~Baik menurut kita, belum tentu baik di mata Allah swt. Begitu pula sebaliknya.~
Bagus sekali adalah pernyataan yang akhir-akhir ini sering kuucapkan bila menemukan ketidakbaikkan yang menyapa. Misalnya gaya hidup yang serba berceceran, pelupa, dan pemalas. Namun pemalas itu memang satu paket dengan tindakan negatif lainnya. Apalagi disandingkan dengan keegoisan. Sudahlah tuh, sebut saja dengan 'Si Pemalas yang Angkuh'. Duh, sepertinya memang cocok tuh dilarungkan ke laut saja.
Sayang sekali, jiwa kewarasanku berubah secara drastis setelah berumur 22 tahun. Suatu angka yang tidak tahu diri bila mengabaikan pekerjaan rumah. Kemudian asyik kewalahan tidak bisa mengatur waktu. Menyebalkan, bahkan waktu mengerjakan skripsi saja sudah habis hanya karena kelelahan mengerjakan tugas rumah. Dosisnya memang pagi hingga sore. Tetapi estimasinya enam jam dalam sehari. Fantastis. Hal yang paling membuatku bertekuk masam adalah memasak dengan cara tradisional. Apalagi setiap kali masak harus ada kata menghaluskan bumbu. Mulai dari menumis, menyambal, hingga menggulai. Cobek, peralatan yang membuatku kesal.
Bahan yang paling membuatku kesal adalah biji cabai, biji tomat, pokoknya biji-bijianlah. Termasuk merica dan ketumbar. Oh, iya satu lagi. Bawang merah. Ketika diiris saja membuat mata menangis apalagi digiling. Tak kalah perihnya hingga membuatku merem melek tidak karuan. Jika mengadu, aku yang akan terkena imbasnya.
Sebenarnya ini semua bagus untuk membangun kepribadian yang kuat pada diriku. Biar tidak terlalu kaget apabila menjalani hidup yang melarat. Hanya saja, ini tidak masuk akal. Semelaratnya orang, jika kepraktisan dinomor satukan. Mereka pasti menggunakan blender. Cobek ini hanya sebuah prinsip saja dan kenyamanan pribadi. Termasuk orang-orang yang primitif.
Aku berusaha mengorbankan diriku akhir-akhir ini. Mama sudah tua dan memiliki banyak anak. Sayangnya anak lelaki tidak diperkenankan menyentuh pekerjaan wanita. Seolah mereka adalah pangeran yang manja. Aku memang dimanjakan juga sebenarnya. Hanya saja memilih risih dan menjadi mandiri sudah menjadi motoku sejak sekolah dasar. Tepatnya tahun ketiga aku masuk sekolah.
"Ra bangun!" Mama sudah terbiasa memasak dengan kehadiran diriku.
Kedua bola mataku masih berat sekali untuk dibuka. Bahkan seluruh tubuhku sulit digerakkan. Setelah melalui serangkaian susah payah aku menegakkan tubuh di atas lantai dan menuju ke dapur. Aku hanya memastikan saja otakku akan sadar ketika melakukan pekerjaan.
"Ra, hidung Mama berdarah," ucapnya seraya menjorokkan kain daster dengan telunjuk kiri.
"Hah!" pekikku panik dan melihat kondisi baju atas Mama yang sudah berlumuran darah segar. Spontanitas kepalaku seakan ingin pecah. Seperti ada laser yang membuat otakku terbelah menjadi dua.
Ini aneh dan tidak biasa. Pandanganku menjadi gelap dan penglihatan meremang. Aku memutuskan untuk kembali ke kamar ketika keseimbanganku mulai terganggu. Ah, aku fobia darah. Ini tidak mungkin, berungkali aku mengatakan berani tetap saja tidak bisa. Ini merupakan bagian terparah yang pernah kualami.
Aku membantingkan diri di atas kasur dengan penglihatan masih meremang dan berusaha berkedip-kedip. Semakin lama, netraku mulai berfungsi secara normal kembali. Sedangkan Mama sudah ikutan ke kamar dan masih merogoh lubang hidup. "Sakit Ma?" tanyaku khawatir.
"Enggak."
"Ada demam enggak?"
"Enggak juga," jawabnya yakin dan masih memperhatikan hidungnya dengan meraba.
"Kronologinya gimana?" Aku bertanya seperti dokter namun tidak kuasa mengobati.
"Enggak tau. Bangun tidur tadi kayak ada bercak darah. Tak kirain ulah nyamuk. Pas mau masak, terus mau ngorek upil kok malah ada darah banyak gini."
Ini aneh sekali. Jangan-jangan luka dalam, lagi. Hanya saja enggak terasa. Tapi ya mana aku tahu di mana letaknya. Kalau dari kelihatannya Mama sehat-sehat saja. Aku yang malah tumbang begini dan tidak bisa melanjutkan aktivitas. Rasanya ingin pingsan. Tetapi rasa ini malah di luar kendali. Biasanya aku sering merasakan nyeri yang sama ketika ada orang yang terluka. Misalnya ada jari kaki orang yang terputus, kemudian aku melihatnya secara langsung. Aku merasakan jariku yang putus. Rasa ngilunya seolah menyatu dengan diriku.
Meskipun aku paling berani kalau mengobati luka. Sebenarnya melalui serangkaian menahan ngilu di ulu hati. Meskipun sudah berulang kali. Tetap saja, akan sama seperti itu terus.
Ah, apakah ini alasannya aku tidak dijodohkan dengan dunia kedokteran di genggamanku? Alasan masuk akal dan sungguh tidak aku sadari. Seolah itu semua kuanggap baik-baik saja nyatanya merupakan bencana bagiku dan mungkin orang lain. Bagaimana mungkin pingsan dan kehilangan kendali apabila ada orang yang terluka? Hal yang ada pasiennya yang terancam meregang nyawa.
Aku memang benar-benar egois jika harus memaksakan diri. Apalagi Nadila sekarang ini sudah masuk farmasi. Jika aku kuliah kedokteran malah akan mengancam perkuliahan Nadila. Kuliah kedokteran itu memang tidaklah mudah bagi kasta melarat sepertiku. Meskipun ada bantuan sana-sini berupa beasiswa dan mungkin saja pinjaman. Tetap saja, aku tidak bisa menjamin diriku untuk tidak merasakan apes di masa yang akan datang. Sebaik apapun aku merencanakannya. Takdir dan keberuntungan pula yang akan menang. Menyebalkan sekali. Drama kehidupan ini jauh lebih rumit daripada drama di TV Nasional.
Aku mengecek notifikasi gawai yang dipenuhi 125 grub. Astaga, pantas saja gawaiku sering eror. Ingin menghapus segala sampah. Tetapi malas, menyebalkan sekali. Otakku tidak akan waras sebelum selesai sidang.
Kedua bola mataku teralihkan pada sebuah grub alumni SMA. Salah satu penggunanya merupakan guru tetap dan merupakan bagian kesiswaan.
Ah, yang benar saja. Entah sudah berapa dekade pengumuman SNMPTN. Rasanya aku sudah benar-benar tua untuk saat ini. Aku tidak tertarik dengan orang-orangnya. Melainkan penasaran mereka masuk ke dalam jurusan apa. Rata-rata lebih ke bahasa dan seni gitu.
Tunggu, ada nama yang tidak asing. Yuliana Anantika, itu kan adikku. Dia masuk ke jurusan Penerbitan. Wuah, hebat sekali. Aku segera mengirimkan pesan padanya untuk mengklarifikasi kebenaran. Ternyata ia mengiyakannya.
Aku tidak habis pikir. Orang-orang di sekelilingku malah masuk ke tempat yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Bahkan Nadila pun yang kukira akan masuk jurusan Matematika atau Seni malah masuk Farmasi. Jurusan yang lebih dekat dengan tujuanku di masa lalu. Takdir ini seolah mempermainkanku. Seolah ada magnet yang membuatku tidak bisa jauh dari ilmu kesehatan. Tetapi Yuliana ini malah yang membuatku bingung.
Aku rasa, Allah sedang memberikan ujian pada hambanya yang mampu saja. Hanya saja, kadar kemampuan yang dijalani setiap orang itu sering disalah artikan. Termasuk diriku ini. Bahkan aku dulunya sering mengutuk diri tidak berdaya dan tanpa sebab. Hanya keputus asaan saja yang membuktikan diriku seperti orang gila. Ah, lagian Yuliana pun dulu juga hobi membaca Wattpad. Pengetahuannya di masa lalu pasti tidaklah sulit.
Andai saja aku terpikirkan untuk menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Mungkin dari dulu aku sudah melakukannya. Saat ini tinggallah kepingan harapan yang lupa kupungut.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Physics Not Doctors
ChickLitNadia Zahira bercita-cita menjadi guru sejak Sekolah Dasar. Namun, setelah memasuki Sekolah Menengah Pertama ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Keinginannya diperkuat dengan mempelajari olimpiade Biologi sejak Sekolah Menengah Pertama hingga Se...