Kita ini layaknya sepasang sepatu. Kamu untuk kaki kanan, saya untuk kaki kiri. Kaki kanan melangkah, kaki kiri diam. Tidak mungkin jika dua-duanya melangkah maju.
Tidak pernah sama tapi saling melengkapi.---------
Nasha dan Arya makan di Rumah makan padang langganan Arya. Meski badan Nasha kecil, tapi asupan yang dimakan cukup banyak."Jangan nyesel yah traktir aku," ujar Nasha.
Baru saja Nasha akan memasukan sesuap nasi ke dalam mulutnya, Arya memukul pelan tangan Nasha sampai nasi itu kembali jatuh ke piring.
Nasha menatap kesal, "Buru-buru amat, baca doa dulu ngapa. Gak bakalan ada yang nyuri ini," kata Arya.
Nasha tersenyum, dia lupa membaca doa-nya. Mulutnya komat kamit, baru lah Nasha makan dengan khidmat. Obrolan mereka terus berlanjut sampai di parkiran. Banyak yang mereka bicarakan. Mulai dari online shop Nasha, bisnis kuliner Nasha, dan beberapa bisnis milik Nasha. Tidak lupa juga karir Arya.
"Lain kali kita bisnis bareng, oke?" kata Arya."Siap selalu."
"Kamu lain kali yang teraktir," Arya membuka pintu mobilnya. "Yasudah saya duluan, Assal'amualaikum."
Nasha melajukan mobil miliknya sambil mendengar 'kan lagu di radio. Kakinya menginjak pedal gas. Melajukan dengan kecepatan tinggi. Nasha termasuk wanita yang aktif, bergerak kesana kemari. Dia sedikit tomboy. Mungkin itu disebab 'kan pergaulannya dengan saudara-saudaranya yang notaben laki-laki. Mengendarai mobil dan motor dalam kecepatan tinggi di ajarkan oleh kakak-nya, Nidha. Yang waktu itu selalu mengajak Nasha bandel.
Hampir saja Nasha menabrak Nano yang baru akan keluar dari rumah Nasha. "Tabrak ayo tabrak!" kesal Nano. Nasha memperlihatkan senyuman tanpa dosa miliknya.
Nasha keluar dari mobilnya. Menghampiri Nano, Nasha menangkup kedua tangannya di pipi Nano. "Auh, keponakan aku. Maaf yah,"
Nano menepis tangan Nasha. "Awas tuh mobil ngalangin jalan." dengan nada kesalnya.
"Sensi, PMS yah?" canda Nasha. Nano menatapnya tajam, "Iya.. Mau parkir kok. Eh mau kemana lu?"
Nano mendecih sebal, "Tes masuk perguruan tinggi."
Sudah beberapa hari ini Nasha bermalam di rumah ibunya. Tiap hari dia keluar dengan Nano. Entah hanya untuk jajan basreng atau sekedar makan angin.
"Kamu itu tiap hari main mulu. Kayak yang belum punya suami. Suami kamu pergi kamu juga pergi." ibu Nani selalu menegurnya.
"Kan pekerjaan Nabil kayak gitu, bu. Aku bosen di rumah mulu. Aku keluar di ajak si Nano, dia ketemuan sama cewek." Nasha mencoba mencari alasan.
"Idih, enggak nek. Bohong teh nanas mah." Nano yang saat itu tengah makan seblak di meja ikut protes.
"Dosa bohong lu, No."
"Main cewek bilangin sama bapak kamu, biar di nikah-in sekalian." kini Ibu Nani ikut memberi ancaman. Nano diam tak bergeming.
"Mantap!" seru Nasha.
"Ibu, teh Nanas juga matanya bandel. Mending Nano masih sendiri, masih muda. Ini teh Nanas udah nikah liat yang ganteng aja matanya duhh. Temen kuliah Nano aja sampe di baperin," Nano mengadu dia tidak terima jika merasa disudut 'kan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Love is on Paper
General FictionNasha yang terbiasa hidup bebas kesana kemari berkeliling Indonesia karena hobi jalan-jalannya ternyata diam-diam dijodohkan. Mengetahui hal itu jelas Nasha menolaknya toh dia belum tertarik dengan pernikahan, Nasha juga berpikir hal itu akan membat...