SIEBEN

3.1K 316 2
                                        

Berceritalah di kala kau sudah siap. Jangan memaksakan diri karena manusia butuh waktu tenang sebelum bercerita.

***

Hingga kelulusan sekolah menengah pertama, Selena terus menjalani terapi. Kali ini ia tak lagi ditemani Edward sejak pemuda itu memutuskan untuk pindah ke Jerman.

Edward tak pernah lagi mengabarinya. Pun saat pindah, tak ada salam perpisahan di antara keduanya seolah memang pemuda itu menghindari Selena.

Selena sendiri. Ia merasa kesepian, bahkan kini tidak mempunyai teman cerita seperti saat bersama Edward dulu.

Selena rindu tapi terasa malu untuk mengutarakan lebih dulu kepada Edward. Bagaimana mungkin seorang perempuan berucap rindu kepada lelaki yang bahkan bukan miliknya?

Selain itu, Selena sering kedapatan melamun di sela-sela kesibukannya. Namun, lagi, ia selalu mengatakan kepada Blaire jika hanya memikirkan tugas yang menumpuk.

"Apa yang kau pikirkan, Nak?" tanya Blaire lembut seraya menepuk pundak anaknya.

"Hanya tugas, Mom. Tidak lebih."

Blaire mengembuskan napas pelan. "Jangan membohongiku, Nak. Mom lebih berpengalaman dalam membaca gelagatmu."

Selena tertunduk. Helaian rambutnya kini menutupi wajahnya yang rupawan. Ditambah lagi tatapannya berubah sendu seakan menahan kesedihan.

Memang, Selena tak pernah pandai berbohong di depan ibunya. Karena Blaire akan terus mengajak putrinya berbicara hingga Selena angkat bicara.

"Maafkan aku, Mom," lirihnya pelan.

Setetes cairan bening perlahan mengalir dari pelupuknya hingga cepat-cepat Selena menghapus air matanya.

"Mom tidak akan memaksamu, Selena," Blaire mengelus pelan surai putrinya, "karena Mom tahu untuk berkata jujur terlalu sulit. Ceritakanlah ketika kau merasa sudah lebih baik."

Selena terisak. Bulir air mata keluar dari peraduan. Meski terdengar pilu, gadis itu berupaya tetap menangis dalam diam.

"Menangislah. Bukan sebuah masalah yang besar jika kau belum berhasil menyelesaikan masalah. Adakalanya manusia perlu waktu untuk mencari solusi."

"Aku merindukan Edward, Mom." Suara gadis itu terdengar parau di sela-sela isakannya.

"Kenapa kau tak menghubunginya?"

"Sudah, tapi dia tak pernah mau menjawab telepon bahkan membalas pesanku."

"Mom yakin dia sedang sibuk atau kau ingin kita mengunjunginya di Jerman? Sekaligus bertemu Dad."

Mendengar tawaran Blaire, pelan-pelan Selena menaikkan pandangannya. Ditatapnya sang ibu yang kini tengah tersenyum ke arahnya.

"Apa tak apa, Mom?" tanya Selena ragu.

Sungguh, Selena sangat ingin bertemu dengan dua orang yang dikasihinya, tetapi dia terlalu takut jika salah satu terlampau sibuk hingga akhirnya tak mampu bersua. Selain itu, dia juga takut jika Blaire harus membuka tabungan yang dikirimkan oleh ayahnya. Bagaimanapun, kiriman dari ayahnya juga harus disisihkan demi masa depan Selena.

Terkekeh. "Bukan masalah. Karena Mom juga sebenarnya butuh liburan," ucap Blaire santai.

"Tapi pekerjaanmu?"

"Aku bisa meminta temanku untuk berjaga menggantikan jadwalku," Blaire merogoh kantongnya, "sebentar. Aku akan menghubungi Devian terlebih dahulu."

FALSE : The BeginningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang