DREIUNDZWANZIG

1.8K 170 2
                                    

Menangislah jika itu perlu. Tak perlu malu apalagi risau. Luapkanlah segala amarah di dalam hatimu jika itu mampu melegakan hatimu.

***

Setelah mengakui jika Selena mampu mengingat dengan jelas setiap detail kejadian yang terjadi di masa lalu, lidah gadis itu mendadak kelu. Ia terlalu sulit untuk bersuara hingga memilih bungkam sebagai solusi atas gejolak perasaanya pada hari ini.

Gadis itu hanya merespon setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh Edward dengan anggukan ataupun gelengan. Sejujurnya, ia sudah cukup letih menahan segala rahasia ini. Pun, seolah Dewi Fortuna tak berpihak kepadanya hingga detik ini, Selena terus menyalahkan diri atas setiap hal yang terjadi. Apalagi ketika Edward menuturkan segala informasi yang dia ketahui mengenai asal-muasal kematiannya di masa lalu.

"Aku belum sepenuhnya yakin jika ini terjadi karena itu saja. Pasti ada alasan lain yang membuat mereka begitu mengincarmu," jelas Edward seraya mendekap erat tubuh Selena ke dalam pelukan.

"Tapi apa?" tanya Selena di sela-sela isakan kecil yang keluar dari bibirnya.

Hari ini Selena benar-benar ingin menyerah. Ia sudah cukup sabar ketika menjadi bulan-bulanan Colton bersaudara itu. Kini harus menghadapi kenyataan yang sama untuk kedua kali, bahkan di hidupnya yang sekarang pun ia tak pernah mengetahui jika Jasper yang selama ini selalu bersama mereka adalah Aldric, kekasihnya dulu.

Jika diingat, gadis itu hanya sesekali berinteraksi dengan Jasper karena pemuda itu begitu misterius di hadapannya. Ditambah lagi, sikap anehnya saat berdekatan dengan Selena benar-benar membuat orang lain akan memandang heran dengan perilakunya.

"Hai!" sapa Jasper ketika melihat Selena dan Edward berkebun untuk menanam bunga.

Kedua anak muda itu lantas menoleh ke sumber suara yang berasal dari seorang pemuda yang tampak begitu pucat kala terpapar cahaya sang mentari.

"Kau siapa?" tanya Selena bingung. Selama ia tinggal di sini, ia tak pernah merasa familiar dengan wajah pemuda di hadapannya.

"Aku, Jasper," sebut pemuda itu dengan tangan yang terulur seakan tak peduli jika akan terkena tanah dari Selena.

Dengan ramah, Selena menyambut uluran tangan dari Jasper. Gadis itu tersenyum kikuk dengan sesekali melirik ke arah Edward yang tampak menatap serius ke arah Jasper. "Namaku, Selena, dan itu temanku yang bernama Edward."

Pemuda bernama Jasper itu tersenyum tipis. Ia melirik ke arah Edward yang kini melemparkan tatapan tajam ke arahnya. Entah mengapa, pemuda berkulit pucat itu merasa risih dengan perilaku Edward. Apalagi kedua netra sahabat Selena itu terus bergerak dari atas ke bawah seakan menelanjangi tubuh Jasper. Namun, Jasper berusaha untuk tetap tenang sekalipun suasana mulai mendadak kikuk.

Sementara itu, Selena yang menunggu respon Edward akhirnya mulai gemas sendiri. Gadis itu menyikut pelan sahabat kecilnya itu agar tersadar atas perilaku yang dilakukannya.

"Edward," bisiknya pelan.

Mendengar panggilan dari Selena, sontak sang pemilik nama menoleh ke arah gadis itu. Bahkan kini Selena tampak menyeramkan dengan senyuman mematikan dengan sesekali mendelik ke arahnya.

Dengan perasaan canggung, Edward mengulurkan tangannya ke arah Jasper dan berjabat tangan dengannya. "Halo, senang mengenalmu!"

Melihat keduanya berjabat tangan, Selena tersenyum puas. Gadis itu kemudian mengajak Jasper untuk turut serta bergabung dengan keduanya.

Beberapa menit awal begitu kentara atmosfer canggung meliputi ketiganya, lama-kelamaan suasana hangat mulai menelusup masuk untuk memecah tawa canggung dari bibir-bibir seksi milik ketiga insan itu. Meskipun tanpa disadari Selena, sesekali Edward memicingkan mata ke arah Jasper. Ia bertekad untuk mengawasi gerak-gerik Jasper yang tampak mencurigakan.

Di lain hari, Jasper semakin menunjukkan perilaku aneh. Pemuda itu hanya akan menemui mereka ketika petang datang menjelang malam. Bahkan di dalam beberapa kesempatan, Edward tak sengaja bersentuhan dengan kulit Jasper. Kulit yang begitu dingin dibandingkan manusia pada umumnya apalagi Jasper seringkali minim interaksi dengan keduanya. Seakan-akan Jasper hanya pengamat atas perilaku keduanya, tidak, lebih tepatnya adalah perilaku Selena. Ini turut pula dibuktikan dengan Selena yang sering menangkap basah Jasper yang tengah memandangnya dengan senyum tipis.

Terus-menerus interaksi itu terjadi hingga akhirnya Jasper menghilang tanpa kabar bersamaan dengan kepindahan Edward.

Selena menggeleng pelan.

Selama ini ia tak pernah menyadari jika kekasihnya dari masa lalu kembali muncul dan berinteraksi dengannya. Namun, apakah itu salahnya? Saat itu ia benar-benar tidak tahu apa-apa. Mengenali wajah Aldric saja tidak apalagi sampai berpikir untuk merebutnya sekalipun perasaannya tak pernah berubah untuk pemuda vampire itu. Sungguh, hari ini dunia terasa begitu kejam memainkan perasaan gadis itu.

Selena kembali terisak pelan hingga bahunya bergetar. Kedua tangannya menutup wajahnya yang sembab hingga tanpa sadar kepalanya bersandar di dada bidang Edward. Pemuda itu mengelus pelan surai Selena yang tampak berantakan.

"Tak apa-apa. Menangislah," ucap pemuda berkebangsaan elf itu lembut.

Edward benar-benar memberikan kesempatan kepada Selena untuk menumpahkan segala air mata yang selama ini ditahan gadis itu. Dalam kesunyian, pikiran pemuda itu melalangbuana. Ia menyumpahi dirinya sendiri karena tak bersama Selena saat teman bermainnya itu perlahan mengingat kenangan di masa lalu sebagai seorang Luna.

Diam-diam, dahulu--tanpa sepengetahuan Selena--pemuda itu terus mengawasinya. Ia tetap begitu khawatir dengan keadaan Selena setelah menelusuri kehidupan masa lalu Selena sebagai seorang gadis bernama Luna. Apalagi saat ia mendapati Reese akan memasuki rumah sahabatnya itu. Buru-buru Edward menyamar dan menghampiri Reese. Ia mengacaukan konsentrasi gadis vampire itu sehingga mengakibatkan sedikit perseteruan di antara keduanya. Namun malang, tanpa sepengetahuan Edward, ternyata ada vampire lain yang berhasil menyusup dan memberikan ancaman kepada Selena sehingga membuat gadis itu tertekan beberapa saat sebelum keberangkatannya ke Jerman.

Edward menghirup napas dalam-dalam dan kembali melanjutkan, "Menangis bukan suatu hal yang memalukan. Lakukanlah selama itu membuatmu lega."

Selena semakin mengencangkan suara tangisnya. Jerit pilu yang selama ini tertahan akhirnya terdengar keras. Selena letih menanggung semua ingatan dari masa lalunya. Lebih-lebih setelah ia menyadari jika perasaanya terhadap kekasih dari masa lalunya tak kunjung hilang.

Ia merindukan saat-saat bersama kekasihnya dari masa lalu itu apalagi saat semua kenangan itu terputar bagai sebuah kaset film di dalam mimpinya.

Gadis itu mengakui jika dia hanya seorang manusia biasa. Sama seperti saat di kehidupan dua ratus tahun lalu, ia hanya seorang gadis bukan keturunan bangsawan yang tak sengaja jatuh cinta dengan seorang pemuda berkulit pucat nan dingin. Saat itu—ketika ia bernama Luna—Selena hanya terpikat dan menjalani segalanya dengan langkah riang, tanpa tahu jika ternyata ada gadis lain yang berupaya menghancurkan hidupnya demi mendapatkan hati seorang pemuda bernama Aldrico Jasper de Luxio.

Selena benar-benar ikhlas ketika harus mendapati kenyataan jika ia harus mati di tangan musuhnya dulu. Tapi, sekarang? Dunia kembali menghakiminya meski fakta menjelaskan bahwa ia tak pernah menjalin hubungan asmara dengan pemuda itu.

Bukankah terasa tak adil untuk hidup yang telah dipilihnya sebelum terlahir kembali ke dunia?

[To Be Continued]

Happy reading dan sebentar lagi tamat!

Jangan lupa vote setelah membaca ya yorobun. Mwah.

Salam,

Halfdeviangel

FALSE : The BeginningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang