Bucin Mode: Don't Touch (1/2)

11 0 0
                                    

Don't TouchOleh: Alicia U.

March, 2016

Malam menjelang dini hari. Ketika itu semua orang tengah tertidur, hanya aku yang berada di jalanan kota yang dingin tanpa tanda-tanda kehidupan. Hanya lampu jalanan yang masih menyala menerangi langkahku.

Cuaca sangat dingin, udara itu seakan bisa menusuk kulitku, meski aku sudah memakai jaket tebal. Ya, memang ini pertengahan musim gugur. Tentu udara akan terasa sangat dingin di malam hari.

Akhirnya, setelah sekian menit berjalan aku menemukan tujuanku, alamat apartement Jovan—si lelaki kurang ajar, yang memandangi Michiko-ku sepanjang sore.

Menaiki anak tangga, satu persatu, darahku semakin terbakar amarah. Setidaknya ia harus tahu jika Michiko itu milikku. Karena itu, aku berniat memberinya 'sedikit' pelajaran.

Kuputar knop pintunya, terkunci. Dengan sedikit mengakali lubang kuncinya, akhirnya aku bisa masuk. Ruangannya terlihat gelap, hanya cahaya bulan yang menerangi lantai apartement satu ruangan itu. Kuedarkan pandanganku untuk mencari keberadaannya.

Ketemu. Disana terbaring Jovan— targetku yang sedang tertidur dibalik hangatnya futon berwarna putih. Perlahan-lahan aku mendekat, tak ingin sedikit pun membuatnya terbangun. Sebuah pisau lipat dan kain kukeluarkan dari saku jaketku.

Cengkramanku menguat di gagang pisau. Tak sabar ingin melihat ekspresi terkejut dan ketakutannya. Aah.. dari mana aku harus mulai? Wajah? Dada? Alat gerak? Oh, aku tahu. Mata dibayar mata. Mulut dibayar mulut.

Ujung mata pisauku menusuk kelopak matanya. Saat itu Jovan terbangun, hanya dengan satu matanya yang bisa terbuka, ia menatapku terkejut. Sontak dia berteriak. Rasa sakit pasti sangat menyiksanya. Lihat betapa banyaknya darah yang keluar dari sela-sela lubang yang kubuat. "Selamat malam, Jovan," sapaku ramah lengkap dengan senyuman miring ketika aku mulai merangkak, menduduki tubuhnya. Aku harap dia tak akan kabur.

"K-kau!" oh, dia mengingatku. Bagus lah.

Jovan meronta, kedua tangannya menggenggam tanganku yang memegang pisau, berusaha melepaskan pisau tersebut dari wajahnya.

"Aku sudah dengar, kalau kalian itu teman masa kecil " tepat sebelum Jovan dapat membuka mulut, aku segera menyumpalnya dengan kain yang ku pegang. "Kau tak perlu menjawab, cukup dengarkan saja aku bicara," tambahku.

Di bawah sinar rembulan aku bisa dengan jelas melihat ketakutan yang terpancar dari mata Jovan. Bagus, dia takut padaku. kutekankan pisau itu lebih dalam lagi hingga Jovan kembali berteriak.

"Jovan, Aku tahu kamu tak menganggap Michiko sekedar teman masa kecil, kan?" bisikku di telinganya. Lelaki ini tak berhenti meronta. Menendang, mendorong tanganku, apapun dia lakukan agar bisa terbebas dariku.

"Tahu tidak? sepanjang sore aku mengamati kalian, mengamatimu. Kamu bermain mata dengan Michiko," tuduhku, "jadi anggap saja ini pelajaran untukmu. Lain kali jangan seperti itu ya? Kau tahu? mata dibayar mata," kemudian kucabut pisau di matanya, sehingga air terjun darah mengalir deras dari robekan yang tertinggal. Jovan kembali menjerit kesakitan. Untungnya mulutnya sudah kusumpal terlebih dahulu dengan kain yang sudah penuh bercak darah dengan tujuan agar suara jeritannya tidak membangunkan tetangga yang lain.

"Dan aku lihat kau sering sekali mengobrol, ah tidak. Menggodanya," kali ini aku menusuk pipinya, merobek rahangnya hingga telinga. Giginya terlihat, terluburi oleh darah akibat robekan di wajahnya. Aku menahan rahanya terbuka dengan tanganku yang bebas. Agar dia tetap menggigit penyumpalnya. "Mulut dibayar mulut."

"Darahmu sungguh menjijikkan. Membuatku ingin muntah. Sayang sekali, aku ingin menyiksamu hingga kamu mati perlahan. Namun Michiko pasti akan sedih jika kau mati. Jadi anggap saja ini peringatan untukmu."

Jovan menatapku perih, dari sudut-sudut mata dan hidungnya mengeluarkan cairan bening. Ew, menjijikkan. Dia menangis.

"Kali ini aku mengampunimu. Besok-besok, jangan pernah berani menatap atau menggoda Michiko, ya? Dia hanya milikku, dan jangan sekalipun kau berharap jika suatu saat nanti ia akan jadi milikmu. Itu... mustahil. Camkan itu baik-baik."

***

Keesokan harinya Michiko terlihat murung ketika memasuki gerbang sekolah. Biasanya dia selalu menebar senyuman di pagi hari. Dia percaya jika hal itu dapat memberikan keberuntungan dan kebahagian untuk orang lain.

Merasa khawatir, aku menyambutnya di depan loker, "selamat pagi Michiko." Gadis yang kupanggil namanya menoleh. Setelah beberapa detik menatapku kosong, ia melempar senyum pahitnya padaku.

"Selamat pagi Vincent," balasnya sebelum melakukan rutinitas pagi di depan loker.

"Ada apa? pagi ini kamu terlihat tidak ceria. Apa kamu sakit?"

"Tidak, Vince. Hanya saja, Joe, aku khawatir padanya." Michiko mulai bercerita. "Dia tak membalas pesanku, maupun mengangkat telponku. Apa terjadi sesuatu padanya?" Oh.. Jovan lagi.

"Sudah kau cek apartemennya?"

"Sudah. Tapi tidak ada jawaban. Pintunya juga dikunci." Michiko menghela nafas pelan. Ya, pintunya terkunci. Aku yang menguncinya dari luar. "Dia pergi kemana ya? Tidak biasanya dia tidak mengabariku."

"Entah lah. Mungkin alasan yang mendesak hingga tidak sempat mengabarimu," sahutku santai. Michiko menaikan pandangannya kepadaku, seolah tengah berpikir, 'oh, iya juga. bisa jadi.'

Dia kembali tersenyum, kali ini betul senyuman yang selalu tulus dia bagikan setiap pagi, "mungkin saja. Terima kasih Vince."

Sepertinya mood Michiko sudah mulai naik, namun itu belum cukup. Senyuman jahil terpampang jelas di wajahku. aku harap dia segera melupakan Jovan, si penghianat.

Dengan senyuman jahil yang menghiasi wajahku, kucolek-colek pipinya, "sebagai balasannya, cium aku dong."

Michiko berkedip dua kali mencerna kalimatku, "eh?"

***

[3RD POV]
Michiko melangkah memasuki kelasnya. Baru saja pagi itu dimulai, ketika itu Miranda, sang ratu kecantikan dan kawan-kawannya segera mengerubuni Michiko.

"Selamat pagi, teman-teman," sapa Michiko yang berusaha tenang. Tentu dia tahu, jika para gadis itu merencanakan sesuatu yang busuk untuknya. hal ini sudah menjadi semacam rutinitas semenjak ia menjalin hubungan dengan Vincent. Pemuda kaya, pintar, dan dicintai semua orang. Gadis malang ini menelan ludah, tak tahan dengan aura kelas yang berubah menjadi sedikit berat.

"Hei," Miranda adalah salah satu dari sekelompok gadis yang menekuk wajahnya masam. "sampai kapan kamu mau menyulitkan Vincent? Bukankah sudah jelas kemarin itu?" Ucapnya seraya menatap penuh intimidasi.

"Sudah, kok. Bukannya begitu, aku sudah mencoba mengatakannya pada Vincent. T-tapi.. tapi.." Balas Michiko gugup. Bagaimana tidak? Ia tengah dikelilingi sebagian besar anak perempuan di kelas. Yaitu para gadis yang mengidolakan Vincent. Michiko sadar jika ia tak mungkin menghindari situasi ini. Namun ia sudah membulatkan pikirannya, jika ia akan pacaran bersama Vincent, seseorang yang selalu ia kagumi secara rahasia.

"Aku tak bisa melepaskan Vincent. Dan aku bukan parasit untuknya," cetus Michiko tegas. Kedua tangannya ia kepal erat-erat, seolah tengah menguatkan batinnya.

"Heh, jadi sekarang kamu mau memlawan, eh? Apa kurang jelas peringatan kami?" Miranda kembali bertanya. Kedua lengan ia silang di depan dada, menandakan ia benar-benar kesal. Kesal akan pemandangan yang ia lihat beberapa menit lalu. Pemandangan yang mana kecil peluang baginya untuk merasakan pengalaman tersebut. Yaitu dapat bercengkrama mesra dengan Vincent.

"I-itu.. ti-tidak benar." Michiko semakin tersudutkan. Para gadis menatapnya marah, dan heran. Tak terkecuali para lelaki yang hanya bisu mengamati.

"Gadis sepertimu lebih baik mati!" Miranda mengangkat tangannya ke udara, bersiap menampar wajah Michiko. Sedangkan Michiko, ia memejamkan matanya kuat-kuat, bersiap menerima tamparan tersebut.

SLAP! Sebuah tamparan baru saja mendarat di pipi Michiko. Miranda dan kawanannya tertawa puas melihat tubuh Michiko terlempar ke lantai. Tentu akibat tamparan super dari Miranda.

Namun tepat setelah itu, seorang lelaki tampan muncul di mulut pintu kelas, pada waktu dan situasi yang kurang tepat. "Michiko?"

TBC


Alicia's Dumb Book 2Where stories live. Discover now