(19) Periskop

35 2 0
                                    

~Alat bantu untuk melihat benda-benda yang sulit dijangkau. Bisa ditemui di kapal selam ataupun kendaraan tempur lapis baja.~

Suara ketikan masih terus berorasi di indera pendengarannku. Berusaha mengantarkan kerinduan tentang asaku. Perlahan meluruh bersama ketukan jari yang Fatia lakukan. Ujung jari kanannya sengaja ia ketukkan di atas buku diktat. Aku menghadapkan wajah ke arahnya, memberikan tatapan penasaran atas ulah anomalinya. "Kenapa?"

Ia menatap balik, memberikan seutas senyum yang sempat meredup. "Jadi beneran kalau Ra dapat juara MTQ?"

"Bukan MTQ tetapi MKQ," ralatku  membenarkan. Aku tidak mau membuat isu yang salah jika tidak diklarifikasi. Ah, kenapa sih  orang harus menyebutnya dengan juara? Juara itu hanya ditempati di posisi pertama. Sedangkan peringkat di bawahnya biasanya dipandang biasa.

Beruntung sebab aku memiliki abang Zain yang bersedia membantu dalam mempersiapkannya. Sungguh keberhasilan yang disyaratkan dengan banyak latihan. "Hanya menempati posisi yang ketiga saja." Aku berharap, ia tidak seperti manusia lain yang meminta pajak hadiah atas keberhasilanku. Dapatnya enggak seberapa, tetapi orang lain yang meminta syukuran. Sedangkan aku orangnya enggak enakan bila menolak. Tetapi itulah yang biasa dilakukan oleh generasi jaman sekarang.

Aku tidak tahu arti dari keberuntungan yang kudapatkan ini. Pola yang sering kutemui adalah kemalangan di perjalanan hidup berikutnya. Entahlah, sampai sekarang aku tidak mengerti dengan skenario hidupku yang acak adul.

Fatia memanggutkan dagu dan beralih fungsi menggoyangkan kedua kaki ke depan dan belakang. Ia menikmatinya dengan begitu santai tanpa terbebani. Sesekali membuka diktat yang ia pegang dan membaca rangkaian kata dengan angka.

Daun-daun banyak berguguran ketika angin menyentuh pipiku. Ah, begitu sejuk sampai aku lupa harus melanjutkan naskah yang belum usai. Hati mulai gunda dan seolah ada yang tertahan dalam rongga dada. Menyesakkan, hingga aku lupa memulai percakapan ini dari mana.

Entah kenapa, pesona kedokteran itu tidak pernah usai dalam benakku hingga saat ini. Meskipun sudah tidak lagi aku mencari informasi yang terkait. Jiwa kebahagiaanku seakan hilang begitu saja atau mimpi yang terpendam itu sedang merinduiku. Ini bukan perkara lelaki itu, tetapi aku sendiri. Perasaan dari mana ini? Padahal sudah jelas ada banyak profesi lain yang memikat hati. Bahkan saat mengajar murid-murid juga memiliki rasa senang dan nyaman. Tapi kenapa? Kenapa aku masih terus rindu? Haruskah aku menemui kerinduan dan memuaskan rasa penasaran atau meninggalkannya?

"Kanaya akan datang lima belas menit lagi," ucap Fatia.

Kami sudah menunggu selama lima belas menit. Kini harus menambah lima belas menit. Itu berarti, setengah jam dari totalitas tunggu menunggu ini. Entah kenapa Kanaya mengajak bertemu sore ini. Aku mengiyakan kebetulan anak les sedang ingin libur hari ini.

"Tara!" Kanaya memperlihat sebuah kertas persegi yang berjumlah tiga buah. Desain klasik yang meninggalkan kesan sederhana. Sangat khas dengan perpaduan warna cokelat.

"Apa itu?" tanyaku lebih dulu.

"Ah, aku takut tidak bisa menyerahkan dan menjelaskan langsung padamu. Beberapa pekan ke depan aku akan melalui masa sibuk. Jadi, ini adalah tiket untuk menuju bazar buku terbesar di kota ini. Jarang-jarang loh ada yang bisa mendapatkan tiket pertama kali masuk. Aku bisa mendapatkan ini karena koneksi yang bekerja di sana. Lagian sayang banget kalau enggak dipakai. Launchingnya sabtu ini," jelasnya seraya memberikan satu tiket masing-masing padaku dan Fatia.

Kami berdua memperhatikan secara seksama apa yang tertulis di tiket tersebut. Tentunya sebuah alamat dan diskon besar-besaran. Aku sungguh takjub sepersekian detik sebelum menyadari kondisi keuangan yang minim. Kalau ada acara seperti ini. Rasanya ingin pergi bersama ke tempat itu. Kemudian menikmati waktu yang berlalu dengan tawa dan canda pada saat perjalanan. Setelah melihat jadwal yang kupunya, di hati sungguh menyesakkan. "Aku pun juga sibuk dengan jadwal mengajar privat di siang hari."

Fatia masih menekukkan wajah. Ia belum mengucapkan sepatah kata pun. Kecuali membuka diktat dan meletakkan tiket tersebut di tengah. Bersamaan dengan semilir angin yang semakin gusar. Sebuah kertas jatuh dari diktat tersebut.

Aku langsung membungkuk dan menggapai kertas yang terbalik. Kemudian melihat sekilas ada sebuah gambar periskop dengan sketsa. Perpaduan pensil tumpul dan halus. "Wuah, bagus banget gambarnya," pujiku spontan. Aku tidak menyangka jika Fatia itu sangat kreatif.

"Ah, Ra bisa aja," ucapnya rendah hati berusaha menurunkan daun telinga yang sedang naik. "Kalau aku belum tahu juga. Rencana sabtunya ya mau pulang ke rumah. Biasanya menemui adik-adikku," jawabnya seadanya dan meninggalkan ucapan yang tersendat. "Tapi enggak tahu juga kalau nantinya berubah pikiran. Jadi kusimpan saja dulu. Terima kasih ya Kanaya."

"Sama-sama," jawab Kanaya seraya tersenyum.

Aku merasakan sensasi yang aneh jika berada di posisi Kanaya saat ini. Begitu tahu tiket yang sudah diusahakan malah berada di tangan orang-orang tidak jelas seperti kami. Meskipun tidak terlalu berharap besar. Tetap saja kan ia menginginkan kehadiran kami. "Kamu enggak apa-apa Nay?" tanyaku mencoba memastikan apakah ada sesak yang tersimpan di dalam dadanya.

Ia menggelengkan kepala dan mengeratkan binder di dalam pelukkan dengan ekpresi tersenyum. "Enggak apa-apa. Aku hanya ingin membagi apa yang kutahu saja. Jika kalian datang alhamdulillah, jika tidak ya tidak masalah. Selebihnya nanti bisa kita bincangkan di grup. Ini hanya antisipasi saja apabila salah satu di antara kita memiliki waktu yang berbeda. Jadi tidak harus terbebani deh."

"Terima kasih ya sudah memahami," timpal Fatia seraya memasukkan seluruh bawaan yang ada di luar ke dalam ransel kainnya. 

Kali ini, aku sungguh bingung. Entah mana orang yang paling sedih di pertemuan kali ini. Kanaya memang tampak kecewa. Namun Fatia seolah lebih murung dari biasanya. Kami memilih berjalan ke arah yang sama. Kemudian berpisah di perempatan jalan. Bagiku Kanaya itu seperti ruang yang menghubungkan aku dan Fatia saja. Kami memang sangat sibuk, hanya saja berusaha memberikan titik terang yang terbias bila mau menyempatkan waktu saja.

Namun janji adalah janji. Ia akan selalu menjadi hutang bila tidak ditepati. Begitupun aku dan Fatia sudah memiliki janji duluan pada yang lain. Jika memberikan janji lagi di waktu yang bersamaan. Rasanya begitu sulit, jika harus mengusahakan di kedua tempat. Aku tahu, kami bukanlah superhero yang memberikan kenyamanan bagi orang sekitar. Melaikan hanya seorang wanita yang berusaha untuk tetap tegar untuk menenangkan perasaan orang lain.

Aku dan Mamaku. Sedangkan Fatia dengan keluarganya. Kanaya, ia terlalu bahagia jika menemui keluarga hanya dengan menelepon secara rutin.

"Hati-hati di jalan Ra," pesan Kanaya sembari melambaikan tangan dengan nuansa selamat tinggal.

"Jangan lupa baca doa di perjalanan ya," timpal Fatia diiringi senyuman manis tanda perpisahaan kali ini.

Langit masih berwarna jingga terang. Namun sinarnya tidak menakutkan. Lebih indah jika dijadikan sebagai kenangan.

Bersambung

Physics Not DoctorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang