang dilangitkan itu belum terwujud. Bisa jadi akan menjelma menjadi ladang pahala.
Ah, kenapa aku tidak menyadari hal itu ya? Aku bahkan nyaris putus asa menghadapi diri yang semrawut ini.
"Jadinya gini. Aku udah konfirmasi ke pembimbing PKM. Jadinya kita kolabs sama kawan yang lain. Kelas tetanggalah kalau dibilang Ra. Kamu kenal si Rangga kan?"
Otakku mulai mencerna urutan wajah dan nama orang yang kukenal. "Dia yang berkacamata itu, bukan?" tanyaku sekadar mengonfirmasi. Yah, sekadar berjaga saja. Mana tahu ada orang yang memiliki nama yang sama. Payah sekali, bahkan nama-nama temanku satu kelas belum tentu kuhapal semua.
"Iya Ra, betul itu."
Entah kenapa kalau bagian membahas tentang Rangga seolah memberikanku perhatian lebih memikirkannya. Pria misterius yang hanya tersenyum dari kejauhan. Saat itu pula mataku sering ketangkap basah berada di garis lurus penglihatannya. Fokus Ra, ini bukan saatnya move on begitu cepat. Mentang-mentang ditolak Mukhlis langsung main pergi begitu saja.
Inaya pergi ke kamarnya dan mengambil notebook. Setelah itu membukanya dan menunjukkan sebuah template untuk penyusunan PKM. Tidak kusangkah ia bisa bergerak secepat ini. Sedangkan aku masih sebatas wacana belaka. Cara cepat Fatia bisa diadobsi ini mah. "Sebenarnya ini idenya dari Radit sih. Dia terlalu banyak ide, makanya sampai dialihkan gitu ke kelompok yang lain. Padahal Kanaya sempat berpikiran kalau ingin mengaplikasikan ilmu gizinya di program PKM Pengabdian. Kalau dari pembimbing sendiri sih nyaraninnya ke PKM Teknologi karena kita kebetulan dari Pendidikan Fisika."
Radit? Kayaknya namanya enggak asing deh ditelingaku. Sehebat apa sih dia? Kok malah banyak yang membicarakan dirinya. Mulai dari jejeran para dosen hingga para wanita di kampus ini. Eh, Fatia malah ikut-ikutan sebut nama dia. Heran deh. Palingan dia itu orangnya biasa saja. Enggak ada menariknya bagiku. Sepertinya aman. Hal yang harus diwaspadai itu Rangga. Si pencuri perhatian dengan cengiran maut.
"Jadi, apa tugas kita-kita nih?" tanya Kanaya dengan antusias yang menggebu.
Kalau aku jadi Kanaya, sepertinya langsung terbawa suasana duluan. Ide itu memang mahal. Tapi ya mau bagaimana lagi kalau memang disarankan begitu. Rasanya sama seperti penulis tapi yang ngatur orang lain. Radar sebel jadinya.
"Ah, iya. Ada nih. Kita menyusun proposalnya. Pada latar belakang dan tinjaun teoritis. Kalau di bagian prosedurnya sama-sama kita diskusikan saja ke dosen pembimbing. Gimana menurut kalian?"
"Ide bagus tuh," jawabku cepat.
"Setuju."
Bersambung
Sorry gaes, baru bisa update sekarang. Jangan lupa komen yak
![](https://img.wattpad.com/cover/114914714-288-k117891.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Physics Not Doctors
ChickLitNadia Zahira bercita-cita menjadi guru sejak Sekolah Dasar. Namun, setelah memasuki Sekolah Menengah Pertama ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Keinginannya diperkuat dengan mempelajari olimpiade Biologi sejak Sekolah Menengah Pertama hingga Se...