Lebaran

2.1K 200 121
                                    

Mikasa dan Eren sudah tampak rapi. Rambut Eren sengaja ia hias dengan jambul. Biar tambah ganteng, katanya.

Dompet sudah ada di tangan. Celana sudah dilengkapi kantong di tiap sisinya. Baju mereka pun juga dilengkapi kantong tambahan dari kain perca yang dijahit oleh Mikasa.

Tanpa basa-basi lagi, mereka keluar rumah dengan percaya diri. Hendak berkeliling kampung, mengumpulkan THR.

Di pos kamling, tanpa diduga mereka bertemu dengan yang lainnya.

"Kenapa kalian di sini?" tanya Eren.

"Kami lagi diskusi mau ke rumah siapa dulu," jawab Petra. Ia menunjukkan sebuah kertas berisi daftar rumah-rumah holkay di kampung Shingeki.

"Ke rumah Christa dulu aja, gimana?" usul Ymir.

Sasha menyilangkan tangannya, berteriak keras, "Ga! Rumah dia itu jauh, ntar gue laper lagi!"

"Bener. Kita harus ke rumah holkay terdekat dulu. Usahain juga yang ngadain open house di rumahnya," usul Levi.

Open house adalah istilah yang digunakan orang-orang kampung Shingeki saat ada makan besar di rumah seseorang. Gratis, tentu saja.

Apalagi saat hari raya besar seperti ini. Tentu saja open house adalah yang paling ditunggu-tunggu kedua setelah THR, terutama bagi anak-anak kos dan ibu-ibu yang malas memasak.

"Pak Keith aja, gimana?"

"Ga! Pak Keith itu galak!" Jean menolak usul [Name].

"Tapi, bininya baik."

"Bini baik, kalau lakinya galak juga percuma, lo tetep diusir," sanggah Connie yang diikuti anggukan yang lain.

"Pak Pixis?"

Suara petikan jari terdengar. "Nah, Armin pinter. Kuy lah."

Tak membutuhkan waktu lama, gerombolan remaja tak modal itu telah tiba di kediaman Dot Pixis yang mewah.

Belum juga mengetuk, pintu emas megah itu terbuka terlebih dahulu.

"Eh, kalian. Sini masuk," sambut Pak Pixis. Pria paruh baya itu berjalan di depan, diikuti oleh mereka.

"Pak, Eren minta maaf, kalau ada salah, ya?" Eren mengulurkan kedua tangannya, hendak sungkem. Pak Pixis menjabat tangan Eren dan tersenyum.

Mikasa dan yang lainnya mengikuti apa yang Eren lakukan.

"Sini, makan bareng. Ada bakso, ketupat, opor, dan lain-lain. Ambil aja sesuka kalian."

Mereka mengikuti Pak Pixis duduk di ruang makan yang telah dipenuhi beragam makanan lezat.

Tanpa ragu, semuanya mengambil makanan sesuka hati. Mereka makan dengan lahap. Rakus emang.

"Pak Pixis ga mudik?" tanya Connie di sela-sela melahap makanannya.

Pak Pixis menggeleng lemah. "Mau mudik, tapi ke mana juga? Keluarga saya ini kan udah ga ada semua."

Connie menunduk, merasa bersalah.

Pak Pixis memang sejak berumur 30 tahun selalu sendiri. Istri dan anaknya meninggal saat istrinya melahirkan.

Meskipun begitu, Pak Pixis tetap tegar dan ikhlas menghadapi kenyataan. Ia selalu tersenyum, seolah-olah ia sudah melupakan kejadian itu. Padahal rentetan kejadian itu masih membekas di memorinya.

"P-Pak Pixis jangan sedih! Kan ada kami! Kami akan selalu ada untuk Bapak!" ucap Armin menyemangati Pak Pixis.

Semuanya mengangguk. [Name] tersenyum, "Kalau Bapak ga ada orang yang mau habisin makanan sebanyak ini, tinggal panggil saya aja, Pak. Pasti saya bantu!"

Attack on Line!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang