(24) Limit

22 1 2
                                    

~Segala sesuatu yang hadir dalam kehidupan pasti ada batasnya. Meskipun batasnya bisa saja sampai tak hingga.~

Fatia menyeruput es cokelatnya dengan suara yang menggiurkan. Ia menawariku sebelum izin menikmatinya. Sembari membiarkan hawa panas dari dalam tubuh menyatu dengan sensasi dinginnya air di tengah hari.

"Terima kasih, aku lagi enggak bisa minum es," jawabku seraya menelan saliva. Terlalu beresiko dan rentan terhadap batuk yang tidak diundang. Aku tidak mau menjadi bahan perhatian ketika menjelang ujian nanti.

"Assalamualaikum," sapa Kanaya sebelum mendaratkan diri ke sebelah bangku Fatia. Ia berusaha mengatasi napasnya yang masih belum teratur. Terdengar kasar dan ada beberapa molekul air keluar dari pori dahi.

"Wa'alaikumussalam." Kami menjawabnya sesuai dengan versi masing-masing. Tidak terlalu ceria atau terlalu rendah.

"Jadi, apa saya terlambat kali ini? " Kedua alis mata Kanaya saling bertautan memberikan kesan sedang mengkhawatirkan posisi kami selaku klien yang menunggu.

Sedangkan yang kutahu dia sudah berusaha keras untuk datang tepat waktu. Kalau dihitung perjalanannya, mungkin saja bisa berpuluhan meter. "Ah, santai saja. Kalau bagian tunggu-menunggu aku selalu senang kok. Apalagi bisa sempat menuliskan lanjutan novel sampai satu bab." Tidak ada istilah menunggu sampai jamuran atau lumutan untukku apabila gawai masih bisa diajak kencan.

Fatia spontan mendelik dan menatapku penuh dengan kekesalan menandakan bahwa ia tidak setuju. Bibirnya maju satu senti. "Kau aja kali. Aku mah ogah," jawabnya seraya berkeling puas.

"Saya tahu, tapi setidaknya adakalanya kita memang harus saling pengertian dan tidak memandang sebelah sisi. Apalagi kesibukan setiap orang berbeda-beda. Maka cara seseorang memberikan kepercayaan adalah tepat waktu. Meskipun dalam hal kecil sekalipun," ucapnya mencoba memberikan pengertian. Kemudian beralih aktivitas memperbaiki bros mawar kerudung sebelah kirinya.

Ah, ini adalah hal yang tidak bisa kudapatkan. Bagaimana mungkin aku selalu menggampangkan sesuatu? Padahal ada bahaya besar yang menghadang. Tugas dikumpul paling lama dan sistem kebut semalam sudah menjadi tabiat yang mendarah daging. Apalagi pertemuan yang kupikir tidak terlalu penting ini. "Wuah, terima kasih Nay, ucapanmu bisa menjadi pertimbangan bagiku." Iya, aku butuh sesuatu yang membuatku lebih nyata dalam meningkatkan kewaspadaan. Sepertinya aku kekurangan hormon adrenalin dalam menghadapi sesuatu. Ia tidak berfungsi sebagaimana mestinya ketika ditekan seseorang.

"Wuah, telinga saya bakalan naik nih. Saya tidak ingin menyinggung perasaan orang lain sebenarnya. Kata-kata tadi bertujuan untuk mengingatkan diri sendiri," sanggah Kanaya dengan logat ramahnya.

Sejujurnya memang iya, namun aku seharusnya sangat bersyukur. Jarang sekali ada orang yang seperti itu. Bahkan kalau aku menjadi Kanaya, pasti akan membiarkan ucapanku terperangkap dan tidak mampu menasehati. Ujung-unjungnya menjadi tulisan sepanjang rel kereta api. Terlalu takut mengutarakannya, khawatir bila orang lain mendengarkannya memiliki penyakit hati. Tersinggung dan berakhir pada penganiayaan batin. Tetapi melihat cara Kanaya berkomunikasi. Ia seperti tahu menempatkan posisinya di mana. Seperti huruf alif yang tahu diri harus menyembunyikan diri atau terdengar jelas ketika bertemu huruf berbeda.

"Eh, sepertinya pembahasan itu nanti saja deh. Aku enggak memiliki waktu banyak sih. Hanya saja ingin memberikan sebuah kabar. Maaf kalau mungkin ini terdengar buruk," sanggah Fatia menengahi. Bibirnya cengar-cengir dan sedikit canggung mengungkapkan kebenaran. Kemudian menggaruk halus tulang belakang.

Aku berdehem kasar. Katanya lagi cepat, eh pakai mukaddimah segala. Enggak jelas juga. "Jadi, apa tu?"

Fatia memejamkan mata dan menarik napas sejenak selama lima tiga detik. Botol es cokelat kosong yang ada di depannya sengaja disingkirkan. Suara kedebuk halus memasuki tong sampah tepat di sebelah kanannya. "Berita buruknya, PKM kita tidak lolos pendanaan. Berita baiknya, PKM yang kumasuki di kelompok lain itu," ucapannya menggantung setelah menyadari ada notifikasi cahaya di gawainya. "Lulus," lanjutnya kemudian mematikan layar gawai. 

Ah, aku tahu. Seharusnya tidak perlu memberikan sebuah harapan walaupun sedikit. Rasanya ada luka yang tidak berdarah. Hanya saja tidak separah menerima kenyataan tentang si makhluk astral itu. Ya, aku memang harus sadar diri. Tidak ada keberuntungan tanpa usaha untukku. Nyatanya, aku memang harus berjuang keras jika keberuntungan ingin mendatangi diri ini. Perjuangan ke kosan mereka yang hanya sekali belum layak dijadikan tolak ukur diterimanya PKM. Mungkin saja, para tim yang diterima sudah melalui serangkaian diskusi panjang. Sedangkan Fatia sendiri, ia tampak selalu sibuk memikirkan ini itu.  

"Selamat ya, saya senang sekali ada yang mewakili dari kita," ucap Kanaya mengulurkan tangan dan menarik bibir simetris. 

Hal itu berhasil mengalihkan lamunan ini. Seharusnya ekspresi pura-pura bahagia terlebih dahulu yang kutunjukkan. Bukan tatapan kosong seperti ikan mas koi. "Iya Fatia, selamat ya. Aku senang juga sekali, jadi bisa berbagi pengalaman deh," ucapku tidak mau kalah dan ikutan mengulurkan tangan setelah Fatia menjabat tangan Kanaya.

"Terima kasih semuanya." Senyumannya semakin indah laksana pelangi. Ia menarik napas kasar lagi kemudian. "Kalian yang sabar ya. Pada lain kesempatan kita akan membangun kerjasama kembali."

"Kami akan selalu kuat kok. Kebahagian sebenarnya adalah merasakan hal yang sama ketika salah satu dari kita itu bahagia. Iya kan Nay?" Aku mengedipkan sebelah mata kiri dan menyunggingkan senyum. Ah, benar apa yang dipraktikkan Kanaya tadi. Ucapan baik itu akan menjadi sulap tersendiri bagi pelakunya. Meskipun bersifat sementara. Aku bisa merasakan sensasi bahagia yang sama saat ini.

"Maaf jika waktuku tidak banyak untuk ke depannya. Bahkan saat ini kami yang lulus pendanaan harus kumpul di gedung putih. Aku mohon restu dan doanya ya." Tatapan Fatia begitu serius sembari melempar pandang satu sama lain. Kedipan cahaya di gawainya seakan memanggil untuk diperhatikan.

"Iya, enggak apa-apa Fatia. Santai saja," jawabku cepat dengan mengalihkan pandangan ke gawainya. "Lihat tuh, sudah pada dicariin sama ketuanya. Kayaknya segera deh, ketua sudah enggak sabar jumpa. Ini bukan maksud ngusir ya. Hanya mengingatkan saja," ledekku seraya tersenyum nakal.

Sukses membuat Fatia salah tingkah. "Ye, mulai sotoy."

Sekali lagi, aku menyengir dengan tatapan tanpa dosa. "Emang iya!" Kanaya hanya bisa menggelengkan kepala sembari tersenyum melihatku sukses menggoda Fatia. Setelah kutelisik lebih lagi, Kanaya cukup anteng kali ini. Diam, mengangguk seraya diselingi senyuman, dan membiarkan aku heboh sendirian.

Sedangkan Fatia bergegas merapikan barangnya dan bersiap-siap untuk pergi.

"Yaudah, Fatia pergi dulu ya. Kalian jaga diri baik-baik. Assalamualaikum," pamitnya dan tidak lupa menyalami kami satu sama lain. Hanya saja tidak cipika-cipiki seperti biasanya di waktu senggang jika bertemu para ukhti.

Tersisa sebuah pesan yang memberikan sebuah pelajaran tersirat tentang keberhasilan. Lagi-lagi, tidak mudah didapatkan hanya dengan sedikit usaha.

"Jangan batasi mimpi. Meski satu pintu tertutup. Jangan batasi harapan, jika itu membuat diri merasa bahagia. Benar begitu bukan, Ra?" Kanaya menatap serius dengan senyuman yang mencoba menenangiku.

Aku mengangguk dan membalas senyumannya. Tidak ada yang lebih baik selain memikirkan ulang. Kebanyakan orang sepakat bahwa semua yang ada di dunia ini ada batasnya. Batas dalam ilmu Matematika selalu disebut dengan limit. Sedangkan pada ranahnya saja ada pilihan batas tak hingga.

Kalau begitu, bolehkah aku membatasi mimpi dan harapanku dengan tak hingga? Agar aku tahu caranya untuk tetap bertahan dan melupakan penderitaan.

Bersambung

Physics Not DoctorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang