Dear Chamomile
Oleh: Alicia U.
Tahukah kau bahwa aku bak cedar sekarang? Setiap saat kuteringat masa lalu, aku menangis, seolah aku hidup untukmu seorang. Aku pikir asphodel sedang tumbuh subur di dalam hatiku. Sungguh penyesalan tiada akhir yang terus kurasakan.
Dalam perjalananku menuju tempatmu, aku singgah ke sebuah toko bunga. Dari sekian banyak bunga yang terpajang di depannya, hanya satu yang menarik perhatianku, yaitu bunga chamomile.
Chamomile.... menurutku sangat menggambarkan dirimu. Bunga yang mampu tumbuh cantik meski di tempat penampungan sampah. Tetap kokoh dan menubar kecantikan meski kerasnya lahan pinggir jalan. Bersemangat setiap waktu, tidak sedikit pun memperlihatkan kesedihan dan kesulitan yang kau alami. Aku ingat kau pernah berkata, bunga itu bermakna semangat dalam kesusahan, kan? Kau lah semangat itu.
Seolah mendengar suaramu kala kupandang sekumpulan chamomile itu. Mereka membuatku melangkah memasuki toko.
Mereka juga mengingatkanku pada pertemuan pertama kita. Sebagai yatim piatu korban ledakan bom tentara musuh, aku tidak berhenti menangis, tetapi kau tetap tersenyum dan bertingkah tegar.
"Kala kesusahan kau harus tetap semangat agar sekitarmu merasa terhibur. Dan kau akan merasa lebih baik saat melihat senyuman mereka terkembang karenamu! Sebab jika kau terus bersemangat dalam menjalani pahitnya kehidupan ini, niscaya Tuhan akan memudahkan hidup serta memberikanmu kebahagiaan yang tak ternilai." ucapanmu masih kuingat.
Kau berikan kehangatan dalam kejamnya kehidupan semasa perang dunia, dan kau tunjukan harapan di bawah bayang ketakutan dari gemuruh senjata, bahwa dunia ini masih bisa diperbaiki selagi masih ada kasih sayang. Dan berkatmu, aku merintis karir sebagai perawat. Agar aku bisa membagi kasih pada semua orang, seperti kau yang banyak mengasihiku.
Pernah sekali kau pulang berbalut banyak luka bekas perang, tetapi kau masih saja tersenyum seolah tiada kesakitan yang dirasa. Dan kau berkata, "Chamomile! Tetap bersemangat meski sedang kesusahan. Jangan menangis, Mimosa-ku." Jemarimu menghapus air mataku. Kau panggil aku Mimosa sebab kecengenganku, dan kupanggil kau Chamomile sebab semangatmu yang tiada habis.
Kau buat aku berjanji untuk tidak menangis lagi. Namun, tidak bolehkah aku menangis saat mereka merenggutmu dariku? Kala tiada sepatah kata perpisahan pun yang terucap?
Aku terus menunggumu dalam penantian yang sia-sia, sungguh nihil kabarmu. Kau... yang katanya menjadi tawanan perang.
Kini aku berdiri di depan batu nisanmu. Hanya sebuah makam kosong yang dibuat untuk menghargai jasamu. Mereka percaya kau telah tiada meski jasadmu entah dimana. Chamomile tidak selamanya mekar, mereka pasti layu juga. Begitu pula semangatku yang dipatahkan oleh penantianku.
Seharusnya tak kubiarkan kau pergi berperang malam itu! Mungkin saat ini aku masih dapat menggenggam tanganmu. Hidupku hambar lima tahun ini, tanpamu. Dan aku tidak bisa melanjutkannya lagi.
Bunga carnation merah jambu yang kuletakkan di depan nisanmu menyiratkan ketidaklengkanganmu dari ingatanku. Itu membuatku frustasi serta terpuruk. Maka kuputuskan untuk mengakhiri hidupku. Apa gunanya aku hidup? Meski dunia sudah damai sekarang, tetapi jika tanpamu... sama saja hambar bagiku.
Sebuah pistol berisikan satu peluru aku keluarkan dari dalam tas. Kuarahkan mulutnya ke pelipisku, siap mengakhiri semua ini.
Maafkan aku, Sayang, keputusanku sudah bulat. Selamat tinggal—
"—Tunggu!"
Jantungku berdegup kencang saat suara lontaran peluru berdengung di pendengaranku. Tetapi benda itu tidak menyambar kepalaku sama sekali. Pelurunya melontar jauh ke arah langit.
Sepasang lengan kekar melingkari tubuhku —mendekapku dalam kehangatan. "Ya Tuhan, apa yang kau pikirkan?!" pemiliknya membentakku.
Sungguh kurasakan kerinduan di dalam dada menyeruak. Sesaat kemudian, cairan hangat berjatuhan dari sudut mataku. Apakah aku bermimpi? Aroma ini... sentuhan ini... dia yang mendekapku saat ini... chamomile-ku yang hilang.
Tak kuasa menahan haru, aku menangis. "Benarkah yang aku lihat ini? Kau masih hidup?"
Dia lepaskan pelukannya, seraya tersenyum pun berkata, "Tentu. Aku masih hidup."
Isak tangis mulai terdengar di pemakaman itu. Jemariku tak henti membelai wajahnya —tak percaya dengan keajaiban ini. Chamomile-ku masih hidup dan baik-baik saja!
"Sebab jika kau terus bersemangat dalam menjalani pahitnya kehidupan ini, niscaya Tuhan akan memudahkan hidup serta memberikanmu kebahagiaan yang tak ternilai." aku bergumam, membuatnya menyernyit.
"Aku mengutip kalimatmu, dulu. Kaulah kebahagiaan itu, setelah lima tahun aku menderita menjalani hidup!"
Dia pun tertawa, "Maafkan aku terlalu lama meninggalkanmu, tetapi mulai sekarang aku tidak akan pernah melakukannya lagi. Kini perang telah usai. Mari tempuh kehidupan yang lebih baik mulai sekarang."
Aku malu ketahuan telah menyerah olehmu. Tetapi setidaknya kita kembali dipersatukan. Tuhan memulangkan chamomile-ku pada saat yang tepat, yaitu diujung keputusasaanku. Maka bunga itu menjadi kebahagiaan yang tak ternilai untukku.
YOU ARE READING
Alicia's Dumb Book 2
RandomBuku ke-2, isinya masih sama: Tags, QnA, and Random Scenarios. kebanyakan sih isinya gajean. Pokoknya gitu lah ._. Ciao~~ Alicia