Part 41 - Kedatangan Rasya

18K 848 31
                                    

Hari demi hari berlalu tidak membuat rasa ini terkikis. Mungkin kesalahan ku dulu, mematri nama mu dan menyimpannya di dasar hati.

•••


Nabil memasuki apartemen, di lihatnya apartemen yang kosong. Tapi tirai ke arah balkon terbuka. Sudah bisa di tebak siapa yang ada disana. Benar saja, Nasha tengah berdiri dengan tangan yang memegang pagar pembatas balkon.

"Hey! "

"Eh.. Maaf aku gak denger," kata Nasha kemudian melepas headset yang terpasang di kedua telinganya.

"Dengerin lagu apa sih? Sampe gak kedengeran aku datang. Gimana coba kalo yang datang orang jahat."

Nasha terkekeh, kemudian dia berkata. "Berarti itu takdir aku... Oh, iya. Kamu kemana aja, Ar? Kok lama banget."

Nabil mengangkat kedua alisnya sekilas, bingung harus menjawab apa. Apa harus dia berbohong lagi. "Aku nungguin kamu, mau minta izin pergi," ucap Nasha.

Nabil bernafas lega, dia tidak perlu berbohong. "Mau kemana emang? "

"Maida ngajak beli pizza, tapi kita mau nongkrong di studio Alan. Mau minta dia bayarin."

"Maidanya mana?"

"Udah duluan."

"Kalo aku gak ngasih izin?" kata Nabil dengan nada dinginnya.

Nasha menekuk wajahnya, semangatnya hilang. "Ya.. Berarti aku gak pergi. Aku malam mingguan disini aja, sama angin malam aja gapapa."

Nabil tertawa, "Istri yang baik," katanya sambil mengacak pucuk kepala Nasha yang tertutupi kerudung. "Aku cuma tes kamu aja, lagian kasian udah dandan rapi gak aku kasih izin. Bisa-bisa kamu murung."

Nasha tersenyum bahagia. "Berarti aku boleh pergi?" Nabil menangguk.

"Oke, aku pergi ya. Assalamualaikum," Nasha mencium punggung tangan Nabil.

Baru beberapa langkah Nasha berhenti. "Mau ikut?" Nabil menggeleng. "Yakin?" Nasha berkali-kali bertanya.

"Masih nanya, izinnya aku cabut," ancam Nabil. Nasha bungkam segera dia berlalu.

Nabil tidak ingin terlalu melarang Nasha. Toh, selama ini dia tidak meninggalkan kewajibannya sebagai istri. Lagi pula dunia Nasha tidak selalu dengan-nya. Sebelum bertemu dengan-nya juga Nasha bersama teman-temannya.


"Eh, teh Nanas," sapa salah satu pegawai Alan.

"Mereka mana?"

"Tadi kang Arsa bilang gini, Dit, kalo ada Nasha suruh tunggu. Bilang sama dia yang anteng. Aku mau pergi beli pizza. Gitu katanya."

Nasha hanya ber-oh ria. Dia berlalu dan memasuki ruangan Arsalan. Arsalan itu meski tampilannya kacau, celana jenas yang robek di bagian lutut, kaos polos yang selalu berpasangan dengan kemeja belel-nya sudah jadi ciri khas Arsalan dalam berpakaian. Dia hanya tampil rapi dalam beberapa moment tertentu. Tapi soal ruang kerja. Pria itu tampak rapi. Semua barang tersusun rapi, bersih dan wangi. Kesan memasuki ruangannya.

Nasha duduk di sebuah sofa, dia membuka lembaran majalah yang tersusun di atas meja.

Ceklek, suara pintu kamar mandi terbuka. Membuat Nasha terperanjat kaget. Masalahnya, yang ia tahu. Ruangan ini kosong sebelumnya.

Hal yang Nasha lihat pertama kali adalah kaki yang mengenakan sepatu vans full black. Perlahan Nasha mengangkat wajahnya. Matanya seketika membulat melihat sosok yang berdiri dihadapannya.

My Love is on PaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang