Sebuah kendaraan roda empat berhenti tepat di depan pagar rumah Rapholen. Mobil itu dikendarai oleh Ny. Carla. Ibu itu mengantar Erick untuk menghadiri pertemuan bawah tanah. Setelah berpamitan dengan sang bunda, Erick pun turun dari mobil. Lambaian tangan dan senyuman diberikan oleh Erick mengiringi berlalunya Ny. Carla.
Halaman rumah Rapholen masih kosong. Itu berarti teman-teman yang lain belum datang. Erick melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. "Sudah cukup siang," ujarnya seraya melangkah menuju pintu.
Rapholen membuka pintu rumahnya yang beberapa detik lalu berbunyi akibat ketukan dari Erick. "Hai, Rick. Cepat juga kau datang," sapa Raph setelah melihat tamunya.
"Kau itu paling ceroboh dan mudah lelah. Aku berniat untuk membantumu," jelas Erick membuat Raph terharu.
"Wah, aku sangat tersentuh. Walaupun kalimatmu tadi sedikit menohok, tetapi kau benar. Silakan masuk." Rapholen mempersilakan Erick untuk masuk.
Rumah Raph sangat sepi. Erick melihat-lihat secara sekilas. "Rumahmu sepi sekali, Raph," ujar Erick berjalan menyusul Raph yang kembali sibuk menyiapkan makanan dan minuman di dapur.
"Aku ini kan putra bungsu, kedua kakak perempuanku sudah menikah, mereka sudah tidak tinggal di sini lagi. Tersisalah aku seorang anak kecil di rumah ini," jawab Raph terus sibuk menuangkan jus ke dalam beberapa gelas. "Kebetulan juga orang tuaku sedang pergi karena ada urusan."
"Aku tidak pernah tau kalau kau punya kakak perempuan. Aku kira kau seorang anak tunggal, seperti Aleesna dan Jaden. Seperti aku juga lebih tepatnya," ujar Erick mulai membantu Raph.
"Hahaha, tidak. Memangnya aku terlihat seperti anak tunggal, ya?" Rapholen tertawa kecil. "Orang tuaku sungguh beruntung memiliki aku. Walaupun aku sudah menikah nanti, aku akan tetap tinggal di sini menemani mereka."
Raph membawa beberapa gelas jus ke ruang tamu. Erick menyusul dengan membawa piring-piring berisi beraneka macam makanan ringan. Mereka menata hidangan tersebut dengan rapi di meja.
"Aku juga merasa beruntung menjadi laki-laki. Seperti katamu tadi, setelah menikah aku bisa membawa istriku tinggal bersamaku dan ibuku." Erick duduk menyandar di sofa.
"Meskipun di jaman sekarang ini banyak anak laki-laki yang memilih untuk berpisah rumah dengan orang tua, kurasa aku tak akan melakukan hal itu." Raph ikut duduk.
"Aku juga. Ya, setidaknya sampai istriku nanti berkomentar."
"Hahahaha, mengapa kita bicara sangat jauh, ya?" ujar Raph terkekeh.
"Tidak terlalu jauh, kita saja sudah akan lulus kuliah," balas Erick. "Oh iya, bagaimana dengan Aleesna setelah menikah, ya? Dia kan anak tunggal." ujar Erick.
"Bisa saja Aleesna meminta untuk tinggal di rumah orang tuanya. Aleesna itu cantik dan cerdas, suaminya pasti akan menuruti permintaannya," jawab Raph dengan santai.
"Benar juga, kurasa Tuan Andreas pun tak akan keberatan jika Jaden yang tinggal di rumah keluarga Aleesna," balas Erick.
Raph terdiam begitu teringat akan hubungan Aleesna dan Jaden. Ia menangkap maksud dari ucapan Erick barusan. Lagi-lagi perasaannya diuji. "Haha, i-iya, Rick."
"Raph, menurutku Aleesna dan Jaden akan berlanjut lebih jauh lagi. Apa kau juga berpikir demikian?"
"Ya ... ya ... tentu saja ... haha, tentu." Raph yang tengah menyembuhkan luka hatinya itu memutuskan untuk kembali ke dapur. "Aku lupa membawa tambahan selai cokelat, aku akan segera kembali."
Erick mengangguk. "Hm, baik. Kau ambil selai, aku akan menghubungi yang lain agar segera datang. Ini sudah hampir pukul sepuluh." Pria berambut pirang dengan otak cerdas itu membuka ponselnya. Belum sempat ia menelepon, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah Rapholen.
KAMU SEDANG MEMBACA
E37B
Mystery / Thriller⚠CERITA INI SEDANG DIREVISI⚠ Rencana penggusuran gedung Universitas Kaciles menjadi awal dari rentetan peristiwa pahit yang menghantui seisi kampus. Erick Bastian, mahasiswa paling berprestasi pemilik kursi E37B, disebut-sebut sebagai dalang di bali...