MG ~ 1

25.5K 874 29
                                    

Hara senang karena pasalnya hanya tiga hari lagi dia beserta teman-teman kampusnya PPL di desa ini.

Tiga bulan ini terasa begitu cepat dirasakannya. Hara sungguh menikmati hari-hari saat dia melebur bersama murid-murid dan warga desa ini. Semuanya ramah padanya, tidak ada seorangpun yang mengatai ataupun mengungkit-ungkit bentuk tubuhnya. Beda halnya jika dia sudah kembali ke habitat aslinya.

"Akhirnya sebentar lagi kita balik kandang juga yah", itu Shella, sahabat baiknya yang untungnya bisa satu kelompok dengannya. Padahal dari program studi yang ada di Fakultas Keguruan, hanya boleh ada dua orang yang masuk dalam satu rombongan PPL.

"Iya, masih inget ga tampang kamu waktu kita baru sampai disini?", Hara terkekeh sendiri waktu melontarkan pertanyaan itu. Otaknya mengulas balik peristiwa saat Shella, si gadis jaman now harus masuk desa, yang benar-benar desa. Maksutnya, rumah di desa ini hampir sembilan puluh persennya berbahan dasar papan dan sedikit sekali rumah yang berlantaikan semen. Jadi bisa dibayangkan bagaimana histerisnya seorang Shella melihat itu semua.

"Kayak kamu enggak aja!", sahut Shella sewot. "Waktu itu kamu kan juga ngeluh liat WC nya!", tambah Shella lagi, membuat Hara kembali terkekeh.

Memang waktu itu dia merasa risih karena WC nya berada diluar rumah. Apalagi mereka harus saling menunggui kawan yang sedang 'menyetor'.

"Aku kan ngeluhnya bentar, ga kayak kamu yang sampe sekarang masih ngeluh gara-gara ga bisa tampil modis disini!", balas Hara telak.

Saat mereka mengetahui akan PPL disini, saat itu jugalah kampus memberi instruksi untuk membawa pakaian-pakaian sopan dan berwarna yang tidak mencolok. Semua itu dikarenakan masyarakat disini yang masih sangat memegang teguh nilai-nilai moral dan budaya setempat.

Bahkan jika mereka menemukan pria dan wanita berduaan saja, maka sudah pasti mereka berdua akan dinikahkan dan diarak sekeliling desa. Beugghhhh, untungnya sampai saat ini belum ada kejadian dan jangan sampai ada kejadian seperti itu, batin Shella dan Hara bersamaan.

"Ck, kamu ga tau aja Ra, pake pakaian kayak gini bikin auraku tenggelam. Makanya itu dokter-dokter yang PPL bareng kita, ga ada yang noleh sama sekali sama akuuuhhh, uuhhh kesel kan incesss", Shella merajuk kesal, namun Hara semakin tertawa lebar.

Memang benar apa yang dikatakan Shella. Hara memperhatikan pakaian Shella yang kebesaran ditubuh rampingnya. Apalagi kemeja hitam itu memang benar-benar menutup aura kecantikan Shella yang sesungguhnya.

"Itu Mas Tio mau dikemanain? Bukannya bersyukur bisa dapet anak Teknik sekeren Mas Tio, masih aja kurang. Lagian dokter mah biasanya cari pacar yang dokter juga, mana mau mereka punya pasangan guru kayak kita", Hara segera membereskan buku-buku yang ada dimejanya. Bel sekolah memang sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Namun mereka berdua masih betah untuk mengobrol lebih lama.

"Kita, elu aja kali. Gue enggak! Hahahahaha", ejek Shella.

Hara tersenyum masam, tidak bisa membalas. Cowok biasa saja akan berpikir dua kali untuk memiliki pacar seperti dirinya apalagi seorang dokter. Dengan tinggi seratus enam puluh delapan centimeter dan berat badan delapan puluh kilogram membuat kebanyakan teman-teman perempuannya merasa minder jika berada disebelahnya. Katanya mereka tenggelam jika sudah berdiri disampingnya. Apalagi jika dengan laki-laki yang lebih pendek darinya, bisa dibayangkan sendiri kan?

"Aku cuma bercanda kali, Ra. Ga usah baper deh!", canda Shella yang melihat perubahan wajah Hara.

"Eh tapi kamu kurusan lho, Ra selama disini. Kelihatan banget tuh perutnya ga buncit lagi", Shella menunjuk perut Hara dengan dagunya.

Hara menunduk menatap perutnya. "Hehehehe, kelihatan banget ya? Berarti diet aku berhasil", Hara terkekeh bangga. Raut wajahnya berubah senang, saat Shella mengatakan kalau dia kurusan.

"Apanya yang diet? Lah memang makanan disini ga jauh-jauh dari lalapan, cemilannya singkong rebus tiap hari. Kamu kan ga doyan makanya kamu kurusan. Kalau doyan mah, aku yakin kamu tambah gendut", Shella terkekeh.

"Duhhh dasar ya perempuan nyinyir, tadi muji-muji sekarang nyumpahin? Bikes aja, Bikin Kesel", Hara ngambek dan mengambil tasnya. Dia berlalu meninggalkan Shella diruangan guru.

"Eh..Ra, ya elah pake ngambek lagi! Sori deh", Shella mengejar Hara dan merangkul bahu lebar Hara sambil terkekeh. Dia selalu suka mengejek sahabatnya itu. Wajah Hara yang ngambek menurutnya sangat lucu. Hara seperti ikan buntel jadinya. Bibirnya yang memang mungil mengerucut lucu, tidak sesuai dengan badannya yang besar.

"Udah ah sana pulang, aku masih mau ke rumahnya si Maylan", Hara malas jika harus meladeni Shella lama-lama. Kadang Shella juga sama seperti teman-temannya yang lain, suka mengolok-olok tubuh Hara, padahal Shella tahu kalau Hara tidak suka diperlakukan begitu.

"Anak itu jadi mau ikutan Olimpiade Kimia?", tanya Shella, membuat Hara mendengus. Lihat kan, Shella tidak sungguh-sungguh minta maaf padanya. Namun Hara tidak mau memperpanjang hal yang sudah biasa dia alami jadi Hara hanya mengangguk.

"Boleh juga semangatnya. Terus kamu mau kerumahnya sendirian? Kan jauh, mana ngelewatin kebon kopi lagi, kamu yakin sendiri?",

"Kamu mau nemenin?", Hara menatap Shella, berharap kalau Shella akan menemaninya kali ini.

"Ogahhh! Hahahahaha, muka kamu ngarep banget, hahahaha duhhh sory deh Ra, aku capek banget hari ini, mana tadi ada yang nanya-nanyain soal yang aku ga ngerti, duh bikin otakku mengkeret aja. Kamu hati-hati deh ya, aku duluan", Shella meninggalkan Hara begitu saja.

Hara mendengus melihat kelakuan Shella yang sebenarnya sudah tidak aneh lagi. Shella yang cantik merasa salah jurusan, menurutnya dia terdampar di Fakultas Keguruan Jurusan Pendidikan Kimia karena sang kakek yang menginginkannya menjadi guru. Toh Shella juga mengakui kalau dia tidak pintar-pintar amat. Dia bisa mengikuti perkuliahan sampai saat ini berkat Hara yang selalu memberinya bimbingan gratis saat Shella merasa buntu dengan semua mata kuliah.

Tapi Hara tidak bisa menolak permintaan Shella apalagi Shella satu-satunya teman yang mau menerimanya dan selalu ada disisinya.

Hah! Hara menghela nafas berulang kali agar mood nya kembali. Memikirkan Shella hanya membangkitkan rasa iri dalam diri Hara. Shella tidak perlu bersusah payah untuk diterima oleh semua orang, berbeda dengan Hara. Walaupun Hara sudah menjadi juara umum ataupun pemenang olimpiade namun tetap saja semua orang menganggapnya aneh karena bentuk tubuhnya.

"Bu Hara, jadi kerumah saya kan?", Hara mengerjapkan matanya. Dia melamun lagi. Untung saja ada Maylan dan juga murid-murid lain yang mengalihkan pikirannya selama disini. Inilah salah satu alasan Hara suka menjadi guru. Dengan menjadi guru, mau tidak mau orang-orang akan menerima Hara dan mendengarkan Hara. Setidaknya Hara merasa memiliki sedikit kuasa untuk mengatur kehidupan orang lain dengan tangannya, tentunya mengatur ke arah yang lebih baik.

"Jadi donk, ayuk kita kerumah kamu", Hara tersenyum lebar. Segera diraihnya sepeda pinjaman ibu kepala desa itu. Selama disini sepeda itulah yang mengantar Hara kemana-mana.

"Tapi nanti Ibu pulangnya sendiri ga apa-apa?", Maylan memandang cemas pada gurunya itu, namun Hara hanya tersenyum meneduhkan.

"Ga apa-apalah, siapa yang berani ganggu Ibu ini. Badan segede ini, pasti bikin orang yang mau ganggu Ibu takut duluan", Hara terkekeh. Mereka mulai mengayuh sepeda mereka bersebelahan, meninggalkan sekolah kecil milik pemerintah tersebut.

"Walaupun badan Ibu sedikit besar, tapi Ibu tetap saja perempuan, lagian Ibu itu cantik tau. Senyum Ibu itu menarik, apalagi ada lesung pipinya. Saya juga pengen punya lesung pipi kayak Ibu", Maylan berceloteh riang, membuat Hara ikut tersenyum senang. Bukan karena pujiannya tapi karena cara Maylan mengatakannya seperti anak kecil.

"Duhh, kamu muji-muji Ibu bukan karena mau dikasih bocoran soal ulangan besok kan?", goda Hara serius.

"Eh, ga, ga gitu lah Bu. Saya beneran kok, jujur, serius, ga bohong", jawab Maylan kelabakan karena dituduh demikian oleh gurunya sendiri.

"Hahahahahaha", tawa Hara pecah seketika melihat Maylan yang salah tingkah. Maylan pun jadi malu sendiri karena dia sadar kalau Hara hanya mengerjainya saja.

Sepanjang jalan itu mereka berceloteh panjang lebar, mereka tidak nampak seperti guru dan murid, mereka berbincang-bincang layaknya sahabat lama yang baru saja bertemu.

Ttd,

lucyro
16052018

Miss Gendut (2# Teacher Series) - (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang