Maka sepandai-pandainya kau menyimpan rahasia, suatu saat akan terbongkar pada waktunya.
***
Sependar cahaya lamat-lamat merambat di sebuah ruangan. Memberikan penerangan kepada ruangan yang tampak gelap.
Di sana, seorang gadis tengah berbaring tak sadarkan diri. Tubuh berkulit pucat kini terbalut selimut tebal. Napasnya begitu teratur diselingi sedikit gerakan dari kepalanya.
Samar-samar setitik cahaya menyilaukan memaksa sepasang kelopak mata sang gadis untuk kembali terbuka dan menatap betapa indahnya dunia.
Gumaman pelan pun terdengar dari bibir gadis itu. Mendadak ia merasa tak nyaman kala kedua kelopak matanya terbuka. Serbuan cahaya terlalu menyakitkan netranya.
"Aku di mana?"
Suara gadis itu terdengar lemah. Pun kepalanya berdenyut-denyut. Tangan lemahnya menopang raga untuk disandarkan ke kepala tempat tidur.
"Kau sudah sadar, Reese?" tanya Devian lembut ketika memasuki kamar adiknya.
"Aku di mana?" Reese merepetisi kalimatnya. Kesadaran gadis itu belum sepenuhnya kembali setelah direnggut oleh bius dari Devian.
"Kau berada di kamarmu. Tadi aku membawamu ke sini karena kau pingsan. Apa kau sudah makan?" tanya Devian lembut.
Reese menggeleng pelan. "Tidak, aku hanya minum darah saat ke ...."
Perkataan Reese mendadak berhenti. Ia merasa ganjil. Ada sesuatu yang salah pada dirinya.
"Ke mana?" pertegas Devian dengan nada penasaran.
Reese menggeleng lemah. "Tidak. Bukan sesuatu yang penting."
Devian menyipitkan matanya. Pemuda itu merasa sangsi dengan perilaku Reese. Gadis itu seolah-olah menutupi sesuatu darinya. Bukan, lebih tepatnya jika Reese tak pernah menyembunyikan sebuah rahasia padanya, sekalipun rencana untuk menghentikan lawannya.
"Kau yakin itu bukan sesuatu yang penting?"
Reese mengangguk. Sebuah senyuman terbit di wajahnya. Meski tipis, namun Devian dapat menangkap sarat berupa ketulusan dari wajah adiknya.
"Apa yang kau sembunyikan dariku, Reese?"
Devian terus memikirkan berbagai kemungkinan. Pemuda itu lupa untuk memberikan cangkir di nampan yang dibawanya. Terus saja ia berdiri tanpa ada pergerakan.
"Jadi, kau ingin memberikannya atau tidak?"
Reese menatap ke arah Devian, membuyarkan lamunan sang kakak yang berjengit kaget. Gadis itu sekarang telah kembali mimik wajahnya. Ia tersenyum miring seraya menatap lurus ke arah Devian.
"Astaga," Devian segera menghampiri Reese, "ini darah golongan darah B favoritmu. Agar kau tampak lebih segar."
Tangan lemah Reese segera meraih gelas tersebut. Disesapnya perlahan darah itu hingga tandas. Lalu diletakannya di atas nakas, dekat tempat tidurnya.
Setelah meminum darah, tubuh gadis itu berangsur segar. Maniknya yang berwarna merah mulai berubah kembali menjadi biru. Kulitnya pun tampak lebih kencang dibandingkan sebelukmnya.
"Aku rasa, aku akan cepat menua jika tak segera mendapatkan gadis itu," canda Reese yang membuat Devian turut serta terkekeh.
"Tenang saja, kita pasti akan mendapatkannya. Mulai hari ini, mari kita bekerjasama untuk mendapatkannya. Demi klan kita."
Reese menyeringai. "Tentu saja, demi klan kita."
***
Setelah cukup lama menunggu Corra yang tak kunjung kembali dari toilet, Selena mulai dihinggapi rasa bosan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FALSE : The Beginning
FantasySelena tak pernah menyangka jika kalung yang selama ini diberikan sang ibu justru membawanya kembali bertemu dengan sosok-sosok yang berpengaruh atas kehidupannya di masa lampau. Gadis itu terus dihantui mimpi buruk yang membuatnya bertanda tanya me...