Malam terlihat tak terlalu larut ketika Humaira mengakhiri pekerjaannya. Usai mengganti pakaian, ia meninggalkan restoran dengan sepedanya. Diliriknya jam ponsel yang menunjukkan waktu 11 malam. Gadis itu mempercepat laju sepedanya menuju Hangang.
Dia duduk di tepi sungai yang gelap dan memantulkan cahaya bulan dari langit malam. Ya, itu seperti sebuah cermin langit malam. Gadis itu menghela nafas panjang dan membiarkan udara malam merasuk dalam inderanya. Dia menekuk lututnya dan menopang dagu yang terasa berat.
"Kau mau mendengar ceritaku hari ini?"
Suara yang cukup familiar itu memaksa Humaira menengok. Didapatinya lelaki bersetelan jas hitam berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Dia melihat lurus ke depan menyaksikan gemerlap lampu gedung di seberang sungai.
Humaira tak membalas, dia kembali pada posisi semula. Lelaki itu pun duduk bersila di samping Humaira.
"Mianhae... apa kau masih terluka dengan ucapanku?"
Gadis itu tetap tak menggubris. Changsub menghela nafas pelan lalu menatap ke depan,"nenek bilang padaku, jika perbedaan itu indah. Tak perlu mencari lawan dalam setiap perbedaan, justru perbedaan mengajarkan tentang menghargai orang lain. Dan itu adalah bagian dari naskah milik Tuhan..."
"Aku tidak mengerti tentangmu sama sekali. Perlahan aku berusaha memahamimu, tapi semuanya salah dan aku tidak mengenalmu. Kau menjadi baik tiba-tiba, lalu kau kasar dan keras, dan seketika kau diam. Semua terjadi dalam satu waktu, itu membingungkan..." balas gadis itu.
Changsub terkekeh pelan,"jadi aku seperti itu..."
Humaira kemudian duduk tegak dan menyilangkan kakinya. Dia menghadap Changsub yang masih terkekeh,"Chef..."
Lelaki itu pun menengok dan menatap gurat serius gadis itu,"wae? Kau mau menanyakannya lagi?"
Humaira mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih. Dia memilih diam dan mengembalikan posisi duduknya seperti awal.
"Kau pikir aku sekejam itu? Aku bahkan tidak mengeluarkan perintah atau berkata mentah untuk memecat karyawanku, tapi mereka sudah berasumsi... aaah... itu jadi menakutkan..."
"Benarkah? Apa itu artinya tidak ada yang dipecat?"
"Entahlah. Kupikir kau yang kupecat..." Changsub bangkit dari duduknya dan mulai melangkah pergi.
Mendengar hal itu, Humaira turut bangkit dan mendorong sepedanya mengejar Changsub sebelum menjauh. Dia menarik lengan Changsub dan menampilkan wajah memelasnya.
"Chef, aku bahkan belum menerima gaji pertamaku, kau sudah ingin memecatku..."
"Lagi... kau memelas seperti itu..." Changsub menghempaskan tangan gadis itu,"akan kuberi kau pesangon."
"Aniya, aku ingin tetap bekerja, Chef..." diraihnya lagi lengan Changsub.
"Aish.... kau ini..."
Lagi, Changsub melepas tangan gadis itu dari lengannya dan berjalan pergi. Namun, Humaira tetap mengejar meski Changsub terus menghindar.
(***)
Keduanya kini berjalan beriringan menyusuri jalan kecil yang tak terlalu ramai. Changsub terlihat sedang menuntun sepeda Humaira.
"Menurutmu, bagaimana tentang saudara tiri? Temanku, memiliki seorang saudara tiri dari ibu kandungnya, dia sangat memperhatikan adiknya yang dingin dan sangat bekerja keras dalam mencapai tujuan. Sesekali ia kasihan pada adiknya, tapi tak jarang dia iri karena sang adik tampak lebih diperhatikan."
"Berapa usianya?" tanya gadis itu.
"Temanku 25 tahun dan adiknya... mungkin seumuran denganmu..."
"Mungkin... dia ingin kasih sayang yang dilimpahkan pada saudara tirinya itu. Tapi, kupikir seorang ibu tidak akan mengabaikan anaknya. Darah suami dan istri terpisah, ikatan suami istri pun dapat dihapus melalui secarik kertas. Tapi... darah antara anak kepada orang tuanya tak pernah terpisah, ikatan itu bertahan selamanya... bahkan setelah mati..." jelas gadis itu.
"Benarkah seperti itu?"
"Tentu. Hanya berfikir positif akan membuat suasana seperti itu menjadi hilang. Meski tak jarang berfikir positif itu sulit, karena keegoisan yang tak disadari..."
Perjalanan itu terasa singkat. Keduanya berpisah saat Humaira telah sampai di depan gedung kompleks apartemennya. Changsub hanya menatap punggung gadis itu yang perlahan menghilang bersama gelap malam.
Ia pun memutuskan untuk kembali berjalan. Sendirian di malam yang sepi, dengan pikiran kalut yang entah muncul dari mana. Sekelumit keegoisan berangsur-angsur hadir menyesaki kepala. Beragam ingatan masa lalu menghias dengan bebas.
Kesal. Lelaki itu mengerang keras sembari mengacak kasar rambutnya. Nafasnya menggebu-gebu. Sorot matanya menajam tanpa sebab. Dia tampak hilang arah.
(***)
KAMU SEDANG MEMBACA
HOW WE MEET ☑
Fiksi Penggemar(SELESAI REVISI) Perlahan gadis itu mendekat,"kenapa kau tidak mendengar? Aku sangat lelah mengejarmu sedari tadi. Kau tahu jika kakiku tak sepanjang milikmu..." Langkah dan ucapan gadis itu tertahan saat melihat Changsub tiba-tiba berjongkok di de...