33

34 3 0
                                    


-Selamat membaca-

Sam pov...

Aku membuka mataku pelan, perlahan tapi pasti. Kuhirup aroma rumah sakit di indra penciumanku, ku arahkan pandanganku pada tangan kanan yang lemas sudah terpasang infus. Aku merasakan sakit di kepalaku lalu aku pun memegangnya, perban sudah terbalur melingkar di kepalaku. Aku melihat jam dinding, apa ini jam 12 malam atau jam 12 siang? Tanyaku dalam hati. Seketika aku melihat dua orang sedang tertidur di sofa, satu di kanan dan satu di kiri dengan jarak yang berjauhan.

Astaga.

Daff sudah tertidur pulas masih dengan kemeja dan celana panjang yang ia kenakan tadi. Ia tertidur dengan posisi duduk kemudian kedua tangan terlipat di dadanya.

Aku melirik sofa sebelah kanan.

Aku ingat.

Sheela.

Kau ada disini? Menungguku? Bahkan hingga kau tertidur dan menginap di rumah sakit ini. Ingin rasanya aku menghampirinya, berbisik dan berterimakasih padanya. Walaupun ia belum menjadi istriku tapi ia sudah rela melakukan ini padaku. Menungguku di rumah sakit, bahkan benih-benih cinta belum muncul diantara kami. Tapi, bagiku.. kau.. mengagumkan.

Aku pun tidur kembali.

*****

Esok hari.
Aku membuka mataku, Sheela adalah hal pertama yang ada di pandanganku. Ia tersenyum padaku, hatiku bahagia melihat senyum ketulusannya. Sungguh aku bahagia melihatnya dipagi ini.

"Sam, apa yang kau rasakan sekarang?" tanyanya membuyarkan lamunanku.

"A.. aku baik Sheel, maaf, aku tidak bermaksud memberi harapan palsu padamu, percayalah. A.. aku sudah bersiap untuk m..."

"Sstthh jangan pikirkan itu dulu Sam, yang terpenting sekarang adalah kesembuhanmu. Aku mengerti dan begitupun ibu, sudah kuberitau" ucap lembutnya menenangkan hatiku. Awalnya aku takut ia akan marah dan menganggapku berbohong soal lamaran itu.

Aku mengangguk pelan "terimakasih kau sudah mengerti" ucapku pelan. "Mana Daff?" ucapku kembali.

"Daff sudah pulang jam 4 pagi, ia menitipkanmu padaku, ia harus pergi bekerja hari ini. Tenang saja, anggap saja aku pengganti Daff. Apapun keperluanmu, katakan padaku. Aku akan membantu semampuku"

Aku refleks memegang tangannya yang sedang memegang sisi tempat tidurku. Sontak membuatnya menarik tangannya dan berkata "Sam, kau belum menjadi suamiku" ucapnya menyadarkanku. Aku sadar, aku baru saja menjadi seorang mualaf. Dan ini salah satunya, aku tidak boleh bersentuhan dengan wanita selain yang halal bagiku. Aku masih terbiasa sesuka hati dengan seorang wanita, maksudku aku biasa memegang tangan seorang wanita kapanpun aku inginkan. Tidak terkecuali Kay, cinta pertamaku sekaligus cinta yang menyakitkan bagiku.

"M...maaff aku tidak bermaksud" ucapku kemudian beralih fokus pada jam dinding. Ini sudah waktunya sarapan, apa tidak ada suster yang membawakan makanan pagi.

Sheela tersenyum "tak apa, kau masih belajar" "apa kau sudah lapar? Mungkin sebentar lagi suster akan membawakan makanan untukmu" ucapnya seakan ia mengetahui apa yang ada di dalam hatiku tadi.

Dan benar saja, suster itu datang. Membawa makanan lengkap dengan obat.

Suster itu tersenyum "permisi pak, ini sarapannya. Habiskan ya, begitupun obatnya, ini diminum sesudah makan, yang teratur ya minum obatnya" ucap suster itu menjelaskan pada Sheela.

Sheela mengangguk cepat karena mengerti.

Suster itupun berlalu.

"Apa kau bisa coba duduk di tempat tidurmu itu? Ayolah, coba untuk duduk, agar makanmu lebih terasa nyaman" ucapnya membuatku tersenyum simpul.

Aku mengangguk "baiklah, akan kucoba" aku kemudian bangun dari posisi tidurku, dan beralih pada posisi duduk. Lebih baik, walaupun aku masih merasakan sakit kepala. Makanan sudah dihadapanku, aku menggerakan tangan kanan ku yang sedang diselangi infus. Aku tidak bisa makan dengan tangan kananku yang seperti ini, jadi aku berniat makan dengan tangan kiriku saja.

Saat aku mengambil sendok dengan tangan kiriku, Sheela mencegahnya "tunggu, kau hanya boleh makan dengan tangan kananmu" ucapnya membuatku bingung. Ya memang biasanya aku makan dengan tangan kanan tapi melihat tangan kananku seperti ini aku memiliki ide untuk makan dengan tangan kiriku yang masih normal.

Ia kemudian mengambil alih sendok yang ada di tangan kiriku "biar aku yang menyuapkan makanannya padamu" ucapnya membuat tenggorokanku sedikit tercekat.

"A.. apa? Aku tidak pernah makan dengan tangan seorang wanita" batinku.

Namun, apa boleh buat. Ternyata ia jauh lebih mengerti tentang kondisiku dibanding diriku sendiri.

Ia menyuapiku.

Bulat.

Keputusanku sudah bulat.

Aku ingin segera memilikinya seutuhnya.

Ceklek. Suara pintu terbuka, aku dan Sheela pun langsung melihat kearah pintu itu. Kay, sudah berdiri diambang pintu, dengan jas dokternya ia menghampiriku dan membawa buah-buahan di tangannya.

Kita sama-sama terdiam, bagaimana bisa ia tau jika aku kecelakaan? Pasti Daff yang memberitahu, tidak salah lagi.

"Kamu jahat Sam!!" Ucap Kay dengan air mata yang sudah berlinang dimatanya. Lalu menutup kembali pintu kamarku.

Ucapannya barusan membuatku melongo, apa maksudnya berbicara seperti itu? Dia bilang aku jahat? Aku tersenyum sinis dibuatnya, hubunganku dengannya sudah berakhir dan untuk apa ia datang kembali menemui bahkan menjengukku disaat Sheela bersamaku. Aku langsung menatap Sheela yang sudah menghentikan suapannya dari tadi.

Wajahnya pucat, datar, kemudian ia menyimpan bubur itu disampingku.

Aku menatapnya "Sheel.. aku bisa jelaskan, jangan salah paham" ucapku padanya yang kini hanya diam terpaku.

Ia menatap tajam kearahku "apa maksudmu ingin melamar lalu menikahiku sedangkan kau sendiri sudah mempunyai kekasih?"

"Ti... tidak bukan seperti itu Sheel, aku dan dia sudah berpisah sudah tidak ada hubungan lagi diantara kita maka dari itu aku berani melamarmu, sungguh. Percayalah". Jawabku dengan tatapan penuh harapan padanya berharap ia percaya denganku.

"Jika dia tidak mencintaimu dia tidak mungkin mengeluarkan air matanya ketika melihatku menyuapimu tadi"

"Dengarlah, jika aku mencintainya aku tidak akan berniat melamarmu. Dan kenyataannya? Aku berniat melamarmu dan aku ingin menjadikanmu istriku. Aku bukan lelaki brengsek yang jika sudah ada satu wanita dengan mudahnya mencari wanita lain, percayalah Sheel, aku tidak meragukanmu sedikitpun. Rasa cintaku padanya sudah hilang tergantikan oleh rasa sakitku padanya" ucapku berusaha meyakinkannya.

"T..tii"

"Ya, iya Sheel. Iya. Iya benar, benar jika wanita dihadapanku sekarang adalah wanita pilihan hatiku"

Air matanya terjatuh. Ini sudah kedua kalinya aku melihat ia menangis, pertama aku melihatnya menangis saat ibunya sedang sakit dan kedua sekarang, detik ini, aku melihatnya menangis karenaku. Tidak, ia tidak menangis karena kesedihan. Aku yakin ia menangis karena ucapanku barusan padanya. Mengapa ia sampai menangis hanya karena ucapanku? Apakah ada yang salah dengan ucapanku? Jika memang salah, setidaknya aku sudah bicara jujur padanya. Apa adanya dan tidak dibuat-buat.

Bersambung.

Terimakasih 😊

Those Three Little WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang