Malam ini Gara tak berniat keluar kamar meski hanya untuk sekadar makan malam. Saat ini ia sedang duduk menghadap cermin, sebelah tangannya memegang kain yang isinya adalah es batu. Gara sedang mengompres pipinya yang mulai memar.Jika manusia normal pada umumnya, tamparan tadi bukan masalah besar. Berbeda dengan Gara, terbukti dengan pipinya yang mulai kebiruan. Bekas tamparan itu tidak akan cepat hilang untuk beberapa hari kedepan. Maka dari itu ia mengompresnya, kemudian ia menyuntikkan cairan obat pada pembuluh darahnya.
Tiba-tiba ia teringat Geofrey. Bagaimana dengan perusahaan ayahnya? Apakah papanya sudah mengembalikan perusahaan tersebut? Atau ia malah bertindak lebih kejam?
Gara memejamkan mata sejenak, sesak itu kembali datang. Ia merasa bahwa semua masalah bersumber darinya.
Sejak kecil ia sudah diperlakukan berbeda oleh orang tuanya, kemudian sebuah musibah terjadi yang seolah menjungkirbalikkam kehidupannya detik itu juga. Setelah itu, ia harus rela mengorbankan segala kesenangannya demi apa yang orangtuanya inginkan.
Dan hari ini, ia sudah membuat salah satu sahabatnya dalam masalah. Meski secara tidak langsung, kejadian ini bersumber darinya.
Maaf. Maaf.
Gara membatin.
Sesak itu kian terasa ketika kilasan masa lalunya kembali menyeruak dan berputar didalam kepalanya.
“Dasar anak sial! Anak pembawa sial!”
“Kamu harus membayar apa yang sudah kamu lakukan!”
“Brengsek! Apa kamu sengaja melakukan itu untuk mencelakai saudaramu? Kamu pasti sengaja, iya kan?”
“Enggak Ma … G-Gara gak kaya gitu.”
“Bohong! Kamu itu selalu iri sama saudaramu.”
“Enggak, Gara gak kaya gitu. Itu kecelakaan Ma. Please … trust me.”
Kata-kata menyakitkan itu terasa hangat dalam ingatannya. Ketika ia dituduh sebagai penjahat. Ketika orangtuanya sendiri yang menuduhnya sedemikian rupa.
Gara mencengram rambutnya sendiri, pertahanannya runtuh malam ini ketika air matanya lolos diiringi dengan isakkan tertahan.
Gara perlahan membuka matanya, menatap bayangan dirinya dalam cermin. Kemudian sebelah tangannya terulur menyentuh bayangannya di cermin dengan air mata yang masih mengalir.
Maaf.
Wajahnya sendiri bahkan mengingatkannya atas kesalahan besar yang ia perbuat. Ia membenci semua yang ada pada dirinya. Ia membenci kehidupannya.
Detik berikutnya Gara bangkit, ia berjalan cepat keluar dari kamarnya untuk menuju kolam renang di halaman belakang rumah tanpa melewati keberadaan kedua orangtuanya.
Setibanya di sana Gara melepas kaos yang ia gunakan. Ia melompat ke dasar kolam lalu mulai berenang. Ia tak memedulikan kondisi tubuhnya yang memang melemah.
Dengan berenang seperti sekarang bisa saja ia masuk angin. Namun Gara tak peduli. Ia tak peduli dengan tubuhnya lagi. Ia tidak peduli dengan segala hal yang berhubungan dengannya.
Yang berhubungan dengan sumber masalah ini.
Ini adalah salah satu kebiasaanya sejak beberapa tahun terakhir. Mengalihkan rasa sakit dan kekecewaannya dengan berenang di luar kontrol tubuhnya, yang bisa saja membuat kakinya keram dan akhirnya tenggelam.
Namun, sudah ditegaskan sebelumnya. Gara benar-benar tak peduli jika rasa bersalahnya sudah melampaui batas seperti ini.
Ia hanya berharap, setelah ini rasa sesak akibat bayangan masa lalu itu pergi. Tergantikan dengan rasa sesak dan lelah karena terlalu lama berenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flos Lectum
Teen FictionStory collaboration! Cover by member group @SiApril_ "Aku sudah mengenal banyak warna dalam hidupku jauh sebelum aku mengenalmu. Namun, saat pertama kali aku melihatmu dengan suara merdu yang mengalun dari tawamu. Untuk pertama kalinya, aku melihat...