[11] Robot Yang Dikontrol

2.3K 261 36
                                    

Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, Gara langsung keluar. Ia menatap ponselnya yang bergetar dan lagi-lagi nama Maxime tertera di sana sebagai penelpon.

Entah apa yang ayahnya itu inginkan, sedari tadi dia terus menelpon, namun Gara enggan untuk menjawab. Lagipula dia juga sedang menyetir kalau sambil telponan nanti malah membahayakan dirinya sendiri.

Setelah panggilan Maxime berhenti, kini panggilan lain masuk, bukan lagi Maxime melainkan Athena. Gara menjawab panggilan Athena sembari melangkah memasuki rumah.

"Tolong kasih tahu nyokap lo kalo gue mampir ke rumah Rena. Dan sorry kalo gue kabur gitu aja tadi, gue buru-buru banget."

"Hm."

Jawaban singkat Gara membuat Athena sedikit ragu. Bisa saja cowok licik itu mengadu-ngadu tidak jelas dan malah menjatuhkan Athena di mata kedua orangtuanya.

"Gue serius, awas aja kalo lo sampe nggak ngomong kayak gitu."

"Iya."

Lalu Gara langsung memutuskan panggilan saat melihat Bi Yati berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Wajah wanita paruh baya itu terlihat begitu cemas.

Ia langsung menarik Gara kembali ke teras rumah.

"Tuan muda jangan pulang dulu," ujarnya, terselip kekhawatiran sekaligus ketakutan dalam nada suaranya.

"Tuan be--"

"Marah?" tebak Gara tanpa meleset. Seperti dugaannya Maxime memang sedang marah besar hingga menelponnya terus-menerus. Itu juga yang membuat Gara tidak ingin mengangkat telponnya dari tadi. Bagi Gara lebih baik menyelesaikan masalahnya secara langsung, daripada lewat telepon.

Bi Yati langsung mengangguk. "Tuan muda sebaiknya pergi sekarang."

Gara terdiam namun alih-alih mengikuti apa yang wanita paruh baya itu katakan, ia malah berjalan kembali memasuki rumah, tak peduli dengan panggilan Bi Yati untuk menyuruhnya jangan menemui Maxime.

Namun bagi Gara ini bukan kemarahan Maxime yang pertama. Dari dulu juga pria itu memang sering marah, akan tetapi dulu Gara tahu kalau dia telah membuat kesalahan hingga membuat Maxime murka. Berbeda dengan kali ini, Gara sama sekali tidak tahu kesalahan apa yang telah ia buat.

Untuk beberapa saat Gara berdiri di depan pintu ruang kerja Maxime, ia mengepalkan tangan dan mengambil napas dalam-dalam untuk mengurangi rasa gugupnya yang mendadak seperti ini.

Lalu gara meraih knop pintu dan membukanya. Pandangan Gara langsung disambut oleh sosok gelap yang bersemayam di tubuh sang ayah, pria itu terlihat mengerikan saat duduk di singgasana kebanggaannya, ditambah lagi dengan tatapan tak bersahabat dari balik kacamata min itu.

Nyali Gara sedikit menciut namun ia tetap melangkah masuk dan berdiri tepat di depan meja kerja Maxime.

Pria dengan rahang yang mengeras di depannya langsung meraih vas bunga di sebelahnya lalu melemparnya ke arah Gara.

Walaupun kaget Gara tak bergerak sedikitpun dan beruntung lemparan Maxime meleset, nyaris menggores lengannya.

"Bedebah, pembuat onar, anak dungu!"

Maxime memang tidak berteriak namun ucapan pria itu justru membuat dada Gara terasa nyeri, bahkan setiap kali kata-kata itu terlontar untuknya, Gara tak pernah bisa terbiasa dengan sikap ayahnya ini.

"Kamu pikir hidup ini hanya buat main-main, hah?" Maxime menggebrak meja hingga bergetar.

Gara terdiam, tak sedikitpun bergerak dari posisinya, namun ia juga tak berani menatap wajah Maxime.

Flos LectumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang