Teror (3)

1.3K 120 4
                                    

Hari ini masih termasuk masa pelatihan untuk acara wisuda. Namun, kebanyakan tetap berada di kelas karena sudah lelah berlatih kemarin. Para mahasiswa mengisi waktu kosong dengan hal-hal menyenangkan yang tidak bisa dilakukan saat ada kelas. Begitupun para mahasiswi yang memanfaatkan saat bersantai ini untuk berkumpul dan bercengkerama. Aleesna turut bergabung dengan kelompok mengobrol tersebut.

Jaden duduk dengan tenang di kursinya. Ia kelihatan sedikit gugup hingga menarik napas dalam berkali-kali. Sebenarnya Jaden pun sedang dalam topik pembicaraan mengenai kasti bersama timnya. Tak lama lagi akan berlangsung sebuah kejuaraan yang bergengsi, dan tim mereka berencana untuk mengikutinya. Namun, Jaden tampaknya tak menyimak sama sekali.

"Huft ...." Jaden mengembuskan napas panjang. Ia menunduk dan memejamkan matanya.

"Ada apa denganmu, Sobat?" tanya salah seorang temannya. Ia menepuk bahu Jaden pelan. "Kau sedang gelisah, ya?" sambungnya.

"Aku baik-baik saja. Hanya sekarang ini aku sedang bertengkar dengan Aleesna," jawab Jaden tanpa mengubah posisinya sedikit pun.

"Hanya Aleesna atau semua sahabatmu?" tanya yang lain.

"Ya ... begitu lebih tepatnya, tetapi kemarin Aleesna yang kelihatan paling marah. Aku jadi khawatir." Kali ini Jaden menatap balik lawan bicaranya.

"Kau khawatir karena kau suka padanya, Jad," sahut orang tadi memancing tawa yang lainnya.

"Ssst... pelankan suaramu," balas Jaden memukul pelan lengan temannya itu.

"Hahaha, maafkan aku, itu tadi hanya semacam spontanitas saja."

"Aku sedikit tak nyaman bertengkar dengan Aleesna, rasanya seperti kehilangan semangat hidupku," jelas Jaden dengan jujur.

"Oh, kasihan sekali kau, Jad,"

"Ummm... kupikir bagaimana jika kau minta maaf saja padanya? Sekaligus kau mengungkapkan perasaanmu."

"Kau gila? Melakukannya bersamaan? Dimaafkan saja belum tentu." Jaden pesimis mendengar saran dari temannya itu.

"Sama sekali tidak gila. Kau terlalu berpikir tentang gagal. Bagaimana kalau ternyata berhasil?"

"Pasti gagal," balas Jaden.

"Jaden, kau saja bisa melawan penjahat, masa takut menyatakan perasaan pada perempuan? Ayo cepat sana." Teman kasti yang lain juga menyemangati.

Jika dipikir-pikir, saran dari teman-teman kastinya itu masuk akal. Jaden mulai setuju untuk mencoba. "Apa kalian yakin aku bisa melakukannya?" tanya Jaden.

"Tentu saja, Jad."

"Kau pasti bisa. Jangan khawatir, kami mendukungmu."

Jantung Jaden berdebar hebat karena rasa gugup yang juga luar biasa. Tekad dan segenap keberanian dikumpulkan sebelum bergerak. Kenangan saat pertama kali jatuh hati pada Aleesna muncul begitu saja di benak Jaden. Setelah dirasa sudah siap, Jaden bangkit dari duduknya. Sekali lagi ia menarik napas dalam-dalam, kemudian berjalan menghampiri Aleesna yang sedang bercakap-cakap dengan riang. Terdengar suara sorakan dan siulan dari tim kasti Jaden untuk menyemangati rekan mereka. Riuh dukungan tersebut juga menarik perhatian beberapa orang di kelas.

"Al," panggil Jaden dengan suara pelan.

Aleesna menoleh, ia melihat Jaden sebentar. "Ada apa?" balasnya dengan malas.

"Aku ... aku ... ingin bicara."

"Ya sudah, katakan saja."

"Ta ... tapi ... tapi tidak bisa, banyak orang di sini," tolak Jaden.

E37BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang