'Allahu akbar Allahu akbar...'
Suara adzan memecah selingkup keheningan dalam apartemen kecil yang ditempati oleh Humaira. Si penghuni yang masih sibuk bergelayutan dengan mimpi akhirnya menggeliat dari dalam selimut. Dengan paksa ia membuka tubuhnya yang terbalut selimut tebal dan berjalan gontai menuju kamar mandi sekaligus berwudu'.
Dia kembali dari kamar mandi dengan mata yang terbuka utuh. Rasa kantuk seolah benar-benar sirna dari kedua matanya. Ia pun mengambil mukena dan sajadah dari lemari lalu digelar tak jauh dari ranjang tidur.
Dua raka'at saat subuh dilanjutkan dengan membaca Qur'an sampai sinar terang mulai menyusup melalui celah jendela kamar meski tanpa kehadiran mentari. Usai merapikan kembali seluruh perlengkapan ibadah, ia pun bergegas menyiapkan sarapan. Sembari menunggu nasi nanak dalam ricecooker ia mempersiapkan diri untuk pergi ke kampus.
Dia kembali dengan penampilan lebih rapi dan segar, lalu mengambil semangkuk nasi panas yang baru matang itu dan dibawanya ke sebuah meja kayu yang di atasnya telah tersaji sebutir telur dadar. Gadis itu kemudian duduk dan menyantap sarapan sendirian, rasanya sangat berbeda dengan rumah.
Mengingat rumah membuatnya meletakkan sendok dan berhenti mengunyah. Dilihatnya mangkuk nasi yang masih terlihat penuh, mungkin sedang tidak nafsu makan. Ia merasa air mata telah memenuhi kelopak lalu mengalir begitu saja mengenai mangkuk nasinya.
Biar kutelan kembali air mata berisi rindu ini, pikirnya, lalu mengangkat lagi sendoknya dan memakan sisa nasi di mangkuk. Ia menyadari rasa aneh dari nasi bercampur air mata itu, tapi dia memaksa makanan itu masuk dalam kerongkongan. Dia terus melakukan hal yang sama hingga mangkuk penuhnya kosong tak tersisa.
(***)
Pagi yang sama, pria dengan setelan jas biru tua itu tengah merapikan diri di depan cermin besar dalam kamar pribadinya. Setelah merasa cukup ia berjalan meninggalkan kamar dan bergerak menuju ruang makan. Di sana ia disambut oleh seorang wanita tua yang telah duduk di salah satu kursi.
"Selamat pagi, Halmeoni... apa kita makan berdua?" tanyanya sembari duduk di kursi samping wanita itu.
"Menurutmu?"
"Eum... Baiklah, ini lebih baik."
Sarapan dimulai, tak ada suara apapun di sana selain dentingan sendok yang beradu dengan piring. Usai sarapan, pria berjas itu berdiri dan mencium kening sang nenek dengan lembut sebelum akhirnya ia pergi untuk melakukan rutinitas.
Dia meninggalkan rumah dengan sedan abu-abu. Menyusuri jalanan Seoul yang ramai dan sampailah di sebuah restoran mewah bergaya modern. Selepas memarkir mobil, ia masuk ke dalam melalui pintu karyawan.
Seperti biasa, dia disambut dengan hormat oleh seluruh karyawan resto. Langkahnya tertuju pada sebuah ruangan yang terlihat lebih pribadi. Di bukanya knop pintu dan masuk ke dalam. Di sana, ia menanggalkan jas hangatnya dan membuka lemari besar yang terdapat di salah satu sisi ruangan. Dia mengambil setelan pakaian Chef dan mengenakannya.
"Sajangnim, tiga orang reporter dari ATV datang dan mereka telah menunggu Anda" ucap seorang laki-laki yang berdiri sopan dibelakangnya yang sedang merapikan pakaiannya.
"Baiklah, kita mulai sebentar lagi. Apa mereka menyepakati ucapanku?"
"Ne, pihak stasiun televisi juga telah menandatangani kontrak persetujuan itu."
"Bagus."
Pria itu terlihat lebih tampan dengan setelan Chef jacket dan apron yang telah terikat di pinggang juga Chef hat yang melekat di kepala. Kedua pria berpakaian berbeda itupun meninggalkan ruangan dan bersiap untuk memulai kesibukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOW WE MEET ☑
Fanfiction(SELESAI REVISI) Perlahan gadis itu mendekat,"kenapa kau tidak mendengar? Aku sangat lelah mengejarmu sedari tadi. Kau tahu jika kakiku tak sepanjang milikmu..." Langkah dan ucapan gadis itu tertahan saat melihat Changsub tiba-tiba berjongkok di de...