Pemandangan ini benar-benar tak pantas untuk dilihat secara langsung. Darah berceceran bahkan menggenang di sepanjang lorong yang dilewati Raph. Entah siapa yang kehilangan darah sebanyak ini. Raph menutup hidungnya untuk menghindari bau amis yang begitu tajam. Rasanya ia ingin muntah sekarang juga. Namun tidak ada waktu untuk itu. Ia harus menemukan di mana Erick. Setidaknya itu harapan terakhirnya bertemu dengan Jaden.
Temukan di mana Erick, aku akan ada di sana
Itu yang terakhir didengar Raph sebelum akhirnya ia dan Jaden berpencar. Raph menarik napas dalam, tentu dengan terlebih dahulu mencari udara bersih untuk dihirup. Ia mengepalkan tangannya, melangkah menyusuri lorong yang menyeramkan itu.
Bayangan wajah sahabat-sahabatnya melintas satu per satu. Air matanya mulai menetes. Bukan, bukan karena ia takut. Namun ia begitu geram. Mengapa ini semua harus terjadi dan merusak indahnya persahabatan mereka semua?
Raph mengusap air matanya, ia meneriakkan tekadnya di dalam hati, ia harus kuat. "Aku kuat! Aku pasti bisa! Ini demi sahabat-sahabatku!" ujar Rapholen dengan tegas kepada dirinya sendiri.
Di tengah tekadnya yang menggebu-gebu, tiba-tiba sesuatu menghentikan langkah Rapholen. Telinga Raph menangkap suara meski hanya terdengar sayup-sayup. Kedengarannya seperti orang yang tengah berdebat. Perlahan ia meraih pistol yang sebelumnya menggantung di pinggangnya. Ia berjalan mengendap-endap dengan tangan sudah siap memegang senjata. Suara yang samar itu menuntunnya ke sebuah ruangan. Rapholen mengintip ke dalam ruangan melalui kaca kecil pada pintu.
Mata Raph langsung tertuju pada kedua sahabatnya. "Erick, Jaden?"
Kelihatannya dua laki-laki itu tengah beradu mulut dengan pria lain yang ada di seberang mereka. Sayangnya, Raph tidak bisa melihat orang tersebut karena posisinya membelakangi pintu.
"Siapa itu? Sepertinya ia menodongkan senjata kepada Erick dan Jaden. Kalau seperti ini, apa yang harus kulakukan?" Raph mulai panik sendiri.
Di dalam ruangan, Shavero sampai di akhir perdebatannya. "Sudah, jangan banyak bicara lagi. Ini akan menjadi hari terakhir kalian berdua," ujar Shavero, "atau lebih tepatnya, hari terakhir bagi Raph cs."
"Tidak secepat itu!" seru Raph dengan berani menubruk tubuh Shavero hingga jatuh terguling bersamanya.
"Raph!" Erick dan Jaden spontan menyerukan nama pelaku aksi heroik tersebut.
"Kurang ajar!" umpat Shavero langsung berdiri menodong Raph dengan pistolnya.
Raph juga melakukan hal yang sama. Mereka pun beradu tatap. Raph akhirnya melihat jelas siapa orang yang mengancam keselamatan kedua sahabatnya tadi.
"Tidak mungkin kau ada di sini!" seru Raph. "Kenapa kau menodong Erick dan Jaden, ha?"
Ia juga baru menyadari bahwa mereka telah dikepung oleh pasukan berpakaian hitam yang berjaga di pinggir ruangan.
Shavero tersenyum angkuh. "Salam dari kematian, Raph. Jangan emosi dulu!"
"Tutup mulutmu!"
DAR! Raph menembakkan peluru dari tempatnya. Timah panas itu kini bersarang di lengan kanan Shavero.
Darah mengalir keluar dari lubang peluru. Shavero jatuh berlutut sambil memegangi lengannya. Pasukan Shavero segera menolong bos mereka itu.
"Keparat! Tangkap mereka bertiga!" seru Shavero memerintahkan pasukannya yang lain untuk bergerak.
Pasukan Shavero melaksanakan perintah dengan cepat. Raph dibawa ke dekat Erick dan Jaden untuk diikat bersama. Namun Jaden langsung melakukan perlawanan. Shavero tau pasukannya pasti kewalahan menghadapi Jaden. Daripada kekuatan pasukannya menjadi berkurang karena dihajar oleh Jaden, lebih baik ia biarkan saja Jaden tetap bebas.
KAMU SEDANG MEMBACA
E37B
Mystery / Thriller⚠CERITA INI SEDANG DIREVISI⚠ Rencana penggusuran gedung Universitas Kaciles menjadi awal dari rentetan peristiwa pahit yang menghantui seisi kampus. Erick Bastian, mahasiswa paling berprestasi pemilik kursi E37B, disebut-sebut sebagai dalang di bali...