~Tidak ada yang lebih menenangkan selain melepaskan belenggu yag mengikat.~
Aku masih uring-uringan enggak jelas menatap layar gawai penuh curiga. Malam minggu begini biasanya akan sulit berkomunikasi pada orang yang jauh. Terlebih lagi jika para manusia di kota ini pada jomlo dan berkutat dengan internet. Persaingan mencari jaringan semakin sengit. Terlebih lagi para organisasi akademisi sering membuat agenda online. Aku saja yang tidak bisa mengikutinya bersebab menggunakan aplikasi Zoom. Sudah diusahakan tapi ya memang enggak bisa juga.
Inaya Fatia calling video.
Tumben, biasanya dia juga sibukkan. Aku mencari tempat paling nyama dulu sebelum mengangkat. Ada banyak cahaya redup yang tidak mendukung. Padahal menempati posisi pojokan itu menyenangkan. Sayang, aku harus menempati posisi dekat dengan sumber cahaya. Tapi tidak tepat berada di bawahnya juga. Itu terlalu silau menurutku, apabila terbias melalui layar gawai.
Fatia menempati posisi kamar. Latar belakang yang ia gunakan adalah barisan buku-buku kekinian. Setahu aku, dia hanya hobi menghitung saat zamannya lagi kuliah. Eh, mengerjakan tugas lebih tepatnya. Tidak seperti aku yang tidak memiliki koleksi buku cetak kecuali stok kuota. Jika pun ingin membaca buku cetak mesti ke perpustakaan daerah dulu.
Ia menyapa penuh hangat kali ini. Kerudung instan wolfis berwarna magenta yang dikenakan terkesan bahagia. Bahkan siapa pun yang melihatnya akan terjangkit kebahagian serupa. "Ra, mau tahu berita sesuatu nggak?"
"Apa?" Enggak biasanya dia berbagi informasi sebelum ditanya.
"Mukhlis koasnya di RS Bayangkara."
"Oh," sambutku datar berusaha tidak terpengaruh. Mau dia koas di Pluto sekali pun tidak akan mengubah takdir apapun.
"Kalau dari nuansa yang terlihat kayanya sudah move nih," ledeknya sembari cengar-cengir.
"Eh, nyaris lupa sepertinya." Sudah lama ya. Ia hanyalah kenangan dari zamannya BBM-an. Semenjak pindah ke WhatsApp tidak ada lagi kontak dia. Kecuali dari Instagram. Sedangkan memiliki aplikasi bergengsi itu sudah menjadi hal sulit bagiku. Aku bersyukur, tidak perlu merasa menjadi remahan rengginang di hadapannya. Kehidupanku memang harus selalu berdampingan dengan kasta Sudra agar tidak terlalu nestapa.
"Kanaya sama Hana mau ikutan, gimana?"
Hana? Tumben banget itu orang. Sejak kapan ia ikutan di dalam keintiman ini? Eh, maksudnya kedekatan sahabat. "Terserah," aku mengendikkan kedua bahu, "enggak ada masalah." Semoga saja, jaringan tidak terlalu bermasalah kali ini.
"Assalamualaikum semuanya," sapa Kanaya memberikan senyuman manis sembari melambaikan tangan. Ini yang paling kutunggu sebenarnya.
Hana memberikan salam perkenalannya pada Kanaya setelah memberikan salam. Ada dua kesamaan di antara kami berdua. Sama-sama memilih kerudung berwarna gelap. Aku tidak terlalu akrab dengan Hana. Hanya sekilas sebagai teman satu kelas saja. Tapi kalau ingin diberikan penilaian, ia cukup gesit juga sebenarnya.
Beberapa saat kemudian percakapan menjadi senyap. Ah, apa mungkin ini kesalahan jaringan atau gimana? Beberapa notifikasi pesan saja ada yang masuk kok. Volume mereka saja sudah diatur full.
"Ra," panggil Fatia. Ia cocok menjadi moderator jika ada orang yang melangsungkan panggilan secara bersamaan. Mungkin semua orang juga pada tahu kalau dua orang yang saling berbicara itu seperti tumpang tindih. "Kanaya dan Hana mau ngomong."
Aku mengangguk dengan perasaan yang berdebar-debar. Hey, aku tidak sedang berulang tahun kali ini. Mustahil saja jika mereka memberikan kejutan yang menakjubkan. Eh, ngarep.
"Ra, sudah seberapa persen skripsimu?" ketus Hana dengan tetapan serius.
Serius, ini lebih menakjubkan dari yang kubayangkan. Sakit, tapi enggak berdarah. Kalimat itu memang terdengar halus. Tetapi ujung-ujungnya merambah pada situasi skripsiku yang menyebalkan ini. Bahkan kalau dibilang setengahnya saja belum ada.
"Enggak perlu dijawab, juga enggak apa-apa kok. Kami bukan bemaksud menyinggung perasaan. Hanya memberikan motivasi saja," sanggah Kanaya memberikan ruang bagi pengalihan alasan.
Aku memejamkan mata, menarik napas perlahan, dan melirik langit rumah. Masih tetap sama, tidak memberikan kegusaran yang nyata. Hanya kalbuku saja mulai terguncang. "Ah, enggak apa-apa. Masih proses itu." Kata-kata mujarab yang memungkin membantu penyembuhan kedilemaan. Meskipun aku ingin meminta doa-doa mereka yang melayang untukku. Agar bisa dimudahkan jalan untuk mengerjakan skripsi ini.
"Semangat Ra!" Fatia mencoba menengahi dengan senyuman manisnya.
Ah, aku menerima suapan dopamin kali ini. Mereka kalau dikoborasikan akan memberikan elemen keseimbangan. Tidak terlihat sedang memojokkanku ke jurang kesalahpahaman.
"Maaf Ra, ini memang sangat sulit. Tapi segala kesulitan itu akan terbayar jika kamu lulus tahun ini." Hana mencoba menjelaskan sebisanya. Motivasi lulus akan menjadi senjata paling ampun untuk membuat semester kadaluarsa lulus.
Hanya pertahanan air mata yang kuharapkan. Aku tidak ingin merasa paling menyedihkan di antara mereka. Memang aku akui kalau Hana lebih dulu wisuda. Semester berikutnya Fatia dan Kanaya.
Ah, seharusnya aku berpikir ulang tentang sesuatu yang ada di hadapanku. Papa yang akan pensiun. Sedangkan aku sendiri tidak mampu menghidupi diriku sendiri dengan menulis. Meskipun telah terlalu banyak berusaha, sekuat tenaga, dan sepenuh hati. Namun hatiku cukup mengatakan diri ini baik-baik saja. Tanpa terpengaruh tekanan sana-sini. Aku tidak peduli gertakan orang. Tetapi melihat cara mereka memberikan waktu bersama kali. Sudah membuktikan mereka sedang mendukungku kali ini.
"Setiap orang memiliki takdir unik masing-masing. Roda akan selalu berputar dan waktu akan mengalami pergantian tahun. Tergantung manusianya sendiri yang memilih antara roda atau waktu. Roda akan berputar cepat sesuai dengan kayuh sang pemilik. Sedangkan waktu akan terus berputar sesuai dengan orbitnya. Tanpa mengalami perubahan yang signifikan apalagi drastis. Begitu pula tentang usaha yang dipandang sang Maha Kuasa. Ia tidak akan dipandang sebagai sesuatu yang sia-sia melainkan ladang dari buah kesabaran." Kanaya memang selalu apik mengemas sudut pandang berbeda saat memberikan sebuah pemahaman.
"Tidak ada kata terlambat Ra, kami percaya kalau kamu bisa melaluinya. Katakan saja jika memang ada yang ingin dibantu. Tidak perlu sungkan apalagi takut," tandas Hana dengan ramah.
Ah, leherku mulai berkeringat lagi malam ini. Sedangkan kedua telapak tangan mulai menghangat. Ini selalu terjadi jika mengerjakan skripsi.
"Ra, penyakit mahasiswa itu hanya satu. Malas karena lemes, ujung-ujungnya ngeles," ledek Fatia seraya menarik bibir simetris.
Guyonannya sukses membuatku ikutan cengar-cengir. Kami semua saling melempar senyuman satu sama lain. Mereka yang tidak melupakanku dan selalu setia memberikan suntikan motivasi meskipun dari jauh.
"Itu saja sih. Semangat Ra, siapa tahu habis wisuda kau bisa ketemu si dia," singgung Fatia lagi.
"Eh, siapa rupanya? Aku kenal enggak?" Hana mulai menunjukkan dirinya sangat penasaran. Kadang-kadang memang begitu spekulasi teman sekelasku. Pada kepo kalau urusan yang mengarah pada asmara.
"Tuh kan, Fatia nih," rengekku memberontak dan sungguh tidak setuju jika ia membeberkan hal ini pada yang lain. Lagian, belum jelas juga apakah ia jodoh di masa depan. Kalau enggak jadi, jatuhnya pada di ranah gosip lagi. Kan jadi dosa berkepanjangan.
Percakapan ini ditutup oleh Fatia sendiri. Ia memang peka kalau urusan mengambil inisiatif. Kalau Hana sendiri dia yang menjadi pengingat waktu telah hampir larut malam.
Setiap orang memiliki karakter orang yang berbeda dan jika digabungkan akan menjadi kesempurnaan. Sendiri itu memang menyenangkan. Tetapi bersama lebih indah dan banyak warna. Meskipun banyak drama nantinya.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Physics Not Doctors
ЧиклитNadia Zahira bercita-cita menjadi guru sejak Sekolah Dasar. Namun, setelah memasuki Sekolah Menengah Pertama ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Keinginannya diperkuat dengan mempelajari olimpiade Biologi sejak Sekolah Menengah Pertama hingga Se...