NEUN

2.8K 274 0
                                        

Bahkan semua rasanya sesak dan ingin ditumpahkan dalam tangisan.

***

Xander mengetuk pelan meja dengan menggunakan jarinya. Pikirannya melayang bersamaan dengan heningnya ruangan. Tak lagi menggubris betapa berisiknya suara benda pipih yang kini terus berjerit merdu dengan melodinya.

Xander melirik sekilas ke arah benda itu penuh rasa tak minat. Ia terus mengabaikan panggilan dari seseorang nan jauh di sana melalui ponselnya.

"Sebenarnya apa yang dipikirkannya?" gumam Xander pelan masih dengan kepala yang ditopang oleh sebelah tangan kekarnya.

"Kenapa dia malah mengalihkan perusahaan ini kepadaku untuk sementara?" tanya Xander lagi.

"Dasar menyusahkan!" keluh pria itu seraya menyandarkan tubuhnya ke kursi kerja.

Selama beberapa menit, suasana mendadak tenang. Tak ada lagi alunan melodi dari ponselnya hingga sebuah suara menginterupsi Xander. Membuat pria itu berjengit kaget lalu mengembuskan napas kasar.

"Siapa yang kau bilang menyusahkan?"

Alunan merdu bariton dari seseorang yang kini tengah duduk santai sembari menyilangkan kaki berhasil menarik atensi Xander lebih jauh.

"Bisakah kau tidak mengagetkanku Luxio?" desis Xander dengan menatap tajam ke arah Lux yang asyik menyesap secangkir darah.

"Siapa yang mengagetkanmu?" tanya Luxio. Alis tebalnya terangkat, membentuk raut heran.

Xander mengusap pelan wajahnya lalu tetap menatap tajam. "Kau!"

"Ah, jangan menatapku seperti itu. Rasa manisnya tak terasa lagi," keluh Luxio sedikit cemberut, mengundang gelengan pelan dari Xander.

Sedikit memperbaiki cara duduknya, Xander mulai memasang posisi serius. Ia masih tak habis pikir atas keputusan Luxio yang begitu mendadak atau disebutnya sebagai keputusan sepihak.

"Luxio," panggil pria itu yang kemudian disambut dehaman pelan dari sang empu.

"Sebenarnya apa alasanmu menyuruhku untuk menjaga perusahaan?" lanjutnya.

Hening. Luxio segera menghentikan acara minumnya. Setelahnya ia sedikit menyandarkan tubuh pada sofa merah nang empuk, berupaya mencari posisi nyaman untuk memulai topik yang sebenarnya ingin dihindari.

"Maksudku, kau tak berminat menyamar untuk menjadi anak remaja lagi, bukan? Usiamu sudah tua, Lux, dan kau terlalu jenius untuk anak-anak. Yah, walaupun wajahmu tetap mendukung," celoteh Xander lagi seraya bersidekap.

Lagi, Xander menggeleng pelan. Sikap acuh Luxio memang membuatnya tak habis pikir. Pun, dia selalu kehabisan kata-kata untuk menceramahi teman karibnya ini.

"Kau mendengarkanku kan, Luxio?"

Luxio kembali menyesap darah di cangkirnya hingga tetes terakhir. Ditaruhnya benda berwarna putih porselen itu di meja lalu mengubah raut wajahnya menjadi serius.

"Aku bertengkar dengan Reese, dan ingin menghilang sementara darinya. Kau tahu, dia begitu rumit. Sangat berbeda jauh dengan Luna."

Paham akan situasi, Xander memasang kedua telinganya demi mendapatkan kejelasan atas maksud dari Luxio.

Menurutnya, terlibat dalam urusan bisnis sudah cukup membuatnya pusing, apalagi sampai harus turut terseret masalah asmara Luxio. Sungguh, bukan ketertarikan dari pria awet muda tersebut.

"Aku memang berhasil menemukan Luna, oh, maksudku adalah reinkarnasinya. Dia berubah dan tak sama dalam wujudnya yang sekarang," lanjut Luxio dengan tatapan sendu.

FALSE : The BeginningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang