Terkadang jika kau mau menutup matamu dan mendengar dengan lebih seksama, maka akan kau dengar suara itu menjerit dan memanggil.
"Tolong..."
"Tolong..."
"Hei, siapa saja... Tolonglah..."
Lolongan yang seakan menyayat hati. Perih dan sedih rasanya memaksa menyerobot masuk ke dalam jiwa dan raga. Jika kau tidak kuat, mungkin kau akan terjatuh dan terbelenggu dalam kegelapannya.
"Hei... kau... siapa?" Adalah sebuah pertanyaan yang aku lontarkan pada sesosoh roh yang menemuiku saat diselenggarakannya OSPEK.
Tangannya yang kurus, panjang, dingin, menyentuh pucuk kepalaku dan mengelusnya-meski ia tidak bisa benar-benar menyentuhku. Hanya kebisuan, tak sepatah kata pun terucap. Hanya menatap pilu padaku.
Saat itu pandanganku seakan terpikat oleh pandangannya yang sayu. Sungguh menyedihkan, hatiku terasa seperti tengah dirobek. Tersayat pisau setajam-tajamnya. Namun, meski hatiku sakit, yang bisa kulakukan hanya menatapnya kebingungan.
Memang, bibir beku itu tidak membuka sedikitpun. Namun sesuatu di dalam hatiku mengerti seolah sosok itu menjawab pertanyaanku. "Kau akan mengerti suatu saat nanti."
Aku terus memikirkannya selama berhari-hari. Apa maksud perkataannya? Apa yang akan kumengerti? Ingin kutanya sosok tersebut, namun tidak pernah kutemukan lagi keberadaannya.
Suatu malam aku terlelap dalam perjalanan pulang menuju rumahku yang berada di kota sebelah. Pada saat itu aku mendapatkan mimpi yang cukup aneh. Aku tengah berdiri di selasar fakultas sambil bertelanjang kaki. Mataku mengerjap beberapa kali, sebab kondisi saat itu sedang minim pencahayaan. Hanya ada lampu jalanan yang menemaniku, sementara lampu di dalam gedung yang mengitariku, semuanya mati.
Aku menenggak ke langit, dan kutemukan sebuah pohon raksasa yang seharusnya tidak ada di sana. Agak sulit melihat daun-daunnya karena gelap, tetapi aku yakin sesuatu ada di sana: sosok wanita-wanita cantik bergaun putih, berambut panjang, dan tersenyum mengerikan padaku.
Aku menurunkan lagi pandanganku, tak mau beradu pandang lama-lama dengan wanita-wanita itu, atau apapun yang berada di sana. Kuputar badanku menghadap belakang, dan kutemukan pemandangan yang masih 'normal' dan sangat kukenal. Maka kulangkahkan kakiku ke sana, menuju taman mahasiswa.
Taman itu dipenuhi pepohonan rindang dan semak-semak. Aku berjalan menyusuri pinggirannya, berharap dapat segera keluar dari tempat itu. Entah mengapa aku sangat ingin berjalan menuju pintu gerbang 1, gerbang yang biasa kugunakan untuk pulang.
Suasana malam di kampus, pada jam itu sangat memukau. Aku bertemu beberapa roh yang menghuni kampus. Mereka terdiri dari beberapa ras dan dari beragam usia. Beberapa mengenakan pakaian rapih bak putri bangsawan Belanda, beberapa hanya mengenakan pakaian sederhana bak rakyat betawi tempo dulu, dan beberapa lainnya mengenakan pakaian moderen seperti celana jins dan kaos atau jaket kulit. Beberapa juga mengenakan almamater kampus. Dan aku sadar mereka berasal dari era 80-90an.
Era 90an, mengingatkanku pada masa reformasi. Pada saat itu terdapat sebuah tragedi yang menewaskan cukup banyak senior-seniorku di kampus. Mungkin mereka adalah sedikit dari korbannya.
Awalnya mereka terkejut melihatku, tetapi kemudian tersenyum ramah seolah menyambutku. Seolah... 'Akhirnya kau ke sini!'.
Sorot pandang mereka begitu hidup, seolah mereka belumlah mati. Padahal beberapa diantara mereka memiliki bercak darah di bajunya. Mereka tertawa, mengobrol, seperti manusia biasa.
Tanpa sadar aku ikut tersenyum dan membalas sapaan mereka. Aktivitas di malam itu terasa sangat hangat dan hidup. Meski ada perasaan sedih dan sesal berkeliaran di antara mereka. Aku pikir aku akan menyukai kampusku ini. Para roh begitu baik dan ramah meski kebanyakan mereka tak mau mendekatiku.
Kemudian di hari-hari berikutnya, aku datang terlewat pagi. Pukul setengah 7 pagi aku tiba di kampus, menyusuri setiap koridornya yang masih sepi dan agak gelap sebab cuaca mendung.
Berjalan melewati gerbang dan berjalan melewati gelanggang mahasiswa. Mataku mendelik. Sesuatu berada di sana, mengawasiku. Telingaku menangkap suara berisik langkah kaki, teriakan orang-orang gelisah, dan beberapa suara tembakan.
"Lari! Sembunyi!"
Aku melompat terkejut. Ah, aku melamun sambil jalan. Suara yang kudengar rupanya tidaklah nyata. Mulailah aku bertanya-tanya, apa yang barusan melintas di kepalaku?
Jika kau mau diam sejenak dan mendengarkan dengan seksama, maka kau akan mendengar suaranya.
Mereka ada di sini, bersama kita, di kampus perjuangan. Mereka masih tersenyum ramah, tertawa, bergurau, dan berbicara seperti saat mereka masih hidup. Meski jika kau selidiki lagi... terdapat penyesalan dalam relung hati mereka. Kesedihan, gundah, kerinduan.
Mereka ada di sini, bersama kita, hidup berdampingan dengan kita. Tiap hari dilalulalangi tanpa satupun yang peduli. Ditembus sesekali, diabaikan sering kali. Berteriak 'hei, aku di sini' namun tidak seorangpun yang mendengarnya. Dianggap setan yang harus diusir. Padahal mereka hanyalah korban kekejaman para manusia dahulu yang tidak memiliki cinta kasih.
Mereka ada di sini, bersama kita, mengamati setiap detiknya. Dan betapa malunya aku ketika mereka menyaksikan aksi tidak senonoh senior pada junior di kampus yang mereka lindungi dahulu kala; tempat tinggal mereka sekarang. Menyeringai, memaki, ingin melawan batas, dan sesekali menyernyit.
Jika kau mau diam sejenak dan mendengarkan dengan seksama, maka kau akan mengetahui segalanya.
#Melawan Lupa: Tragedi Reformasi 1998
YOU ARE READING
Alicia's Dumb Book 2
RandomBuku ke-2, isinya masih sama: Tags, QnA, and Random Scenarios. kebanyakan sih isinya gajean. Pokoknya gitu lah ._. Ciao~~ Alicia