Berhari-hari gadis berkerudung itu banyak merenung, ia mencari berbagai pemikiran yang memungkinkan. Jika tak dapat pulang untuk memeluk sang ibu yang terbaring sakit, setidaknya ia dapat mengurangi pengeluaran orang tuanya selama ia di Korea. Beberapa kali ia mencoba melamar pekerjaan paruh waktu. Sayangnya tak satupun menerima, bahkan dia tertolak serta-merta.
Humaira kini duduk di salah satu anak tangga masjid dengan kedua tangan menangkup wajah lesunya. Sehun yang melihat perubahan itu perlahan menghampiri dan duduk di sampingnya. Beberapa kali ia mengucapkan salam namun tak ada balasan dari gadis itu. Ia pun memutuskan menjahili dengan meletakkan sajadah miliknya di atas kepala Humaira. Bukannya bereaksi, gadis itu hanya mengambil sajadah dan memeluknya dengan malas.
"Apa terjadi sesuatu?"
"Tidak ada."
"Sungguh?"
"Tidak ada."
Sehun mendecih,"geojitmal. Apa seseorang melukaimu? Katakan saja... mungkin aku dapat membantu atau sekadar bersolusi," diliriknya gadis yang tak mengindahkan ucapannya itu lalu ia pun menyenggol tubuh lesunya,"hei! Jangan bersedih. Aku tahu kau pasti rindu orang tuamu, bertahanlah selama kau di sini..."
"Eum... kau benar... ini menjadi sulit sekarang..."
"Saat kau ingin menangis, menangislah. Saat ingin mengadu, datanglah padaku. Bahkan saat kau merasa sangat berat, berbagilah tentang perasaan itu, padaku. Tapi... saat kau sangat bahagia, tidak apa jika tidak memberitahuku..." lelaki itu menampilkan senyum hangatnya dengan sorot mata yang diliput keseriusan.
Humaira pun berbalik dan menatap lelaki di sampingnya, entah kenapa gadis itu terkekeh pelan mendapati keseriusan itu,"kau... sejak kapan merangkai kata sebaik itu untukku?"
"Mwo? Kau tidak menanggapiku serius? Aaah... gadis ini..."
"Kau sangat buruk..." Humaira kian terkekeh.
Senyum itu, membuat Sehun sedikit lega. Ya, gadis itu kembali meski tak tahu setulus apa senyum itu. Ya, punggung kecilnya yang kuat tampak tak bertenaga. Dia lelah dan bingung. Senyum itu setidaknya mampu melenyapkan apapun yang menyayat hati dan menyesaki kepalanya meski tak bertahan lama.
(***)
Lelaki bersetelan seragam koki warna hitam itu tengah duduk di meja kerjanya dengan fokus tertuju pada lembar-lembar kertas yang tertumpuk. Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu dan ia pun mempersilakan masuk dengan posisi tetap fokus pada pekerjaannya.
Lelaki itu meletakkan pena dan mendongakkan kepala. Dia mendapati seorang perempuan dengan rambut kuncir satu berdiri tak jauh darinya.
"Duduklah, Noh Haejin."
"Ne, Chef."
Gadis itu mengangguk dan duduk di salah satu kursi yang ada di depannya. Lelaki yang disebut Chef itu menunggunya berbicara.
"Mianhaeyo, Chef. Orang tua menyuruhku untuk berhenti dan fokus pada tugas akhir kuliah. Aku... sangat menyukai pekerjaanku, tapi..." gadis itu tak dapat melanjutkan ucapannya dan justru menitikkan air mata.
"Orang tuamu benar. Turutilah kemauannya selagi mereka sehat, mereka pasti berharap banyak padamu. Bekerjalah untuk hari ini dan kembali besok bersama surat pengundurannya..." sela lelaki itu dengan nada ringan.
Gadis itu mendongakkan kepala, seutas senyum menghias,"sungguh, Chef. Aku sangat berterimakasih. Chef, kau sangat keren. Gamsahamnida..."
Sekilas lelaki itu menahan ukiran senyum lebarnya dan memilih tetap tenang,"geurae. Datanglah saat sukses sebagai pelangganku..."
Gadis itu pun bangkit dan membungkuk hormat,"ne, Chef."
Usai berpamitan, gadis itu meninggalkan ruangan. Lelaki itu pun terkekeh pelan,"aah... apa aku sekeren itu. Eum, benar. Lee Changsub memang keren hehehee..."
Ya, lelaki itu memuji dirinya sendiri dengan percaya diri. Dia masih tertawa dan mulai mengayun pena lagi. Namun, fokusnya tak sepenuh sebelumnya. Dia menyukai ucapan gadis tadi.
Lelaki yang sedang menikmati pujian ringan itu perlahan menyusutkan senyumnya. Sayup-sayup ia mendengar sebuah keributan di luar. Penasaran, ia pun bangkit dari duduknya dan menatap dari luar jendela kacanya yang terbentang lebar di belakang. Matanya mengarah pada seorang perempuan berpenutup kepala yang terlihat memohon pada seorang pria berjas hitam, bahkan dapat dipastikan jika gadis itu hendak menangis.
"Aaah... Seo Eunkwang gila..."
Dia meraih ponselnya yang ada di meja kerja lalu menelpon seseorang. Ya, lelaki yang ada di bawah dan sedang berdebat dengan gadis malang itu.
"HEI! KAU SEHARUSNYA MENYURUH MASUK! AISH... HEI! KAU TIDAK MENDENGAR!!! SEO... EUN... KWANG!!!!"
Lelaki berjas hitam yang memegang ponsel genggam itu terkejut mendengar suara bernada tinggi itu. Dia segera mempersilakan gadis berpenutup kepala itu masuk dan mengiringnya menuju ruangan direktur restoran.
"Jaga sopan santunmu, mengerti?" bisik lelaki yang memiliki papan nama Seo Eunkwang itu sebelum mengajak gadis berkerudung itu masuk.
Kini gadis berkerudung itu berdiri menatap sekeliling. Dia memerhatikan ruangan yang penuh buku di salah satu sudutnya dan sebuah almari hitam dengan cermin besar memenuhi pintu. Matanya berakhir pada sosok pria bersetelan baju koki berwarna hitam yang berdiri memunggunginya.
"Apa tujuanmu datang?"
"Aku," gadis itu menghela nafas panjang dan berusaha tetap tenang,"aku memerlukan pekerjaan paruh waktu."
"Apa keahlianmu?"
Gadis itu yang ragu itu berubah menjadi yakkn dan menatap tegak punggung lelaki di depannya itu,"aku bisa mencuci piring, bersih-bersih, dan sedikit mengerti tentang dunia kuliner. Aku bukan warga sipil, tapi aku tahu beberapa makanan Korea..."
"Ini bukan restoran Korea. Ini restoran Prancis. Kau sepercaya diri itu?" ralat pria itu dengan dingin dan membuat gadis itu menelan salivanya sendiri.
"Ma'af, tapi... kumohon... aku bisa menjadi Cleaning Service atau buruh mencuci piring..."
Lelaki itu nenyadari kegusaran gadis di belakangnya. Ia pun berbalik dan berjalan mendekati gadis yang hanya menunduk itu. Dia duduk di ujung meja kerjanya dengan menyilangkan kaki,"angkat kepalamu. Apa kau tidak mau sedikit memohon padaku?"
Perlahan gadis itu memberanikan diri mengangkat kepala. Sontak matanya terbelalak mendapati lelaki dihadapannya.
"Wae? Kenapa kau sangat terkejut?"
"Ti... tidak... hanya... eum..."
Lelaki itu menghela nafas,"katakan kenapa kau mencari pekerjaan paruh waktu bukannya belajar dengan rajin? Aigo... gadis ini..."
"Uang. Aku butuh uang,"gadis itu tiba-tiba menangis," ibuku sakit karenaku. Aku ingin mengurangi pengeluaran ayahku, setidaknya sampai aku kembali dari sini. Biaya tinggal di sini terlalu berat untukku. Tadinya kupikir akan baik-baik saja karena mereka menyuruhku pergi, tapi sekarang... aku tidak tahu..."
Changsub pun berdiri dan mendekat, dia menepuk pelan pundak gadis yang sesenggukan itu,"sekarang pulanglah. Tinggalkan nomor ponselmu, dan tidurlah dengan tenang..."
Gadis itu mendongak dan menatap sorot mata lembut milik Changsub,"tapi... bagaimana pekerjaannya?"
"Geokjeongma, akan kuhubungi kalau kau memiliki keberuntungan. Pulanglah, Khadijah..."
Gadis itu mengangguk dan mengusap air matanya, dia tersenyum lalu mundur beberapa langkah sebelum akhirnya membungkuk,"terima kasih banyak. Ma'af jika aku terlalu memaksa dan banyak bicara..."
Mendapati anggukan dari Changsub, gadis itu pun berbalik dan meninggalkan ruangan itu. Changsub kemudian kembali ke depan kaca jendelanya dan menatap arah luar. Tak berselang lama, dia mendapati gadis berkerudung itu yang berjalan dengan punggung lebih tegak. Senyum pria itu terukir ringan.
'Lagi, kau menangis di depanku tanpa peduli. Apa itu mudah untuk melepas beban berat itu di depanku? Aku pun merasa senang jika dapat mengembalikan ukiran senyummu, meski tak dapat mengusap air mata itu dengan jemari.'
(***)
KAMU SEDANG MEMBACA
HOW WE MEET ☑
Fanfiction(SELESAI REVISI) Perlahan gadis itu mendekat,"kenapa kau tidak mendengar? Aku sangat lelah mengejarmu sedari tadi. Kau tahu jika kakiku tak sepanjang milikmu..." Langkah dan ucapan gadis itu tertahan saat melihat Changsub tiba-tiba berjongkok di de...