(11) Pertemuan

86 6 6
                                    

~Tak peduli seberapa banyak omongan orang yang mengganggu. Tetaplah bertahan di jalanmu dengan penuh kebaikan~

Digital Library adalah salah satu alasan kenapa aku harus bertahan kini dan nanti. Apalagi di sela-sela tugas yang begitu menumpuk membuatku ingin lari dari kenyataan. Salah satunya adalah hal yang kulakukan saat ini. Jika teman-teman sekelasku pada meminjam buku referensi tugas. Aku malah sebaliknya meminjam buku yang menurutku asyik dan menarik untuk dibaca. Sayangnya seringkali aku tidak menemukan waktu untuk membacanya. Hari-hariku sudah sangat sibuk dengan tugas perkuliahan yang tidak ada kelarnya. Bahkan diriku saja nyaris kewalahan mengatasinya.

Pada ruangan yang bersekat rak cokelat susu ini aku menelusuri sekeliling. Kedua bola mata sibuk mengabsen buku-buku yang ada. Aku berencana memilih yang ringan dan cover-nya harus semenarik mungkin.

Kemudian telinga ini mendengar derap sepatu mendekat. Perlahan tapi tidak pasti di mana arahnya. Aku terkejut ketika di belakangku ada seseorag bidadari bukan dari kayangan tapi dari Bumi. Tubuhnya ideal dan lebih tinggi dariku. Ia menggunakan pasmina hijau yang menutupi dada. Baju gamisnya juga dikolaborasikan dengan warna biru. Cantik dan terlihat anggun. Ia tersenyum padaku seolah memberikan isyarat senang bertemu denganmu. Duh, aku kebanyakan baper begini jadinya.

Tidak banyak yang terjadi di sini. Aku penasaran dengannya. Ia kemudian duduk di tempat baca yang memang sudah disediakan. Dari segi gerak-geriknya ia sangat tenang. Tidak seperti diriku yang super duper ribet dengan beragam macam bawaan seperti laptop, charger, ponsel, kotak pensil, dompet, dan kertas.
"Kak boleh lihatin bentar ya," ucapku setelah meletakkan seluruh barangku di depannya.

Ada hal yang terkadang menjadi sebuah pemikiran yang wajib ditafakurkan. Pertama tentang pilihan dan yang kedua adalah keputusan. Maka cara jitu memilih jenis buku yang kuinginkan kali ini adalah seputar dunia kepenulisan. Namun berhubung akhlakku kadang waras dan tidak tidak. Buku motivasi bisa membantuku mencari jati diri. Bagaimana bisa aku kuliah begini-begini saja? Hanya mempelajari fisika bagian kulitnya saja. Aku tahu ini semua memamg tidak benar. Tapi mau bagaimana lagi.

Sebuah buku Menemukan Harapan di hadapanku kini menjadi perhatian. Tangan kananku dengan sigap mengambilnya dari rak yang berada tepat di hadapanku. Kali ini aku hanya ingin mengambil satu buku saja. Banyak-banyak namun tidak terbaca ya sama saja. Lagian barangku sudah cukup banyak menyusahkan. Ribet deh.

Wanita itu masih tetap berada di posisi manisnya. Seperti ada dunianya sendiri tanpa terganggu dengan aktivitas anehku di sini. Seperti menimbulkan berisik kertas dab derap langkah khas.

"Kak, terima kasih ya," ucapku santun.

Gadis itu mengiyakan seraya tersenyum ramah. Kemudian menutup buku yang ia baca sebelum beralih ke gawai. Rasanya aku ingin menebak jurusan yang ia tekuni dari jenis buku itu. Sebuah buku yang berjudul Tips Mengolah Bahan Makanan dengan Baik bisa jadi menjadi sebuah petunjuk bahwa ia berada di jurusan Teknik. Bahkan ilmu gizi sekalipun masih berada di dalam naungan fakultas itu. Namun bisa saja sih dia mengambil jurusan Tata Boga. Namun spekulasi ini tidak sepenuhnya benar sih. Enggak usah jauh-jauh deh. Buktinya aku bagaimana? Orang lain pasti mengira aku jurusan Bahasa Indonesia dari kegiatanku yang suka meminjam buku sastra. Ah, seharusnya aku lebih sering meminjam buku kesehatan saja. Kan sejalan dengan impian yang ingin kuwujudkan untuk mendalami itu semua.

