Day23C

129 8 0
                                    

Sepanjang jalan pulang sampai tiba dirumah gue sendiri, tidak ada percakapan diantara kami.

"Thanks, gue udah sampe. Lo bisa pulang sekarang."

"Ya udah, gue pulang dulu. Sampai ketemu besok." Pamitnya.

Gue hanya melambaikan tangan dan segera masuk dengan wajah memerah karena malu dibuatnya.
                                   -
                                   -
                                   -

Nadya membuka knop pintu, pada saat membukanya ternyata Ibu Nadya sudah berdiri di ambang pintu.

Wajahnya terlihat begitu kesal karena Nadya pulang ke rumah hingga larut malam.

Nadya melihat jelas sekali di depan wajahnya terdapat ibunya yang sedang berdiri, tidak lupa juga melipat kedua tangganya di bawah dada miliknya.

Nadya pov

"Dari mana saja kamu? Main dengan temen tidak tau waktu hah? Mau jadi anak macam apa?"

"Tadi Nadya abis dinner." Jawab gue cemas.

"Dinner dengan siapa?! Sampe ingin diajak pulang hingga larut malam ?"

"Sama Re..Redi bu. Tadi di jalan tiba tiba mobil mogok bu, terpaksa Nadya harus nunggu temannya buat jemput Nadya tadi."

Terpaksa gue sendiri harus berbohong, gue berbohong biar ibu gue gak terlalu cemas.

Padahal gue lama gara gara anter Redi beli tiket pesawat untuk pemberangkatan dia ke negara Rena tinggal sekarang.

"Mau jadi anak macam apa hah? Sakit hati ibu! sakit! Liat anaknya sendiri pulang larut malam, apalagi dengan seorang laki laki!"

Gue mencoba menjawab perkataan ibu gue barusan. "Maaf bu, Nadya juga paham sakit, jika anaknya tidak nurut dengan orang tuanya."

"Jangan pernah berbicara ketika ibu  ngomong! Dengarkan perkataan ibumu. Ibu minta jangan seperti kaka kamu Dimas, dia anak durhaka! Keluyuran malam, masuk geng motor dan juga selalu pergi ke clubbing hingga lupa waktu. Kamu mau seperti kaka kamu hah?"

Hati gue sakit ketika ibu gue menceritakan keadaan ka Dimas sejak dulu.

Bukan karena ka Dimas itu anak nakal tetapi itu hanya pelarian dia saja ketika setiap dia baru saja beristirahat dirumah karena lelah dengan tugas tugas disekolah, dia selalu saja disalahkan karena hal sepele.

"Ibu, Ka Dimas tidak salah! Justru Ibu sendiri yang terus menerus mengekang kami ini dan itu! Kemarahan Ibu selalu lampiaskan kepada kami yang tidak salah apapun. Apa itu karena papah? Pantas saja papah men talak ibu, ibu egois! Tidak pernah sekalipun ibu memahami kami semua. Ibu sibuk dengan perusahan ibu sendiri sampe lupa dengan papah yang selalu nunggu ibu pulang dengan perasaan yang cemas." Gue menghela napas sebelum melanjutkannya.

"Nadya tau bu, papah tidak seperti pekerjaan ibu, papah hanya sekedar pegawai biasa. Beda dengan ibu! Seorang pemilik perusahaan besar. Tapi tidak sampai ibu terus terussan merendahkan papah dengan perlakuan dan perkataan semau ibu! Harusnya ibu inget surga ibu hanya ada di seorang suaminya sendiri!"

Tangisan gue pecah saat itu, tidak bisa dibendung lagi.

Kaki, tangan hingga seluruh badan bergemetar, baru kali ini gue berbiacara panjang lebar dengan ibu gue sendiri.

Mulut gue tidak bisa ditahan lagi, ingin sekali mengucapkan kalimat dari sejak dulu gue ucapkan.

Dan kali ini gue dengan modal nekad mengucapkan semuanya dari mulut gue.

Tidak peduli akan mendapatkan hukuman apapun lagi, yang gue mau hanya ingin menyadarkan ibu gue ke dunianya sebagai ibu yang mempunyai dua orang anak yang masih butuh kasih sayang, bukan bentakan marahan yang terus kami terima.

"Asal ibu tau, terkadang Nadya menangis ketika ada teman yang menceritakan kebahagian susana keluarganya, mungkin Nadya iri. Yang Nadya dapatkan hanya kepedihan. Nadya ingin Ibu berpikir keras dengan apa yang selama ini ibu perbuat terhadap kami itu salah."

Tidak tinggal diam ibu menampar pipi kiri gue, sehingga meninggalkan tanda merah di pipi gue akibat tamparannya yang begitu keras.

Hati gue tercabik cabik, seandainya ada kak Dimas pasti dia akan menolong gue ketika setiap kali ibu bertindak kasar terhadap gue.

Tapi nyatanya gue harus nerima pukulan ini karena kak Dimas sedang berkuliah di sana.

"Pukul Nadya bu, pukul! Nadya rela naruhin nyawa Nadya agar ibu berubah! Nadya rela dipukul ibu sepuasnya, Nadya hanya ingin ibu sadar apa yang selama ini ibu perbuat salah."

Sontak tanggannya sudah berada di atas, hanya tinggal mengayunkan tangganya tepat di wajah gue sendiri. Ibu hanya terdiam sepertinya dia tidak tega memukulnya lagi.

Tanggannya melemah dan kembali seperti semula normal. "Bawa alat tidur kamu dan tidur di luar!!!"

Kalimat itu terdengar di telinga gue, seakan akan terus terngiang dipikiran gue.

Ibu macam apa yang tega suruh anaknya tidur diluar dengan keadaan cuaca sangat dingin ini.

Gue berjalan sangat lelah, seakan akan semua anggota tubuh gue ambruk seketika.

Gue pergi ke kamar hanya untuk mengambil alat tidur gue. Dan ya tidak lupa juga buku diary milik gue.

Malam ini gue tidur di luar karena perintahnya.

Cuaca malam ini tidak begitu bersahabat. Hujan, angin disertai petir membawa gue larut dalam kisahnya.

Aku sangat suka hujan, hujan membawaku sekaan akan lupa dengan segalanya. Rintikan yang mengenai wajah selalu terasa bahwa air mata terjatuh menyembunyikan tangis dibalik tawa.

Aku berusaha mencari cari kebencian saat hujan itu tiba.

Hingga pada saatnya aku menemukan kebencian ketika hujan turun. Kebencian ketika kilatnya mengingatkan ku pada pedihnya luka.

Lamunan gue terhenti ketika suara petir menyambar dengan begitu keras, membuat gue sadar dalam lamunan tentang hujan.

Gue mencoba menulis di dalam buku diary milik gue. Seakan akan malam itu adalah malam yang akan selalu teringat sepanjang hidup gue.

Dear heart

Gak banyak orang tau apa beban yang aku pikul saat ini, bukan tidak bersyukur dengan cobaan ini, tapi jika dikasih kesempatan untuk bertukar satu jam saja menjadiku, apa kalian masih bisa memberikan senyuman seperti apa yang dilakukanku sekarang?
Ini tentangku yang selalu berusaha melupakan pedihnya luka.

There's love in our friendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang