Humaira tampak sibuk menghitung uang yang dimilikinya kini. Ya, ia menghitung semuanya dengan kertas dan pena, tak hanya itu, ia pun mencatat pengeluaran, pendapatan, bahkan sisa. Gadis itu berlagak seperti akuntan.
Tanpa disadari seorang pria telah duduk di depannya dengan buku tebal. Melihatnya yang sibuk, ia memberanikan diri menyela dan memanggil namanya. Sontak gadis itu terdongak dan segera menutup buku perhitungannya.
"Apa aku mengganggumu?" tanya lelaki itu.
"Aniya, aku hanya menghitung keperluanku saja. Omong-omong, ada apa?"
"Aah itu..." lelaki itu membuka buku tebalnya di atas meja dan menunjuk sebuah kalimat,"kau tahu tentang ini? Aku membacanya berkali-kali tapi belum memahaminya..."
Sekilas Humaira memerhatikan buku tebal itu dan memberinya tatapan takjub,"uwaahh... kau memiliki versi aslinya... ini keren. Aku bahkan hanya menyimpan salinannya..."
Lelaki itu hanya tersenyum kecil mendapati Humaira yang terlihat menyukai bukunya. Cukup lama Humaira melihat-lihat buku tebal itu hingga akhirnya ia mulai fokus memberitahu lelaki itu tentang persoalan yang sempat ditanyakan sebelumnya.
"Aku hanya tahu sampai di sana, selebihnya aku ragu. Dan... beberapa aku menyimpulkannya sendiri." Ucap Humaira mengakhiri jawabannya.
Gadis itu kemudian melihat lelaki di depannya yang sibuk mencatat,"kau sangat keras dalam berusaha. Aku yakin itu alasan kau selalu menjadi yang terbaik di tiap semester..."
"Aniya, aku hanya sedikit berusaha saja."
"Pasti menyenangkan berteman denganmu, orang tuamu juga pasti sangat bangga memiliki putra sepertimu..."
Lelaki itu sontak menghentikan kegiatan menulisnya saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan gadis asing itu. Dia menelan lamat-lamat salivanya dan mencoba mengukir senyum palsu.
"Selesai. Terima kasih sudah membantuku."
Lelaki itu pun segera berbalik dan kembali duduk dengan benar di kursinya. Dia menatap nanar buku tebalnya dan tangannya yang mengepal keras. Ya, lelaki itu terlihat berisi emosi. Dihelanya nafas beberapa kali guna menenangkan. Namun itu tak bertahan lama, ia merogoh ponselnya yang berdering singkat dari saku jaket.
Sebuah pesan diterima. Namun, gurat lelaki itu tak membaik justru semakin beremosi. Pesan singkat yang di dapat, membuatnya tak tahu harus berekspresi dengan cara bagaimana. Ia ingin berteriak lantang, namun tak memungkinkan. Alhasil, dia hanya mengabaikan pesan itu lalu menyematkan headset di telinga. Entah musik jenis apa yang diputar, lelaki itu pun meletakkan kepalanya di atas meja dan memejamkan mata.
(***)
Seperti biasa sebelum berangkat kerja, Humaira menyempatkan diri kembali ke tempat tinggalnya. Dia memarkir sepedanya di depan apartemen lalu masuk ke dalam. Tepat di lobi ia mendapati sosok lelaki tak asing yang sedang berjalan santai. Dia pun segera menegurnya dengan menepuk puggung lelaki itu.
"Kau sedang apa di sini?"
"Eoh? Aku... tinggal di sini..." balasnya.
"Sungguh? Aku juga tinggal di sini. Di lantai empat..." terang gadis itu.
"Aku juga..."
"Benarkah? Tapi kita tidak pernah bertemu..." Humaira terlihat bersemangat.
Lelaki itu sekadar tersenyum kecil,"mungkin memang tidak. Mari pergi bersama..."
Gadis itu mengangguk. Keduanya pun masuk ke dalam elevator dan bergerak menuju lantai empat. Tak ada percakapan, hanya Humaira sesekali melirik lelaki yang berdiri di depannya itu. Tak berselang waktu lama keduanya pun berpisah saat Humaira lebih dulu sampai di pintu apartemennya.
Gadis itu bergegas sholat dhuhur dan bersiap pergi ke restoran. Ya, dia menjadi sibuk setelah bekerja paruh waktu. Namun, semangat yang terus ia tanamkan dalam dirinya dengan harapan-harapan semu seolah menghapus raut lelah di wajahnya.
Sesampainya di restoran, ia segera menggati pakaiannya dan mulai bertugas. Benar, tumpukan tugasnya telah menanti. Sesampainya di dapur ia terkejut, wajah-wajah sibuk dan sumringah itu tak hadir. Mereka semua berkerut. Tak terkecuali Sous Chef yang berwajah lesu.
Melihat kesibukan yang tak bersemangat itu, Humaira menghampiri rekan kerjanya yang tengah mengeluarkan isi bekicot dari cangkang,"Hana-ssi, apa sesuatu terjadi?" tanyanya hati-hati.
Perempuan dengan rambut kuncir kuda itu pun bangkit dan menarik Humaira menuju gudang penyimpanan. Ya, tempat yang jauh dari kerumunan.
"Chef... dia akan merubah restoran. Dia akan meniadakan bir, sampanye, wine, dan minuman alkohol lainnya. Dia juga telah mendaftarkan restoran ini kepada KMF. Kami samgat cemas..."
"Kenapa seperti itu? Bukankah bagus jika Chef menjadikan ini restoran halal..."
"Kami cemas, Chef akan memecat pegawai nonmuslim dan mengganti semuanya... Bahkan aku pun sangat takut..." gadis itu menitikkan air matanya.
Humaira merasa tak enak. Ia menepuk pelan pundak Hana lalu pergi dari dapur dengan langkah tergesa. Ya, dia menuju ruangan Chef. Usai dibukakan pintu, ia pun masuk ke dalam. Di sana pasang matanya mendapati beberapa orang yang tampak familiar, namun langkahnya yang mantap tetap terarah pada pria bersetelan jas hitam yang duduk di kursinya.
"Kenapa matamu seperti itu? Kau menangis lagi?" tanya Changsub saat melihat mata merah milik Humaira.
Tak merespon, gadis berkerudung itu sontak duduk bersimpuh di atas lantai. Hal itu membuat Changsub terkejut dan berdiri. Dia menghampiri gadis yang kini menangis.
"Hei! Kau tidak mau berbicara!" sentaknya.
"Chef, aku mendengar semuanya. Anda akan merubah restoran ini menjadi restoran halal..."
Lelaki itu melipat lengannya di dada,"lalu kenapa? Kau seharusnya senang karena kau muslim..."
Humaira mulai sesenggukan, dia menundukkan wajahnya,"tidak begitu... aku cemas Anda akan memecat para pegawai yang nonmuslim dan menggantikan posisi mereka dengan orang lain. Chef... kumohon, jangan memecat mereka..."
"Apa ini restoranmu? Siapa kau berani meminta pada bosmu? Semua keputusan adalah milikku. Tidak perlu memelas," lelaki itu pun berbalik dan kembali duduk di tempatnya,"bangunlah dan urus dirimu sendiri. Aku sangat tidak suka..."
Hati Humaira terasa bergetar karena sakit. Benar, dirinya hanyalah pencuci barang yang kotor. Bahkan tak memiliki hak sebesar itu untuk memohon pada bosnya. Dia terlalu rendah. Gadis itu perlahan berdiri. Dia berusaha menahan air matanya dan memberanikan diri menatap sosok Lee Changsub yang berlagak angkuh.
"Benar. Aku bukanlah apa-apa. Anda harus memecatku juga jika mereka dipecat, kau bilang seperti itulah tim bekerja..." gadis itu kemudia membungkuk hormat,"saya minta ma'af atas ketidaksopanan ini, saya permisi..."
Humaira berbalik dan meninggalkan ruangan sang bos dengan rasa sakit. Dia berlari menuju ruang ganti karyawan dan menangis tersedu di sana. Ya, sekelumit kata dari bosnya itu masuk ke dalam hatinya. Barangkali ia kurang sadar diri dan tak menyadari posisinya yang rendah.
(***)
KAMU SEDANG MEMBACA
HOW WE MEET ☑
Fanfiction(SELESAI REVISI) Perlahan gadis itu mendekat,"kenapa kau tidak mendengar? Aku sangat lelah mengejarmu sedari tadi. Kau tahu jika kakiku tak sepanjang milikmu..." Langkah dan ucapan gadis itu tertahan saat melihat Changsub tiba-tiba berjongkok di de...