CHAPTER 4: Feeling It

940 71 0
                                    


"Meja 09, Ratatoulli satu, Burgundy satu, dan terakhir Escargot satu. Oke!"

"Ya, Chef!"

Seluruh juru masak di dalam dapur itu bergegas menyiapkan hidangan yang baru saja disebutkan. Sang Chef Kepala berdiri dengan melipat kedua tangan di dada dan mata yang mengedar ke seluruh penjuru dapur.

"Ini adalah hidangan terakhir hari ini. Mari selesaikan dan beristirahat."

"Baik, Chef!"

Lelaki yang dengan pakaian koki berwarna hitam itu kemudian berkeliling memantau para juru masaknya satu per satu. Tak berselang lama, satu per satu hidangan itu sampai di meja stainless di depannya. Ia membersihkan pinggiran piring dengan kain bersih lalu meletakkan di meja saji dan membunyikan bel, tanda jika hidangan sudah siap disajikan.

Setelah semuanya selesai, mereka berdiri dengan posisi istirahat di tempat di depan kompor masing-masing.

"Hari ini berakhir. Beristirahatlah dan kembali besok. Selamat malam!"

"Ya, Chef!" seru mereka bersama-sama.

Kepala Chef itu pun segera beringsut dari ruangan itu dan pergi menuju ruangannya. Dia melepas chef jacket dan memakai kemejanya yang tergantung di almari. Setelah itu, dia duduk di kursi kerja dan meraih paper bag yang sedari tadi ia abaikan.

Dia mengeluarkan jas hitamnya. Seketika ia merasakan sebuah alur ketenangan yang muncul dari aroma harum jas itu. Tanpa ragu ia memakai jas itu dan merapikan diri di depan cermin.

"Sajangnim, mobil Anda telah siap." Ucap seorang pria berjas hitam yang baru masuk ke ruangannya.

"Eoh. Aku sangat mengantuk, kau menyetir."

"Ne, Sajangnim."

Sepanjang jalan pulang. Pasang mata Changsub enggan terbuka. Dia merasa sangat nyaman, barangkali karena lelah atau memang wewangian yang melekat di jas miliknya memberi efek aromaterapi. Rasanya ia sangat ingin tertidur.

Sementara itu, Humaira baru saja keluar dari sebuah mobil merah tepat di depan apartemen. Dia mengukir senyum pada Junhee yang ada di dalam.

"Kau tidak mampir?"

"Aniya. Serigala Junmyeon akan mencabikku lagi jika aku pulang terlalu larut."

Humar terkekeh pelan,"dia kakakmu. Baiklah, pulang dengan hati-hati dan sampai jumpa besok..."

Humaira memundurkan langkahnya dan melambaikan tangan sebelum mobil merah itu benar-benar menjauh. Ia menghela nafas dan melangkah masuk ke dalam gedung apartemen.

(***)

Hari lain menyapa. Gadis berkerudung panjang itu tengah berdiri di depan meja counter salah satu cafe. Usai menerima dua mangkuk es krim ia pun membawanya ke salah satu tempat duduk yang diisi oleh seorang perempuan tua.

"Halmeoni. Cuaca sedikit terik. Kita harus menyantap sesuatu yang segar..." ucapnya dan meletakkan salah satu mangkuk di depan wanita tua itu.

"Eoh benar. Ini membuatku mengingat masa muda. Dulu, suamiku sering membelikan es serut saat berkencan..." wanita itu mengaduk es krimnya dan menyantap perlahan.

"Hwaaa... ini enak..."

Sang nenek tersenyum mendapati Humaira yang senang. Sekilas ingatan masa muda itu kembali. Mereka pun terus berbincang dan sedikit bergurau untuk memecah suasana. Ya, pembicaraan antara wanita.

"Haaa... Agassi. Pembicaraan antarwanita? Itu gila." Seorang lelaki tiba-tiba berdiri di samping meja keduanya dan menyeringai.

Mata lelaki itu kemudian berpindah pada sang nenek,"Halmeoni. Kau berkencan dengannya? Lalu... apa ini?" dia menunjuk mangkuk es krim di depan sang nenek,"berapa usiamu? Bagaimana jika glukosamu naik? Aigo..." omelnya.

Humaira hanya diam. Dia menggigit sendok es krimnya dan mendengar setiap omelan pria itu. Hingga akhirnya dia yang merasa bersalahpun meraih lengan jas pria itu dengan hati-hati.

"Ma... ma'af... semua salahku," Humaira tertunduk,"aku... yang mengajak nenek..."

Melihat sang cucu menatap tajam gadis di depannya, nenek itu pun bangkit dan menyeretnya menjauhi Humaira,"kau membuatnya takut. Lagipula dia mentraktirku, aku bosan menunggumu sendirian di depan pintu gerbang."

Wanita tua itu memaksa sang cucu duduk dan menyuruhnya diam. Namun, Humaira tetap tidak nyaman. Dia enggan melihat atau sekadar melirik pria itu. Ya, dia hanya menyantap sisa es di mangkuk dengan canggung.

"Hei! Apa aku terlalu mengerikan untukmu?" tanya lelaki itu.

Humaira menggelengkan kepala. Namun, lelaki itu tiba-tiba memekik. Benar, sang nenek menjitak kepalanya,"jangan mengganggunya. Aish... kau ini. Kalau tidak bisa tersenyum pergi saja sana. Biar Eunkwang yang menjemputku..."

"Halmeoni!!!!"

Kesal. Lelaki itu memutuskan menyingkir dan duduk di kursi lain. Sesekali ia melirik sang nenek dan gadis berkerudung itu yang tampak hangat. Ya, senyum gadis itu sangat cantik. Tanpa disadari bibirnya pun ikut terangkat.

"Ehehe... gwiyowo..." gumamnya tanpa sadar.

Cukup lama lelaki itu memerhatikan mereka hingga keduanya bangkit karena mangkuk es krim telah kosong. Lelaki itu hanya mengekor dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan hingga berakhir pada sedan abu-abu miliknya. Sang nenek berbalik dan menatap tajam lelaki itu.

"Changsub-a! Kita antar dia pulang se..."

"Oke. Aku akan mengantar teman bermainmu itu sampai depan pintu gedung rumahnya." Selanya lalu masuk ke dalam mobil.

Hati-hati, lelaki itu melirik kaca spion yang ada di atasnya. Benar, gadis itu masuk dalam mobilnya. Entah suasana apa yang hadir, dia tiba-tiba tersenyum.

Sang nenek hanya menggeleng kepala memergoki perilaku cucu lelakinya itu. Mereka tampak mengenal meski canggung.


HOW WE MEET ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang