CHAPTER 2: Don't Do That!

1.4K 99 0
                                    

"Baiklah... sekian untuk hari ini, sampai jumpa dipertemuan selanjutnya." Dosen Manajemen Bisnis mengakhiri materi lalu meninggalkan kelas.

Gadis berkerudung itu membereskan semua bukunya kemudian bergegas menuju musholla kampus tempat para muslim terbiasa beribadah. Namun, langkahnya terhenti begitu mendapati gedung musholla yang baru saja dihancurkan oleh sebuah alat berat. Kedua mata berubah nanar dengan keterkejutan yang berhasil mengoyak hatinya. Rumah ibadah itu dihancurkan.

"As salamu'alaikum. Kenapa kau menatap seperti itu, Humaira?"

Dia menengok ke arah sosok perempuan berkerudung yang berdiri di sampingnya,"ke... kkenapa... tempat ibadahnya..." ucapnya terbata-bata, bahkan matanya telah berkaca-kaca.

Gadis itu sontak tersenyum lalu meraih sesuatu dari dalam saku jaketnya. Dia beberapa kali menggulung layar ponsel, lalu memperlihatkan Humaira sebuah percakapan.

"Perbaikan? Tapi... aku tak menerima pesannya," gadis itu berusaha mengingat kembali lalu buru-buru mengambil ponselnya dari dalam ransel. Dia pun menghela nafas lega saat menyadari ponselnya yang mati.

"Ponselku mati," kekehnya pelan,"terima kasih, sudah memberitahu..."

Gadis itu mengangguk lalu mengucapkan salam sebelum meninggalkan Humaira yang sudah salah tingkah sendirinya. Namun, itu tak bertahan lama. Dia kembali mengingat bahwa dirinya belum beribadah. Bibirnya kembali mengerucut, dia menunduk dan berjalan lesu meninggalkan tempat itu.

Langkah lesunya kembali terhenti saat mendapati kerumunan di depan pintu masuk universitas. Penasaran, ia pun mendekat dan berusaha mencari tahu kerumunan apa itu. Sedikit berusaha, ia berhasil mendapatkan selebaran brosur yang rupanya menjadi pokok kerumunan. dia segera menyingkir dan mencari tempat lebih lengang untuk membaca.

"Jung Ilhoon? Fansign? Di Lotte mall?" dia membaca sembari berjalan tanpa menggubris sekeliling.

(***)

Di rooftop, gadis itu memutuskan menggelar sajadah di sana. Tempat ini sepi, tak terlalu panas juga tak terlalu berangin dan terbuka. Ya, setidaknya ia masih mendapat tempat sementara untuk beribadah. Empat raka'at dilakukan tanpa gangguan, dia segera mengemas kembali mukena dan sajadah usai melaksanakan kegiatannya.

"Alhamdulillah..." hati terasa lebih tenang selesai melaksanakan kewajiban.

Ia pun berniat kembali ke kelas, akan tetapi langkahnya tertahan saat pasang netra yang mengedar mendapati seorang perempuan berdiri di ujung pembatas dengan punggung yang tampak putus asa.

"Astaghfirullah!!!"

Humaira melempar kantong mukenanya dan berlari menghampiri gadis itu. Tepat sebelum gadis itu terjun bebas ke bawah, tangan Humaira berhasil menarik dengan keras hingga keduanya jatuh ke belakang.

Humaira memekik pelan saat merasakan punggung yang sakit karena menghantam lantai beton sementara lengan kanannya berusaha menahan kepala gadis itu agar tak membentur lantai. Gadis berambut panjang itu segera bangun dari posisinya lalu duduk meringkuk. Dia membenamkan wajahnya pada lutut yang tertekuk lalu menangis tersedu. Dia tampak sangat ketakutan.

Humaira mencoba mendekat dan memeluk gadis itu sebisa mungkin. Diusapnya rambut panjang yang acak-acakan itu dengan perlahan,"menangislah sesukamu. Jangan katakan apapun, menangis saja... kau tidak sendirian..."

Ya, gadis itu tak lagi menahan air matanya, dia menangis lepas di rengkuhan wanita berkerudung yang asing baginya namun kehangatan seolah meluluhkan, rasanya seperti ada dipelukan ibu.

(***)

Keduanya kini hanya duduk bersandar dengan dinding pembatas yang tadi menjadi pijakan gadis berambut panjang itu. Suara tangis yang pecah pun telah sirna, menyisakan wajah memerah dan gurat sedih gadis itu. Di sana juga ada kecemasan dengan gerakan jemarinya yang tak tenang.

HOW WE MEET ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang