Seorang adik tidak boleh bermanja terus dengan kakaknya. Karena masing-masing memiliki kehidupan yang harus dijalani.
***
"Kau mau melakukan terapi?"
Edward menopang wajahnya. Ia menatap bingung ke arah Selena yang mengangguk mantap.
"Tapi kenapa?"
Menghela napas. Pandangan Selena mendadak intens ke arah sahabatnya itu. "Aku lelah bermimpi buruk terus. Aku ingin menghilangkannya."
Edward memijat pelipisnya pelan. Ia tak habis pikir dengan keputusan Selena. Bagaimanapun melakukan terapi tidak bisa langsung sekali sembuh. Selena harus rutin untuk menghilangkan mimpi buruknya itu.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan menemanimu," final Edward seraya tersenyum ke arah Selena.
"Kau tak perlu menemaniku," elak Selena, "aku ingin melakukannya sendiri."
Sebelah alis Edward mendadak terangkat. "Kenapa?"
Selena membenahi sedikit posisi duduknya. Gadis itu kembali menampakkan mimik serius. "Karena aku tak ingin merepotkan siapapun."
Hening. Edward mencondongkan tubuh ke arah Selena walaupun terhalang oleh sebuah meja bundar di antara mereka.
Lamat-lamat, tangan kanannya menyentuh pelan punggung tangan Selena. Ditatapnya penuh kesungguhan sembari menggenggam penuh kelembutan. "Dengarkan aku, Selena. Kau tak pernah merepotkan. Dari dulu aku selalu ingin melindungimu, terlebih orang tuamu mempercayakan aku untuk menjagamu. Jadi, kumohon, biarkan aku menemanimu."
Mendadak gugup, Selena menundukkan pandangan. Kini lidahnya terasa kelu untuk membalas pernyataan Edward. Bukan karena jantung gadis mendadak berdetak tak karuan, tetapi sesuatu yang salah kini menyelimuti hatinya. Pun, ini adalah sesuatu yang harus segera dienyahkannya.
"Selena?" panggil Edward lembut.
Meneguk saliva perlahan, gadis itu bergerak menatap balik ke arah Edward. Dengan gugupnya, gadis itu menarik paksa kedua ujung bibirnya ke atas. Membentuk sebuah lengkungan manis demi menutupi perasaannya.
"Apa kau tak apa-apa?" Edward terus menggenggam tangan Selena. Ia seolah melupakan jika tangan gadis di hadapannya telah gemetar dan berkeringat dingin.
"Aku tak apa-apa. Sungguh," ucap Selena yakin.
Sejenak, Selena meraup oksigen di sekitarnya lalu kembali angkat bicara. "Edward, terima kasih telah peduli tapi aku tak ingin merepotkanmu. Aku benar-benar ingin menyelesaikannya sendiri. Lagipula ini tak membahayakan nyawaku."
"Tapi kan," sergah Edward dengan sedikit menurunkan intonasi, "kau sudah seperti adikku."
Selena menarik pelan tangannya dari genggaman Edward. "Seorang adik tidak boleh terus bermanja dengan kakaknya, bukan? Walaupun kita seumuran, tapi kau juga punya kehidupan untuk dijalani."
Entah mengapa, Edward merasa jika waktu kini bergerak lambat seiring ucapan yang dilontarkan Selena. Seolah ditampar telak oleh kenyataan, kini lelaki bersurai coklat akibat pantulan cahaya matahari itu mendadak diam. Lidahnya seolah bertulang sehingga ia tak mampu membalas ucapan Selena.
Walaupun di satu sisi apa yang diucapkan Selena adalah sebuah kebenaran, tetapi Edward tak dapat memungkiri rasa tanggungjawabnya. Ya, ia selalu mengganggap jika pesan ayah Selena adalah sesuatu yang harus dijalankan. Amanah tetaplah sebuah amanah, bukan?
Dengan sekuat tenaga, Edward memberanikan diri. Ia menghirup pelan udara, kemudian menatap penuh keyakinan ke arah Selena. "Kau benar. Meski ayahmu telah menitipkanmu kepadaku, tetap saja aku memiliki kehidupan yang harus kujalani," ucapnya diplomatis.

KAMU SEDANG MEMBACA
FALSE : The Beginning
FantasiSelena tak pernah menyangka jika kalung yang selama ini diberikan sang ibu justru membawanya kembali bertemu dengan sosok-sosok yang berpengaruh atas kehidupannya di masa lampau. Gadis itu terus dihantui mimpi buruk yang membuatnya bertanda tanya me...