Pertandingan kasti antar kota berlangsung hari ini. Pagi-pagi sekali Raph c.s. bersiap-siap untuk menyaksikan pertandingan perdana Jaden bersama tim kastinya. Raph c.s. mengenakan pakaian berwarna senada, yaitu atasan ungu dan bawahan putih. Dengan semangat penuh, Raph, Aleesna, Erick, dan Kell datang ke rumah Jaden. Keempatnya berniat memberikan dukungan kepada Jaden dengan menemaninya dari berangkat sampai pulang membawa kemenangan nanti.
Rapholen menekan bel rumah Jaden. Pintu terbuka tak lama setelah bel berbunyi. Wajah lelaki yang membukakan pintu itu tampak mengantuk, matanya setengah terpejam, rambutnya berantakan, dan ia masih mengenakan baju tidur bergambar pahlawan super. Ia melihat wajah teman-temannya satu per satu.
"Ada apa?" tanya lelaki itu menggaruk-garuk kepalanya.
"Ya Tuhan, kau sangat berantakan, Jaden," ujar Aleesna menggelengkan kepalanya pelan.
"Aku baru bangun tidur, Al. Aku tidur larut semalam, jadi-" Jaden tersadar, ia kembali memperhatikan teman-temannya secara bergantian. Kali ini dengan lebih teliti lagi.
"Hari apa ini? Mengapa kalian kompak sekali? Memangnya ini sudah Hari Persahabatan?" tanya Jaden kemudian sibuk menatap kalender yang sengaja digantung di sebelah pintu.
"Tentu saja belum. Ini bukan Hari Persahabatan," jawab Erick.
"Lalu mengapa kalian memakai pakaian kembar seperti ini?" tanya Jaden masih tidak paham.
"Ini hari pertandingan kastimu!" jawab semuanya dengan kompak.
"A ... apa?" Jaden terbata-bata. Ia mulai menjatuhkan pandangan ke arah lain. "Aku ... sebenarnya ...." Bicara Jaden semakin gagap. Ia mengambil tarikan napas beberapa kali untuk menambah keberanian. "Sebenarnya aku keluar dari tim."
"Apa? Mengapa kau baru mengatakannya sekarang?" protes Raph.
"Aku lupa memberitahu kalian. Maafkan aku, ya," Jaden tertawa kecil.
Aleesna menepuk dahinya sendiri. "Ya ampun."
"Ah, sudah kubilang sebaiknya antar aku memeriksa kesehatan ke rumah sakit saja," gerutu Kell.
"Hm, aku dipihakmu, Kell," timpal Erick.
"Jangan bilang begitu, aku jadi semakin merasa bersalah. Sekali lagi aku minta maaf," ujar Jaden menyatukan tangannya. "Nah, karena kalian sudah terlanjur datang ke sini, mari masuk." Jaden mempersilakan tamunya untuk masuk.
Raph c.s. pun masuk dan duduk di sofa. Jaden segera pergi ke dapur dan mengeluarkan minuman soda berukuran besar dari lemari es. Ia juga membawakan gelas-gelas. Setelah meletakkan jamuannya tadi di meja, Jaden bergabung duduk santai di sofa tunggal.
"Nah, kira-kira apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Jaden menyandarkan tubuhnya.
Tiba-tiba ada yang mendeham. "Hal yang harus dilakukan adalah mandi dan mengganti baju tidur menggemaskanmu itu dengan pakaian yang seharusnya."
Jaden menoleh pelan, dengan susah payah ia menelan air liurnya. Ia tau siapa pemilik dari suara tersebut. "Hehe, selamat pagi, Ibu. Kelihatannya Ibu sangat lelah, apa Ibu ingin duduk?"
Ny. Andreas sudah berdiri melipat tangan di belakang Jaden. "Jika Ibu duduk, bagaimana denganmu?"
"A ... aku ..." Jaden perlahan berdiri. "Aku akan mandi dan segera kembali," sambungnya dengan cepat kemudian berlari menuju kamarnya.
Nyonya Andreas menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah putranya itu. Ibu satu anak itu tertawa kecil bersama tetamunya.
***
Rapholes c.s. memutuskan untuk menemani Kell melakukan pemeriksaan kesehatan di rumah sakit. Setelah itu, mereka pergi ke kampus hanya untuk duduk-duduk saja. Gedung fakultas sangat sepi. Mungkin tidak banyak kelas hari ini, dan sebagian pergi menonton pertandingan kasti.
Seperti biasa, Raph c.s. berkumpul di markas mereka, kursi taman. Sebelum ke rumah sakit tadi, Raph, Aleesna, Erick, dan Kell yang sudah terlanjur mengenakan pakaian ungu-putih itu mengganti kostum terlebih dahulu.
"Teman-teman yang lain sangat solid, ya. Mereka menonton pertandingan kasti karena mayoritas pemainnya adalah mahasiswa Kaciles. Itu luar biasa," puji Kell.
"Benar. Sayangnya Jaden kita tidak ikut bertanding. Padahal aku ingat betapa bahagianya dia saat dinyatakan lolos seleksi tim inti," balas Rapholen sembari menolehkan kepalanya menatap Jaden.
"Mengapa kau keluar, Jad?" tanya Erick kemudian.
"Pada hari diterimanya aku sebagai anggota tim, aku bertengkar dengan seseorang. Siapa sangka, aku tak akan pernah bisa berbaikan dengannya," jawab Jaden sembari tersenyum tipis.
Rapholen tercekat begitu mendengar ucapan Jaden. Seseorang yang Jaden maksud pastilah mendiang Emy. Selain bertengkar dengan Jaden, saat itu Emy juga tengah berurusan dengan Raph perihal sebuah kesepakatan.
"Jadi kau keluar dari tim karena selalu teringat akan kejadian itu, ya? Ah, aku bisa memahaminya," balas Raph mengangguk-anggukkan kepalanya.
Erick melirik Jaden dan Rapholen secara bergantian. Ia kemudian mengembuskan napas dengan lirih. "Maafkan aku," ujarnya menundukkan kepala.
"Maaf? Untuk apa kau minta maaf?" tanya Jaden mengerutkan dahinya.
"Ini semua salahku. Entah apa yang kulakukan pada Nyonya Sofie hingga ia sangat membenciku dan melakukan semua teror ini dengan mengatasnamakan diriku," jawab Erick.
"Erick, jangan bilang begitu," balas Aleesna.
"Kalian kehilangan dua sahabat dalam tragedi itu. Jaden pun sampai harus keluar dari tim. Memang bukan aku yang melenyapkan para korban, tetapi akar permasalahannya adalah diriku." Wajah Erick menunjukkan rasa bersalah yang mendalam.
Tangan Raph mendarat di bahu Erick untuk menguatkannya. "Tidak, Nyonya Sofie sendirilah akar masalahnya. Ia serakah. Jangan salahkan dirimu sendiri, Rick."
"Ya, itu bukanlah kesalahanmu, Erick. Hati Nyonya Sofie saja yang memang busuk hingga tega berlindung di balik nama baik orang lain," ujar Jaden.
"Apa yang Raph dan Jaden katakan itu benar. Kau tidak bersalah," timpal Aleesna. "Orang-orang licik seperti Nyonya Sofie bisa mengambinghitamkan siapa pun demi kepentingannya sendiri."
Dipandangi oleh Erick wajah teduh dari teman-temannya. Teringat bagaimana dulu ia pernah bersitegang dengan kubu yang bernama Rapholen c.s. ini. "Terima kasih, Teman-Teman. Maaf karena dulu aku mengira kalian orang-orang jahat seperti yang lainnya."
"Kau tidak perlu minta maaf. Perlakuan kami kepadamu juga tidak baik. Justru yang seharusnya meminta maaf adalah kami," balas Raph.
"Iya, perasaanmu pasti terluka karena kami," timpal Kell.
"Wajar jika kalian bersikap seperti itu kepadaku. Dulu, bagiku hanya Aleesna satu-satunya mahasiswa yang baik di kampus ini. Namun, tetap saja aku membalas keramahannya dengan ketus. Aku ini memang aneh."
"Ah, sudahlah. Kesalahan yang telah lalu tidak perlu diungkit kembali. Sekarang bagaimana jika kita saling bermaaf-maafan atas kesalahpahaman kita dulu? Kita jalani kehidupan dengan lebih baik dan saling menyayangi." Aleesna tersenyum memberikan saran.
Tentu saja saran itu disambut dengan baik oleh yang lainnya. Mereka saling meminta maaf atas kesalahan yang pernah mereka perbuat dahulu. Suasana haru itu berangsur-angsur menjadi canda tawa kebahagiaan. Akhirnya persahabatan mereka kembali utuh. Meskipun tidak sepenuhnya utuh, tetapi mereka bersyukur dan menjadikan kehilangan yang telah lalu sebagai semangat untuk saling melindungi.
KAMU SEDANG MEMBACA
E37B
Mystery / Thriller⚠CERITA INI SEDANG DIREVISI⚠ Rencana penggusuran gedung Universitas Kaciles menjadi awal dari rentetan peristiwa pahit yang menghantui seisi kampus. Erick Bastian, mahasiswa paling berprestasi pemilik kursi E37B, disebut-sebut sebagai dalang di bali...