Saat mata pelajaran Bahasa Indonesia, Gara lebih sering melamun. Matanya memang menatap Pak Boby yang tengah menjelaskan di depan. Namun, pikiran Gara telah berkelana meninggalkan raganya.
Pikirannya masih disita oleh pesan yang dikirim Dokter Frans beberapa saat lalu.
"Dia drop lagi."
Saat mengetahui hal itu, perasaan Gara langsung tak karuan. Rasa bersalahnya atas insiden beberapa tahun silam membuat Gara tak bisa berkutik.
Saat ini yang ia butuhkan adalah ketenangan. Ia butuh menyendiri jika sudah seperti ini.
Gara mengangkat tangan, membuat fokus Pak Boby yang sedang menjelaskan jadi teralih kepadanya.
"Boleh saya izin ke toilet sebentar, Pak?"
Semua yang tadi memerhatikan Pak Boby jadi beralih menatap Gara, tak terkecuali Athena dan kedua sahabatnya.
"Silakan. Tapi jangan terlalu lama."
Gara mengangguk lalu keluar dari bangkunya. Tatapan Geofrey tak pernah lepas dari cowok itu. Ia tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran Gara.
Walaupun ia terlihat biasa, namun jelas bagi Geofrey kalau Gara saat ini sedang gelisah dan uring-uringan.
Tak lama setelah Gara keluar, Geofrey pun meminta izin. Namun sayang, Pak Boby tak memberikan dua anak keluar sekaligus dalam mata pelajarannya. Jika Geofrey ingin keluar, maka ia harus menunggu Gara balik dulu ke kelas.
Sedangkan Gara sendiri tak benar-benar pergi ke toilet. Ia malah melangkah menuju loteng sekolah yang biasanya tempat untuk bersantai dan menghilangkan keringat setelah selesai melakukan ekstrakulikuler.
Gara duduk di bangku panjang yang teduh, ia kemudian mengeluarkan sebatang rokok dari saku celananya lalu menyulutnya dengan korek api.
Tak butuh waktu lama untuk Gara mengembuskan asap rokok dari mulutnya. Angin yang terbilang tenang menerbangkan rambut dan seragam sekolahnya yang sedikit kebesaran.
Gara terdiam lama dengan pandangan kosong. Di saat menyendiri seperti ini, ia selalu dihantui oleh rasa tidak adil dalam hidupnya.
Bagaimana kehidupannya bisa serunyam ini?
Saudaranya harus mendekam di rumah sakit selama bertahun-tahun tanpa pergerakan. Kondisinya tak pernah menunjukkan kemajuan. Dokter pun tak tahu apakah dia bisa bangun lagi atau tidak.
Ditambah lagi dengan sikap kedua orangtuanya yang selalu memaksakan kehendaknya kepada Gara. Membuatnya seperti robot yang mereka ciptakan hanya untuk mengikuti perintahnya.
Belum lagi dengan penyakit aneh yang bersarang di tubuhnya saat ini. Gara rasa hidupnya benar-benar hancur berkeping-keping.
Selama ini ia terus berusaha menyatukan kepingan hidupnya agar kembali utuh. Namun, sejauh ini tak pernah ada hasil untuk usahanya. Seakan tak ada kesempatan lagi untuknya bahagia.
Sudah lama ia muak dengan semuanya. Sudah lama ia ingin mengakhiri semuanya. Akan tetapi Gara benar-benar tak bisa. Ia selalu ditahan oleh hati kecilnya. Ia diminta untuk bersabar dan menunggu.
Namun, sampai kapan dia akan menunggu? Sampai kapan ia bersabar? Bukankah seseorang mempunyai batas kesabaran?
Lalu kapan kebahagiaan itu akan datang kepadanya? Gara bahkan lupa, bagaimana caranya ia bahagia. Ia lupa bagaimana rasanya tertawa dengan lepas tanpa beban lagi.
Gara kembali mengisap ujung rokoknya.
Jika ia tidak ditakdirkan untuk bahagia. Kenapa Tuhan tidak mengambilnya saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Flos Lectum
Teen FictionStory collaboration! Cover by member group @SiApril_ "Aku sudah mengenal banyak warna dalam hidupku jauh sebelum aku mengenalmu. Namun, saat pertama kali aku melihatmu dengan suara merdu yang mengalun dari tawamu. Untuk pertama kalinya, aku melihat...