Hari yang membeku pun telah tiba. Hujan salju semalam menyisakan gundukan es di banyak tempat. Orang-orang yang berlalu-lalang pun mengenakan pakaian tebal sebagai penghangat.
Gadis berkerudung dengan jaket tebal dan syal rajut yang melilit di leher itu terlihat berdiri menatap Sungai Han yang membeku. Cukup lama gadis itu berdiri, kaki mulai pegal bahkan tangan tanpa sarung mulai terasa dingin.
Sesekali gadis itu saling mengusapkan kedua tangan menyalurkan sedikit kehangatan dari gesekan ringan. Perlahan salju pun turun, udara sekeliling kian mendingin, namun tak ada niatan untuknya pergi.
"Kau masih di sini?"
Humaira berbalik. Senyumnya tercetak mendapati Junhee berdiri di belakangnya,"gomawo..."
Gadis bersurai panjang itu mendekat dan berdiri di samping Humaira. Sorot mata dinginnya menatap Sungai Han,"cepat katakan. Aku tidak punya waktu lebih."
"Ma'af... aku telah membuat ketidaknyamanan dalam diary kehidupanmu. Semua terjadi begitu saja, tapi... setelah kepergianku, kuharap kau akan menjalani hari dengan baik. Kuharap kau bahagia bersama orang-orangmu... juga terima kasih, sudah menjadi temanku," gadis berkerudung itu tersenyum menatap Junhee yang hanya diam bergeming tanpa ekspresi.
"Suatu ketika, mari bertemu di hari yang lebih baik..."
Humaira pun berbalik dan menghadap Junhee. Perlahan ditepuknya pelan pundak Junhee,"aku pergi dulu, senang bertemu denganmu..." pamitnya dan bergerak meinggalkan Junhee.
Gadis bersurai panjang itu masih di sana. Tanpa disadari air matanya pun mengalir. Hatinya terasa sakit. Ia ingin berbalik dan mengejar Humaira. Ia ingin berlari dan memeluk Humaira. Namun, nyatanya ia hanya diam dengan seluruh ego.
Waktu kian mendingin, turut mengiringi selingkup perasaan yang membeku. Salju terlihat turun lebih sering dan menyelimuti kehangatan. Rasanya baru kemarin musim semi yang hangat dengan bunga cherry bermekaran. Kini semua gersang dan dingin.
Sosok lelaki itu berdiri menghadap jendela kaca tanpa tirai. Dia meletakkan salah satu tangannya dalam saku celana sementara tangan yang lain memegang secangkir minuman panas. Barangkali kehangatannya dapat sampai ke dalam hati.
"Kupikir kau sudah enggan bertemu atau menemuiku..." ujarnya dengan mata tetap mengarah ke luar.
"Aku hanya sekadar berpamitan. Dua hari lagi, aku kembali ke negaraku," gadis itu membungkuk hormat pada lelaki yang masih memunggunginya,"terima kasih atas seluruh kebaikan Anda, ma'af aku tidak sempat membalas semuanya."
Merasa tetap diabaikan. Gadis itu pun berpamitan kemudian berbalik dan melangkah untuk pergi. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara lirih Changsub. Perlahan ia mendengar derap langkah yang kian mendekat. Dia kemudian merasakan aroma parfum yang tak asing dan cukup pekat.
Perlahan ia merasakan sepasang tangan kekar melepaskan syal rajut yang melilit dilehernya dengan hati-hati,"jangan berbalik sedikitpun." Lirihnya.
Setelah itu tangannya berpindah meraih jaket yang Humaira pegang sejak tadi. Dia kemudian melilitkan syal berwarna lebih gelap pada leher gadis itu.
"Kupikir kau cocok dengan pink, ternyata kau tak selembut itu. Aku salah menilaimu..." ujarnya kemudian.
Gadis itu mengepalkan kedua tangannya erat. Ia menelan saliva lamat-lamat. Dia hanya diam dengan akur perasaan yang menyeruak kuat.
"Pulanglah dengan baik. Jika ada kesempatan, terima aku. Tapi, jika di usia 25 tahunmu aku belum datang, maka aku merelakanmu jika aku datang terlambat..." lelaki itu melepas jas tebal yang dikenakannya dan meletakkan jasnya di punggung gadis itu.
Dia kemudian memegang kedua bahu gadis itu dari belakang dan mendekatkan tubuhnya. Hal itu membuat Humaira sedikit ketakutan, dia mengeratkan jas yang Changsub pasangkan dan menunduk was-was.
"Aku sangat ingin menahanmu di sini. Tapi kupikir itu akan sulit. Untuk sekian kalinya, aku mengakui perasanku yang hingga kini masih untukmu, Humaira..."
Tak dapat dipungkiri jika pria itu sangat menahan perasaannya. Ia ingin memeluk sangat erat. Ia ingin mencegahnya pergi. Namun, ini akan semakin sulit. Dia menghela nafas dan memundurkan langkahnya. Perlahan ia melepaskan bahu Humaira.
"Pergilah... jangan berbalik atau aku tidak akan melepasmu. Di hari yang lain, jangan menangis, jangan sakit. Aku pun akan berusaha..."
Antara takut dan kebingungan, semua campur aduk dengan perasaan yang tak karuan. Tanpa pikir panjang gadis itu pun mempercepat langkahnya dan keluar dari ruangan itu. Menyisakan lelaki sendirian yang hanya diam dan menitikkan air mata.
"Abeojhi... aku kehilangan lagi..."
(***)
Taksi yang dinaiki oleh Hyunsik berhenti di depan sebuah perusahaan yang cukup besar. Lelaki itu berjalan santai masuk ke dalam. Dia tak perlu identitas atau pun tanda pengenal. Dia menaiki eskavator yang tertuju pada lantai 4.
Sesampainya di sana, ia berjalan beberapa langkah menuju sebuah ruangan. Ia mengetuk pintu beberapa kali kemudian masuk ke dalam. Dia membungkuk hormay pada seorang wanita paruh baya yang disibukkan oleh kumpulan kertas-kertas.
"Kenapa datang?" tanyanya tanpa menghentikan aktivitas sedikitpun.
"Tidak bisakah kau menghentikan hubungan Changsub Hyung dan Junhee?"
"Tidak. Pergilah dan jangan mengganggu." Putusnya tanpa berfikir atau sekadar menimang.
"Eomma, kumohon... aku ingin dia bahagia..." pintanya lagi.
"Aku malas mendengar drama singkatmu. Pergilah selagi aku baik..."
Namun pria itu tetap tak menggubris. Dia teguh pada pendiriannya. Dia berusaha mengumpulkan sisa keberanian dan memaksa bola matanya menatap sang ibu.
"Eomma, selama ini aku selalu menuruti kemauanmu. Aku selalu berkata 'iya' dan 'iya'. Aku hanya meminta satu hal kecil yang tidak sulit. Hyungie, tidak pernah mencintainya. Dia menyukai orang lain... aku ingin melihatnya kembali bahagia..."
Tetap diabaikan. "Eomma!! Kau tidka mendengarku!!!" sentaknya dengan penuh penekanan.
Wanita paruh baya yang sedari tadi dia itu pun mendongakkan kepala, dia melempar penanya ke arah Hyunsik dan menggores pipi kanan pria itu. Dia kemudian bangkit dan mendekat. Tanpa aba-aba, wanita itu melayangkan satu tamparan dengan keras pada pipi kanan Hyunsik yang tergores.
Terlihat jelas bekas tamparan itu yang memerah dengan darah mengalir melalui sisa goresan pena itu. Mata wanita itu menajam,"diamlah kalau tidak tahu apa-apa! Kau pikir dengan hati perusahaan akan bertahan? Kau pikir dengan cinta yang hanya omong kosong maka hidupmu akan membaik? Jadi diam dan tonton saja!"
"Bagaimana aku hanya menonton ketika seseorang memberiku hati dengan baik. Hal yang tak kudapatkan darimu. Kau hanya hidup untuk uang, uang, dan uang! Lalu bagaimana dengan putramu? Aku tahu kau sengaja memancing Changsub, karena kau tahu dia berhati rapuh. Karena kau pun tahu jika Junhee adalah aib untuk keluarganya!!!!"
'PLAK!!!!!'
Tamparan keras sang ibu mebuat Hyunsik terdiam seketika. Pipinya sudah memanas dan sakit. Lekaki itu mengepalkam kedua tangannya dan membalas tatapan tajam sang ibu.
"TUTUP MULUTMU!!!!" kecamnya dengan telunjuk mengarah pada Hyunsik dan bersiap menamparnya lagi.
Dengan sigap lelaki itu menahan tangan sang ibu dengan tangan kekarnya,"sekarang aku tahu, kau ibu yang seperti apa. Tumpukan uang lebih kau sukai daripada kasih sayang dan kebahagiaan anakmu. Kupikir akan lebih baik untuk diam, tapi... aku sadar. Kebahagiaan tak bisa ditebus dengan tahta dan uang. Bahkan waktu yang berlalu tak dapat terulang..."
Lelaki itu kemudian menghempaskan tangan sang ibu lalu keluar dari ruangan begitu saja. Tepat saat menutup pintu dari luar, ia mendengar teriakan keras sang ibu yang menyebut namanya. Namun, mata tajam pria itu terarah pada gadis bersurai panjang yang berdiri di depannya dengan mata nanar.
(***)
KAMU SEDANG MEMBACA
HOW WE MEET ☑
Fanfiction(SELESAI REVISI) Perlahan gadis itu mendekat,"kenapa kau tidak mendengar? Aku sangat lelah mengejarmu sedari tadi. Kau tahu jika kakiku tak sepanjang milikmu..." Langkah dan ucapan gadis itu tertahan saat melihat Changsub tiba-tiba berjongkok di de...