Jangan jadikan perpisahan sebagai sebuah kesedihan. Bisa jadi, itu adalah sebuah permulaan untuk kisah baru dalam hidupmu. Tersenyumlah!
***
Sebuah tangan terulur ke arah kenop. Membuka pintu ruangan yang tertata rapi setelah ditinggal lama oleh pemiliknya.
Terhitung sejak dua abad lalu, tata ruang berukuran enam kali enam itu tak banyak mengalami perubahan. Mulai dari tempat tidur berkelambu dengan nakas di sampingnya, kursi malas, lemari buku, dan meja kerja. Hanya saja beberapa teknologi terbaru mulai bermunculan di dalam kamar bernuansa abu-abu itu guna menyesuaikan standar kemajuan zaman.
Perlahan, sang pemilik ruangan mengedarkan pandangan. Netranya menelisik setiap benda-benda baru yang disediakan di dalam ruang pribadinya.
Tampak sebuah komputer merek ternama lengkap dengan perangkat tambahan berada di dekat tempat tidur. Di seberangnya, sebuah televisi layar datar menempel sempurna pada dinding. Lebih jauh, di atas jendela, mesin pendingin ruangan tengah melakukan tugasnya meski kamar tak pernah dihuni oleh seorang pun.
Langkah demi langkah dipijakkan menuju ke meja kayu kecil di bawah televisi berukuran 30 inci. Ditatapnya lamat-lama gambar dalam bingkai itu. Lama dan penuh makna. Hingga jemarinya meraih sebuah bingkai kayu berhiaskan motif floral.
Tanpa disadari, ibu jarinya menggosok pelan sosok dalam foto tersebut. Seolah ia sedang mengelus langsung sang objek pada gambar.
Mengenang masa lalu, bibir berhiaskan lipstik merah muda itu membentuk lengkungan ke atas. Hatinya menghangat kala menerawang jauh kisah di balik foto tersebut.
"Ayo, kita berfoto!" seru Reese kepada seseorang di sampingnya. Gadis itu menarik lengan baju pemuda berambut coklat yang tengah menatapnya gemas.
"Hei, lady, kau tidak boleh berteriak di keramaian. Ingat, kau seorang bangsawan," peringat pemuda bertubuh atletis itu.
"Ayolah, Lux, aku sangat penasaran dengan teknologi bernama kamera itu." Reese merengek. Matanya menatap ke arah Lux dengan sedikit memelas seperti anak anjing kelaparan.
"Lagipula, apakah salah jika kita berfoto berdua?" tanya Reese lagi. Kali ini dia semakin merendahkan suaranya atau lebih tepatnya terdengar seperti orang yang putus asa. Pun, pandangan gadis nan belia itu kian merunduk setelah mendapati ekspresi Lux yang tak pernah banyak tersenyum padanya.
"Ah, kurasa tak perlu," Reese menarik kembali ajakannya, "kita abadi jadi akan selalu bersama, bukan?"
Gadis itu mendongak. Senyum getir tertahan di bibirnya. Ia tak pernah pantang menyerah untuk meluluhkan lelaki idamannya, Luxio.
Merasa tak enak, Lux memberanikan diri untuk mengiyakan permintaan Reese. Toh, baginya ini tidak merugikan.
"Ayo, kita berfoto," ajaknya sembari tersenyum tulus.
"Apa tidak apa-apa?" tanya Reese ragu. Bagaimanapun, Lux tidak suka dipaksa dan dia sangat tidak ingin membuat pujaan hatinya marah.
"Sungguh tak apa. Ayo." Pemuda itu mengulurkan tangan ke arah Reese. Membuat vampire muda itu melebarkan senyumannya. Tak pernah ada hari sebaik hari itu.
Seorang Luxio luluh padanya!
Helaan napas memenuhi ruangan bersamaan dengan kembalinya bingkai itu ke posisi semula. Sekilas ia kembali tersenyum tipis. Sebuah kenangan manis untuk seorang vampire muda sepertinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
FALSE : The Beginning
FantasiSelena tak pernah menyangka jika kalung yang selama ini diberikan sang ibu justru membawanya kembali bertemu dengan sosok-sosok yang berpengaruh atas kehidupannya di masa lampau. Gadis itu terus dihantui mimpi buruk yang membuatnya bertanda tanya me...