Aku ini gimana sih? Ngakunya suka sama dunia medis. Tapi kelakuanku saja mencerminkan bukan di jurusan itu. Apa mungkin ya aku tuh hanya butuh pengakuan? "Benar enggak sih terkadang kita ngerasa sedang membohongi diri sendiri, bahkan menipu diri sendiri? Eh, sama ya istilahnya."

"Semua orang mungkin juga merasakan hal itu. Mereka pernah berada di fase merasa terpaksa untuk melakukan sesuatu yang memang tidak suka di posisi itu. Tetapi ada juga kok yang masih tetap bertahan hingga bertahun-tahun."

Hal yang aku takutkan adalah terjebak di posisi itu seumur hidup. Menyesal dan selalu menyalahkan takdir. Menyebalkan, aku jadi berpikir negatif begini. Aku tahu benar rasanya dipaksa. Sesak, namun tidak bisa keluar dari zona tersebut. Eh, siapa tadi yang menjawab ucapanku? Aku mengedarkan pandangan ke depan. Hanya gadis itu yang berada di hadapanku. Itu berarti dia dong. Enggak mungkin kan ada hantu yang menyaut ucapanku.

"Maaf, jika aku lancang ikut campur kegiatan monologmu," ucap gadis itu.

Aku melihat jelas suara itu keluar dari bibirnya. "Ah, aku justru sangat senang sekali. Jarang loh ada yang bisa paham dengan ucapanku. Makanya aku sering berbicara sendiri sembari berharap bisa menemukan jawabannya. Nyantanya, pengetahuanku yang miskin ini tak jarang tidak menemukan solusi apapun," jawabku jujur. Aku lega rasanya bisa didengarkan seperti ini. Sebentar, aku lupa menghubungi Inaya. Pasti ia bingung menemukanku saat ini. Ah, rasa maluku bisa dua kali lipat kali ini. Apalagi dia kan membawa temannya. Mataku membulat ketika ada dua belas panggilan tidak terjawab di gawaiku. Ra, kamu sungguh payah kali ini.

"Nay!"

Aku ingat betul suara panggilan itu berasa dari nadanyanya Inaya. Namun hal yang kutangkap adalah gadis itu menoleh ke samping dan tersenyum sembari melambaikan tangan. Tolong Ra, bagaimana nasip Inaya saat ini? Bisa saja kan itu hanya orang yang memiliki suara yang sama saja. Malah enggak ada jaringan lagi, menyebalkan. Sepertinya aku harus mencari jaringan terlebih dahulu.

"Loh, Ra. Kamu di sini sejak tadi rupanya?" tanya Inaya tidak percaya.

Aku merasa sedang menjadi tersangka kali ini. Dahinya berkerut mengisyaratkan suasana yang lain. Tamatlah riwayatku kali. "Nay, maaf aku enggak bisa menghubungi," ucapku pasrah.

Inaya menarik napasnya perlahan. "Enggak apa-apa Ra. Lagian aku juga baru datang kok. Kebetulan banget kita bisa langsung ketemu. Untung aku juga udah janjian sama teman aku."

Entah kenapa, deretan kata pertemanan itu selalu membuatku minder. Aku biasanya selalu bersama Aini. Tapi malah berusaha untuk tidak lagi peduli padanya di saat seperti ini. Aku hanya berusaha memahami situasi saja. Tetapi lupa bagaimana memahami diri sendiri.

"Kenalin Ra, ini Kanaya Putri dari ilmu gizi. Orang yang aku ceritakan kemarin," kedua bola matanya melirikku, "Nay, ini Nadia Zahira satu jurusan denganku, biasanya dipanggil Zahira. Ra, juga boleh kok. Iya kan?"

Aku mengangguk paham setelah itu. "Hihi, iya. Salam kenal." Kami menjabat tangan satu sama lain. "Gimana nih cara manggil kalian. Soalnya samaan gitu. Kanaya dan Inaya. Kalau misalnya manggil Nay, dua-dua menoleh kan?" Sebelah mataku berkedip ke arah Inaya.

"Iya juga sih," celetuk Inaya. Ia mengambil kursi dan mengisyaratkan kami untuk duduk juga.

"Gimana kalau misalnya aku panggil Inaya itu Fatia. Kalau Kanaya tetap?" Meskipun sebenarnya aku sudah terbiasa memanggilnya Inaya di kelas. Terkadang kebiasaan itu tidak mudah diubah sih. "Ini sih kalau misalnya kita samaan seperti ini."

"Kalau saya sih, ya terserah. Gimana mau enaknya saja."

Aku berharap Inaya juga setuju dengan hal itu. Setelah mengingat, ia memiliki selera yang berbeda denganku.

Bersambung

Physics Not DoctorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang