[5] Mengikuti Takdir

2.1K 193 10
                                    

Langkah kaki Gara terhenti saat Marry menyerukan namanya dari arah dapur, sepertinya wanita itu habis dari taman belakang rumah, terlihat gunting dan beberapa tangkai bunga di tangannya.

Gara berbalik, berpegangan pada pembatas tangga dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya yang dibebat disembunyikan di balik jaket. Wajahnya masih tetap sama; datar dan kaku, tak jauh berbeda dengan wajah sang mama saat itu.

"Kata Mr. John kamu tidak datang ke tempat les piano kemarin?"

Pertanyaan dari Marry lebih seperti pernyataan bagi Gara. Nadanya yang datar dan tatapan tajam yang berkilat menyelipkan kekecewaan terhadap Gara.

Gara terdiam karena merasa tak harus menjawab pertanyaan itu. Lagipula biasanya Marry langsung marah-marah tanpa perlu berbasa-basi dengan bertanya seperti tadi jika sudah dapat laporan dari Mr. John--guru les pianonya. Dan kapan pula Mr. John pulang dari Paris, Gara pikir pertunjukkannya masih akan berlangsung sampai tiga hari ke depan.

"Mr. John mendapat laporan dari Santi. Sudah tiga kali dalam seminggu ini kamu nggak datang ke sanggar. Sebenarnya apa maumu?"

Ah, jadi perawan tua itu yang mengadu, pantas saja Mr. John tahu dan melapor ke Marry. Sepertinya kapan-kapan Santi perlu dibungkam dulu agar tidak ketahuan seperti ini.

"Kenapa kamu tidak datang? Ke mana kamu bolos bersama teman-teman urakanmu itu? Kali ini kamu beruntung karena Mama yang ditelepon oleh Mr. John, bagaimana jika papamu?"

Diam-diam Gara meringis, teringat saat kelas sebelas dulu. Maxime pernah mengurungnya selama hampir tiga minggu karena Gara ketahuan membolos. Kerjaannya di rumah hanya bermain piano, untuk belajar pun gurunya sampai didatangkan ke rumah.

Baru saat itu Gara merasa benar-benar bosan. Ingin kabur saja rasanya namun hati kecilnya selalu menahan, memintanya untuk bersabar dan menunggu.

Pada saat ulangan tengah semester baru Gara dilepaskan lagi. Tawanan itu diberikan bebas, namun bukan berarti bebas dalam artian tak dikekang lagi, ia diwajibkan lapor seminggu sekali, bagaimana perkembangannya di sanggar.

Hidupnya sudah seperti robot yang kontrolnya dipegang penuh oleh Maxime dan Marry. Apa pun yang dikatakan kedua orangtuanya itu Gara tak berhak membantah walaupun itu menyangkut hidupnya, menyangkut masa depannya. Mereka seolah tak peduli dengan apa yang diinginkan Gara. Mereka hanya mementingkan apa yang mereka inginkan.

"Mau jadi apa kamu nanti jika terus seperti ini? Kamu sudah tidak ada waktu untuk bermain-main. Sekarang pikirkan masa depanmu."

Memangnya apa yang kalian tahu dengan masa depanku?

Ingin rasanya Gara menyuarakan kalimat itu. Namun selalu tertahan di tenggorokan dan pada akhirnya kembali ia telan bulat-bulat.

"Untuk kali ini kamu Mama maafkan. Mama tidak akan memberitahu papa. Tapi Mama tidak akan memberi toleransi jika kamu mengulanginya lagi."

Oke. Mungkin itu sudah keputusan final mengingat Marry tak lagi bersuara. Gara mengangguk sekilas lalu memutar tubuh hendak naik ke kamarnya yang berada di lantai dua.

"Oh ya, satu lagi. Nanti malam jangan kemana-mana. Diam saja di rumah karena ada tamu yang akan datang."

Gara mendengus tanpa mau repot-repot menyahuti ucapan mamanya. Ia kembali melanjutkan langkah, dapat dilihatnya beberapa pelayan sibuk membersihkan kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya.

Setelah bertahun-tahun kamar itu tak dilirik lagi, kini kembali dibuka. Semua barang-barang di dalamnya dikeluarkan. Malas berpikir, Gara hanya lewat tanpa bertanya.

Setelah menutup pintu kamarnya, Gara langsung melempar tas di atas kasur disusul dengan tubuhnya sendiri. Gara terlentang menatap langit-langit kamar. Sejenak ia terdiam untuk meredam sesak di dada. Ia lelah dengan semua yang terjadi pada hidupnya. Ingin bebas, namun tak tahu caranya melepaskan diri.

Flos LectumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang