(33) Podomoro

37 2 0
                                    

~Sebah frasa dalam bahasa Jawa yang berarti 'pada berdatangan'.~

Aku memasuki sebuah ruangan megah yang ada di kota Medan, Podomoro. Terletak di pusat kota dengan desain interior moderen dan menakjubkan. Tempat ini terdiri dari banyak lantai yang terbagi menjadi delapan bagian. Gedung tertinggi yang kebetulan aku masuki ini merupakan kantor pusat terdiri dari lima puluh lantai. Dua gedung apartemen premium masing-masing berjumlah empat puluh lantai. Lima gedung lainnya masing-masing berjumlah tiga puluh lantai yang juga merupakan kawasan hunian. Terdiri dari dua gedung kondomium dan tiga apartemen.

Awalnya aku bingung dengan perbedaan kondo dan apartemen. Sama-sama berupa hunian seperti rumah susun. Ternyata perbedaannya dari segi kepemilikkan. Jika kondo memiliki hak sepenuhnya terhadap bangunan. Maka apartemen itu berupa sewa. Jadi istilahnya sewa apartemen dan beli kondo.

Gedung pusatnya akan diisi dengan hotel berbintang, pusat pemberlanjaan termewah, kantor, dan lain-lain. Aku saja sampai lupa kalau tempat ini merupakan gedung paling tinggi di kota Medan saat ini dan merupakan kategori gedung pencakar langit. Bahkan JW Marriot yang di sampingnya sekarang ini terlihat kecil.

Koridor tempat ini juga didekor dengan tiruan bunga sakura dan pohon kurma. Ubinnya terbuat dari granit mengkilau. Lifnya terbuat dari laminasi transparan. Udara pendingin ada di mana-mana.

Akhirnya, sampai di sini juga setelah sekian lama. Ada pertemuan para blogger kali ini. Bertemu mereka rasanya akan menjadi cerita menarik dan dapat kujadikan cerita perjalanan di blog nanti. Setelah sekian lama aku menunggu waktu seperti ini. Bagaimana bisa menunjukkan jati diri pada semesta. Tentang aku yang tidak akan kabur lagi apabila berhadapan dengan orang lain.

Ya, tentu saja semua ini harus terbayar. Bagaimana aku setengah mati membuat otak mendidih setiap hari. Bahkan sampai lupa hari. Hanya kalimat motivasi yang selalu bernaung dalam sanubari. Zahira harus kuat, Zahira harus lulus. Terlebih lagi bisa mendapatkan uang dari hasil menulis. Beragam macamlah namanya. Perjuangan ini memang sakit, namun lega ketika berhasil melaluinya.

Meski aku sering mengumpat tentang estimasi waktu yang kugunakan lebih banyak di tulisan. Aku tidak boleh berhenti menyisakan waktu luang ini. Terlalu sayang bila dilewatkan begitu saja. Tubuh semakin menua dan jatah di dunia semakin berkurang.

Kanaya akan pulang kampung. Kebetulan hari ini adalah hari terakhirnya di kota Medan. Ia sengaja memberikan waktu padaku. Katanya, ada rindu yang menggelitik sanubarinya. Ia hanya ingin membahagiakan dirinya sebelum pulang dan mencari inspirasi untuk resep barunya. Kami diduk di kursi yang disediakan di balik lift.

"Jadi, bagaimana dengan prospek keberlangsungan hidupmu?" tanya Kanaya. Ia menyisipkan bon belanja ke dalam dompet.

"Aku akan mencoba mengajar setelah ada lowongan yang cocok. Setidaknya dekat dengan rumah. Sementara waktu aku akan terus bekerja sebagai penulis." Meskipun aku sangat ingin terus menjadi penulis di setiap langkah dan keadaanku. Ilmu pengetahuanku selama kuliah tidak boleh disia-siakan. "Ah, terima kasih ya sudah datang ke wisudahku kemarin."

Kanaya memberikan rasa bahagianya dengan menunjukkan senyuman yang berbinar. "Aku bangga padamu Ra. Kamu tidak berhenti meskipun itu sulit."

"Aku belajar banyak darimu Nay. Tentang semuanya. Kesabaran, percaya diri, kegigihan, dan istiqomah." Tanpa terasa, ada waduk yang menggenang di kelopak mata. Rasanya sungguh terharu sekali. Sudah jelas darimana muaranya berasal.

Kanaya menyodorkan sebuah kotak persegi yang dibungkus oleh koran. Ukuran panjangnya sekitar setelapak tangan. "Terimalah, sebagai hadiah atas keberhasilanmu."

Wuah, dia tahu juga kalau aku itu suka dengan sesuatu yang digunakan kembali. "Apa ini?" tanyaku ragu. Aku hanya merasa tengah merepotkan saja.

"Ayolah, buka saja." Ia meletakkan barang tersebut di tanganku.

Tidak ada jalan lain selain menerima. Tampaknya Kanaya mempersiapkannya dengan tulisan. Binaran wajah dan caranya memberikan padaku. Aku segera membuka perekat tanpa merusak bungkusnya.

"Itu aroma melati."

Kedua bola mataku berbinar seolah tidak percaya kalau ia benar-benar tahu seleraku. Aku sudah lama merindukan aroma ini. Rasa sejuk yang merengkuh dan membuatku terbuai seolah berada di pegunungan.  "Terima kasih ya Nay."

"Kembali kasih," balasnya dengan senyuman menawan. "Jangan bersedih lagi ya Zahira."

Ada sekelebat semangat yang menyemai dalam dadaku. Ah, yang benar saja. Rasa mewek tidak karuan itu memang harus dibantai dengan kekuatan mengeraskan hati. Aku sudah bosan terlihat menyedihkan di hadapan orang lain. "Iya."

"Tara!"

Aku terkejut seketika kemudian membalikkan badan. "Fatia! Untung jantungku masih utuh."

"Tenang-- kalau berceceran, di sini banyak lelaki tajir yang mau memungutnya," sambung Hana antusias. Ia memakai gamis yang sama seperti Fatia dan--- Kanaya.

Aku harap juga begitu. Ayolah, aku merasa menjadi orang asing di sini. "Fantasi itu terlalu berlebihan," cebikku tidak mau kalah.

"Sellow, jika pun itu masih belum menjadi kenyataan akan menjadi doa tersendiri. Bahkan candaan itu bisa menjadi sebuah kenyataan," tandas Hana lagi. Otak dan hati memang singkron lurusnya. Perkuliahan jauh membuatnya menjadi maju.

"Berhubung kita sudah mengumpul bareng. Gimana kalau kita foto bersama? Jarang-jarang dapat momen yang seperti ini," tawar Kanaya. Tidak seperti biasanya ia menjadi narsis bin alay.

"Kalian semua sedang janjian ya?" tanyaku curiga.

"Sebenarnya enggak sih. Cuma rencana saja. Tapi beneran kok, tujuan kami pada berbeda. Iya kan Hana?" Fatia menaik turunkan alis. 

Aku merasakan sesuatu yang terluka di ulu hati. Bagaimana mungkin mereka bisa mengenakan pakaian yang sama? Alasan yang tidak masuk akal. Meskipun warnanya sama sekalipun. Tentulah tidak dengan bahan yang sama. Apalagi kerudung mereka. Jika dijadikan satu akan sulit kutemukan perbedaannya.

"Saya sama Fatia mau nonton sebenarnya. Tiket kami empat puluh menit lagi. Sebenarnya ingin mengajak Kanaya juga. Tapi Kanaya enggak bisa. Jadi kami hanya janjian busana saja." Hana menunjukkan kedua tiket itu di tangan kanan.

Sudah kuduga. "Ah, sayang sekali ya. Seharusnya kita bisa janjian bersama kali ini. Tapi aku sendiri yang malah menentukan janji lainnya." Terlebih lagi ini merupakan hari terakhir aku menemui Kanaya di bulan ini.

"Kalau begitu kita nanti pada buat Insta Story ya. Ayolah, waktuku juga tidak banyak," Kanaya menempatkan posisinya di bunga sakura imitasi.

Terpaksa aku ikutan antusias juga kali ini. Lima kali berfoto dengan pose yang berbeda dan update status bersamaan. Satu lagi, sengaja kutambahkan foto solo juga. Jadi, dua kali update deh.

Aku membiarkan mereka pergi satu per satu dan menyelipkan kerinduan di antara kebersamaan. Tidak akan aku dapatkan jika hanya bertarung dengan waktu dan kesendirian. Ah, ini malah membuatku mewek dan membuat riasanku menjadi berantakan. Aku pergi ke toilet dulu sebelum memasuki ruangan para blogger. 

Ada listrik yang mengejutkanku dan nyaris membuatku kehilangan akal. Lelaki astal itu mengirimkan pesan padaku melalui Instagram ketika aku baru saja mendaratkan diri di kursi bagian belakang. Ini aneh sekali, biasanya aku yang mencoba menghubungi dan ia terus menghindariku.

Muhammad Mukhlis Muflih
Lagi pakai baju apa?

Dasar, ini bukan pertanyaan yang sopan. Apakah dia sekarang ini bertransformasi menjadi pria mesum? Ah, yang benar saja. Imajinasiku terganggu saat ini.

Bersambung

Physics Not DoctorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang