"Banyak orang yang mengatakan : mencintai wanita itu sangat menyiksa. Tapi, sebenarnya yang sangat menyiksa itu adalah mencintai orang yang tidak mencintaimu." (Imam syafi'i)
***
Nasha terdiam saat menyadari jaket Rasya tertinggal. Raut wajah Nabil sudah berubah tidak seramah tadi. Terkesan datar dan dingin. Tatapan tajamnya membuat bulu kuduk Nasha berdiri."Pulang sama Rasya?" tebak Nabil tepat sasaran. Nasha hanya menjawab ala Nissa Sabyan 'Hm'. "Berdua?" lagi-lagi jawaban Nasha sama.
"Kemana Maida sama Arsalan?"
Nasha masih tidak berani menatap Nabil. Jujur saja dia sanggup berdebat dengan siapa pun, tapi jika sudah di beri tatapan tajam seperti itu rasanya berbeda. Ayahnya pun sama, yang terkenal lurus dan disiplin jika marah tidak banyak bicara, dia hanya akan memberikan tatapan mematikan dan itu terbukti lebih ampuh di banding dengan ibunya yang jika marah mulutnya akan seperti knalpot racing.
"Aku juga enggak tau mereka kemana, di telepon enggak di jawab. Yaudah, pulang bareng Caca."
"Dan sampai rumah cuman berduaan?"
Nasha tidak langsung meng-iyakan dia berpikir sejenak. "Tapi enggak lama kok, Caca tau aku enggak nyaman kalo berdua di tempat sepi. Dia pergi ke luar."
"Sedekat apa sih kalian, sampai kayaknya paham satu sama lain. Aku aja yang suami kamu enggak tau semuanya," kata Nabil. Entahlah dalam hatinya ia merasa tidak tenang jika Rasya bersama Nasha.
"Kamu enggak pernah coba cari tau tentang aku," jawab Nasha sekakmat.
Nabil terdiam. Apa yang Nasha ucapkan barusan benar adanya. Selama ini dia tidak mencoba memahami Nasha lebih jauh lagi.
"Lagian aku sama Rasya cuman sahabatan. Kita tau batasan masing-masing,.. Meskipun aku tau sekarang dia punya perasaan lebih dari seorang sahabat. Tapi, itu enggak merubah persahabatan kita. Jadi kamu jangan salah paham dulu, jangan kamu pikir aku cewek kayak gitu. Aku sadar diri."
"Lho, kok, kamu yang ngegas."
"Kamu yang duluan," Nabil menarik nafas dalam-dalam. Disini dia mengalah, ia salah. Karena wanita selalu benar. Jika ia teruskan hanya akan memperpanjang masalah.
Mereka sempat terdiam setelah itu, keduanya duduk tegak layaknya sedang di wawancara. Mata mereka menatap layar televisi.Terdengar suara jam dinding seakan memenuhi pendengaran Nabil. Ia mematap Nasha.
"Udahan yuk, diem-diemannya?" bujuk Nabil.
Nasha masih bergeming, "Aku salah, secara enggak langsung aku nuduh kamu, maaf."
Nasha akhirnya menatap Nabil. Sementara itu, Nabil memasang senyumannya.
"Aku maafin, lain kali jangan gitu. Kamu juga mau aku tuduh kamu main-main sama temen-temen pramugari kamu?"
Nabil membulatkan matanya, "Enggak," ucapnya sambil menggelengkan kepala.
Baru Nabil akan kembali berbaring di pangkuan Nasha. Seseorang hadir menjadi pengganggu. Melalui interkom, Nasha dan Nabil melihat siapa yang datang.
"Ipin," ujar Nabil.
Nasha terkekeh, Nabil menyebut Maida dengan sebutan Ipin. "Mau ngajak main si Upin, itu," kata Nabil.
"Buka jangan?"
"Kalo aku bilang jangan juga, kamu pasti bakalan buka," sindir Nabil.
"Haha.. Yaudah aku buka iya," kata Nasha.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Love is on Paper
General FictionNasha yang terbiasa hidup bebas kesana kemari berkeliling Indonesia karena hobi jalan-jalannya ternyata diam-diam dijodohkan. Mengetahui hal itu jelas Nasha menolaknya toh dia belum tertarik dengan pernikahan, Nasha juga berpikir hal itu akan membat...