Part 24 - Makhluk tidak peka

22.1K 1K 11
                                    

Bagaimana aku dapat paham isi hatimu. Sedangkan kau selalu menyembunyiakan-nya.

°••°

Nasha sudah bersiap pulang ke apartemen setelah makan malam. Tidak ada wajah masam lagi, perhatian Nabil tadi membuat amarahnya hilang seketika.

Nidha menatap Nasha tanda tanya. Adik bungsunya itu sangat pandai menyembunyikan sesuatu, terutama masalah hatinya. Tapi Nidha tidak ingin ikut campur, dia percaya adiknya sudah dewasa, bisa menghadapi masalahnya sendiri.

Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Tertera jelas di layar ponsel Nasha. Ketika melewati jajaran pedagang kaki lima Nasha berujar bahwa dia lapar.

"Bukannya tadi udah makan," kata Nabil.

Nasha mengerucutnya mulutnya. Nabil selalu bilang, makanan itu harus higienis, biar sehat sama tubuhnya juga bagus. Jangan asal nanti sakit baru tau. Pria ini sangat pemilih. Toh bukan berarti semua makanan pinggir jalan tidak bersih. Nabil memarkirkan mobilnya. Mereka memasuki lift tanpa ada satu pun yang berbicara. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Nasha?" panggil Nabil yang selonjoran di atas sofa. Nasha hanya menolehkan pandangannya. "Kamu-- temenin saya ke acara besok," tutur Nabil. Nasha hanya bergumam dan segera melangkah pergi.

Merasakan guyuran air membuat badannya seperti kembali terisi penuh oleh energi. Nasha melihat kakinya yang memakai plester anti air. Nasha menarik sudut bibirnya, mengingat bagaimana Nabil mengobatinya tadi.

Nasha keluar kamar mandi mengenakan piama panjang, langkahnya berhenti tiba-tiba ketika melihat Nabil yang hendak membuka kemejanya.

"Ma--maaf," Nasha gugup. Nabil hanya melihat Nasha sekilas yang menghilang di balik pintu.

Asap mengepul ke udara begitu Nasha membuka tutup panci kecil. Nasha sedang memasak mie, Nasha mencoba menghirup aroma dari masakannya itu.

Perut Nasha mudah sekali lapar. Ketika mie itu masak Nasha langsung membawanya ke meja makan. Menyediakan mangkuk kecil, sedikit mengaduk agar panasnya hilang.

Slurup,, suapan pertama masuk ke mulutnya. Nasha makan dengan lahap meski makan dengan suasana cukup gelap. Bagaimana tidak, hanya penerangan lampu dari ruangan televisi yang sedikit memberikan cahaya.

"Eh, mau gak? Enak lho," tawar Nasha yang melihat Nabil ada di hadapannya.

Nabil mengambil segelas air putih dan meminumnya sampai habis. "Malem-malem gini makan mie."

"Ih tapi enak. Cobain deh," Nabil menolak dengan senyuman.

Sebagai seorang pilot Nabil harus menjaga setiap asupan yang masuk ke tubuhnya. Karena kesehatan sangat penting untuk menunjang kinerjanya. Apalagi setiap enam bulan sekali Nabil rutin memeriksa kesehatannya. Makan teratur, istirahat teratur.

Pintu ke arah balkon terbuka membuat tirai menari-nari tersapu angin malam. Nabil merasa dingin berniat menutup pintu tapi ketika di lihatnya di balik itu ada Nasha tengah duduk dengan mengenakan bantal leher. Dia sedang menerima panggilan video dari Rasya.

Mereka asyik ngobrol bersama. Sudah lama keduanya tidak bertukar cerita. Biasanya setiap saat mereka bercerita tentang hari yang dilewati. Semenjak Nasha yang sudah berubah status dan Rasya yang melanjutkan pendidikan strata dua di luar negeri komunikasi keduanya tidak seperti dulu.

Rasya tiba-tiba saja berbicara dalam bahasa Jerman yang membuat Nasha menautkan kedua alisnya tidak mengerti. Panjang dan cepat. Kata-kata itu tidak mudah di pahami.

My Love is on PaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang