Khawatir akan yang terjadi di masa depan. Tapi aku percaya janji Tuhan tidak akan pernah inkar.
***
Betul saja semenjak pulang dari Maldives, Nabil jatuh sakit. Seharian ini dia menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Terbaring lemas dengan suhu badan yang tidak kunjung turun. Nabil hanya turun untuk melaksanakan sholat saja.
Jika kau tidak bisa melakukannya sambil berdiri, duduk. Jika tidak bisa, berbaring. Jika masih tidak bisa isyarat dan jika masih tidak bisa niat dari hati saja. Lalu baru jika semuanya tidak bisa saatnya kamu di sholatkan. Itulah yang guru ngaji Nabil katakan ketika menimba ilmu dulu. Betapa wajibnya sholat.
Dan sekarang ia masih mampu berdiri. Hanya saja diiringi rasa pusing. Nasha mengetuk pintu kamar Nabil. Nabil yang saat itu hanya memejamkan matanya mencoba membuka matanya.
"Makan yah Ta, aku buatin bubur mau?" tanya Nasha duduk di tepi ranjang. Nasha memeriksa suhu badan Nabil, masih sama.
"Biar kamu makan obat. Atau kita ke rumah sakit yah."
Nabil hanya menggeleng. "Aku udah masak sama Maida. Mau bubur?" tanya Nasha.
"Enggak bubur, nasi aja dikit. "
Nasha segera meninggalkan kamar. Dia kembali ke dapur, dilihatnya Maida tengah menggoreng ikan. "Serem ih Nas, minyak gorengnya centil." kata Maida sambil mundur menjauhi penggorengan.
Nasha mengukir senyum, "Sini sama aku." kata Nasha mengambil alih pekerjaan itu.
Tadi Nasha memang menyuruh Maida menggantikan tugasnya sebentar. Seperti ibu yang memerintah anak gadisnya belajar masak. Maida yang takut akan minyak goreng panas terus membuat keributan selama Nasha pergi.
"Itu si Artanabil ngamar mulu kayak gadis di pingit. Gak bosen apa?" tanya Maida lalu duduk di kursi bar memperhatikan Nasha memasak.
"Hus, dia lagi sakit Mai. Badannya panas, di bawa ke dokter gak mau."
"Terus kamu khawatir?" Nasha mengangguk. "Gila bener kamu. Udah kemarin digituin sama Nabil juga."
"Itukan akunya kebaperan aja." Maida berdecih.
Nasha hanya tersenyum, dia paham akan suasana hati Maida. Maida begitu menyayangi Nasha seperti dia menyayangi ibunya. Karena selama disini lah Nasha mengurus Maida dengan baik. Mulai memperhatikan makanannya, istirahat dan lain sebagainya. Bagi Maida Nasha itu paket komplit. Bisa jadi ibu, ayah, kakak, adik, sahabat, dan kadang musuh juga.
"Kamu makan duluan yah, aku mau kasih ini dulu ke Arta." kata Nasha sambil membawa nampan dengan makanan.
Maida cemberut, "Temenin aku makan dulu ngapa. Gak enak makan sendiri."
"Yaudah makannya nanti kalo aku udah beres,"
Nasha memberikan sepiring nasi dan sup. Nabil bangkit dari tidurnya, menyandarkan tubuhnya pada dashboard. Tangannya gemetar, "Aku suapin mau?" tawar Nasha.
Nabil bergeming. Nasha memberi sesuap nasi baru Nabil mengunyahnya pelan. Dia tersedak mungkin karena gugup.
"Udah Nas, pait." tolak Nabil.
"Masa baru beberapa suap juga."
"Enggak ah udah, gak ada rasa makan juga."
Nasha menarik nafas panjang. "Minum obat yah, biar demamnya turun." saran Nasha. "Besok aku buatin bubur ayam, dijamin enak. Sekarang istirahat aja, aku mau nemenin Maida di dapur. Katanya dia juga mau nginep," Nasha meninggalkan kamar menutup pintunya pelan kemudian menyandarkan tubuhnya di pintu kamar. Sepanjang menyuapi Nabil dia salting sendiri. Sementara itu Nabil di kamar pun tidak tidur. Dia terus merubah posisi tidurnya. Keringat dingin mulai bercucuran melalui pelipisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Love is on Paper
Fiction généraleNasha yang terbiasa hidup bebas kesana kemari berkeliling Indonesia karena hobi jalan-jalannya ternyata diam-diam dijodohkan. Mengetahui hal itu jelas Nasha menolaknya toh dia belum tertarik dengan pernikahan, Nasha juga berpikir hal itu akan membat...