Apa yang terlihat sejatinya belum tentu sama dengan apa yang terjadi. Sesuatu bisa saja membunuhmu sekalipun kau menganggapnya tidak.
***
A
urora menatap lurus ke arah hutan belantara. Netranya yang berwarna merah begitu menjurus kepada gelapnya hutan tersebut. Napasnya yang terdengar masih terengah-engah begitu kentara di antara semilir angin.
Tubuhnya berdiri tegap menantang kulit putih nan pucatnya untuk diterpa hembusan angin yang begitu deras. Pikirannya melalangbuana. Bagai akar yang bercabang ke arah manapun, Aurora terus mencoba mengenyahkan kecerobohannya hari ini dan berharap dapat segera hilang terbawa angin di sore itu.
Pun, hamparan dedaunan ditambah bunyi gemericik air semakin menciptakan suasana hening. Begitu berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang masih meletup-letup. Ya, untuk pertama kalinya, Aurora merasa tak berhati-hati dalam bertindak. Ia tak memikirkan segala konsekuensi yang ada, terutama kehadiran Luxio, oh atau dia lebih suka menyebutnya dengan nama 'Aldric'.
Sesekali rambutnya yang tergerai bebas berkibar dan menutupi wajahnya. Bahkan seolah tak peduli, Aurora semakin ditenggelamkan dalam pikirannya. Melupakan segala apa yang terjadi di sekitarnya dan berfokus kepada penyusunan ulang rencana.
"Kenapa aku tidak berpikir untuk memperhatikan keadaan?" gerutunya dalam hati.
Aurora mengembuskan napas kasar. Tangannya terkepal sempurna menahan setiap umpatan beserta gerutuan dari dalam sel abu-abunya. Untuk pertama kalinya, gadis itu gagal dalam membunuh seorang manusia.
"Seharusnya aku tidak gegabah dan memikirkan segala kemungkinan. Tapi, bodohnya aku dengan sengaja keluar dan menyerangnya secara bar-bar."
Terus saja pikiran Aurora berkelana. Ia tak segan-segan mengabaikan bunyi alas sepatu yang bersentuhan dengan jembatan kayu menuju tempatnya berada.
Kali ini rasanya ia ingin mengumpat melalui bibir merah muda nan merona itu. Seharusnya pengawasan gadis itu selama bertahun-tahun mampu membuat targetnya mati.
"Ah, sial, dia tak kuperhitungkan sebelumnya!" teriak Aurora seraya mengacak rambutnya yang kusut akibat terpaan angin.
"Kau sudah memperhitungkannya dengan baik, hanya saja memang keberuntungan belum berpihak kepada kita," tutur sosok di belakang Aurora.
Mendengar sahutan, telinga Aurora tergelitik. Ia mengenali suara itu! Suara yang telah lama menjadi kesehariannya kala berkomunikasi walau hanya sebatas melalui ponsel.
"Jangan bilang itu adalah ...."
Perlahan tubuhnya berbalik. Harapannya atas siapa sosok di belakangnya semakin membuncah seiring matanya yang terbelalak kala menatap seorang pemuda yang tengah berdiri tepat tiga meter di belakangnya.
"... Devian."
Pemuda itu menggunakan kemeja berwarna hitam dengan celana denim. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.
Devian tersenyum, begitupun dengan Aurora. Kedua mitra itu saling mendekat dan berpelukan. Mereka meleburkan rindu yang selama ini telah terpendam. Rindu yang terus saja menyiksa tanpa mengenal rasa lelah. Rindu yang jelas-jelas membuat kedua insan vampire itu berpisah.
"Apa kabar?" tanya Devian seraya melepaskan pelukan. Ia menatap dalam-dalam ke arah netra gadis dalam pelukannya.
"Aku baik. Bagaimana denganmu?" tanya Aurora lembut. Sorot matanya sarat akan kesedihan mendalam.

KAMU SEDANG MEMBACA
FALSE : The Beginning
FantasiaSelena tak pernah menyangka jika kalung yang selama ini diberikan sang ibu justru membawanya kembali bertemu dengan sosok-sosok yang berpengaruh atas kehidupannya di masa lampau. Gadis itu terus dihantui mimpi buruk yang membuatnya bertanda tanya me...