DREIZEHN

2.4K 240 1
                                        

Janji adalah janji.

***

Setelah tiga hari berada di Jerman, Selena tidak pernah berhasil menghubungi Edward. Seluruh surelnya tak pernah dibalas oleh pemuda itu. Pun, meski Selena berhasil mendapati Edward sedang aktif di salah satu media sosial, ia tak kunjung membalas sapaan Selena.

Letih. Selena mulai menyadari jika ia merasa kesepian. Seringkali ia mengecek ponsel dengam harapan jika Edward akan membalas salah satu pesannya.

Seperti hari ini, Selena hanya termangu ditemani Corra di sebuah kafe tak jauh dari kantor Xander berada. Oh, jangan lupakan sifat supel Selena yang mudah beradaptasi dengan teman baru. Jadi, wajar saja jika ia kini telah akrab dengan gadis berkulit putih pucat itu.

"Apa masih tak ada respon?" tanya Corra hati-hati dan mendapat gelengan pelan dari Selena.

Jujur saja, sebenarnya Corra merasa iba dengan kelakuan Selena. Terlebih melihat gadis di hadapannya itu seperti kalang kabut bagai anak ayam yang kehilangan induknya.

"Memangnya dia itu kekasihmu?"

Selena tertawa kecil. "Bukan. Dia itu teman kecilku, hanya saja aku sedikit heran kenapa dia tiba-tiba tak pernah menegurku lagi."

Kali ini Corra memasang kedua telinganya. "Lalu, sejak kapan dia tak pernah menegurmu lagi?"

Dahi Selena berkerut. Ia menggali ingatan tentang terakhir kali berinteraksi dengan Edward. "Kurasa sejak aku melakukan terapi pertama itu."

"Terapi?" Corra memajukan posisi duduknya, "terapi apa? Kau sakit?"

Selena menggeleng pelan. "Tidak. Itu hanya terapi untuk memperbaiki jadwal tidurku," jawabnya bohong.

Corra menopang wajahnya. "Memangnya jadwal tidurmu tidak teratur?"

"Ya, begitulah," balas Selena seraya tersenyum.

Corra mengembuskan napas pelan dan sedikit menurunkan intonasi. "Pasti itu adalah masa-masa yang sulit."

Selena tersenyum tipis. "Lumayan, tapi aku berhasil melewatinya."

"Syukurlah kalau begitu. Aku turut senang mendengarnya."

"Terima kasih," ucap Selena masih dengan tidak menghilangkan senyuman di wajah.

"Oh iya, di mana kakakmu?" lanjut Selena sedikit menoleh ke kiri dan kanan, "bukannya dia akan datang menjemputmu?"

Mendadak terserang panik, Corra merasa tetesan keringat mengucur perlahan dari dahinya. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab pertanyaan Selena.

Selain itu, salah Corra sendiri yang membual jika kakaknya akan menjemput. Padahal sudah jelas jika dia harus berteleportasi melalui jalan sepi di malam hari nanti ke suatu tempat.

"Y-ya, dia akan menjemputku tapi sedikit terlambat."

Selena menyesap pelan jus apel pesanannya. Ditiliknya sekilas ekspresi Corra lalu mengendikkan bahu. Gadis itu merasa jika Corra sedikit masih canggung dengannya.

"Kakakmu sering terlambat ya."

"Begitulah. Lagipula aku sudah terbiasa sendiri," balas Corra setengah gugup.

Tanpa disadari, Corra mulai meraih gelasnya. Ia meneguk minuman demi menghilangkan rasa gugup. Bukan, lebih tepatnya dari sikap ceplas-ceplosnya yang seringkali berbuah masalah.

"Kau mandiri sekali ya," puji Selena, membuat Corra tersedak.

"Astaga Corra!" Selena segera menyodorkan secangkir air mineral dan segera diteguk Corra hingga tandas.

FALSE : The BeginningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang