Dengan napas tersengal, gadis berambut pendek nampak terburu-buru menekan sandi unit apartemen. Lantas menjejalkan kaki secepat yang ia bisa, sebelumnya memastikan pintu kembali terkunci.
Hyungseob terengah. Keringat dipelipisnya tak ia hiraukan. Meletakan kantung belanja yang ada dalam genggaman, lantas cepat-cepat membuka kamar utama.
Woojin disana. Menggulung tubuh dalam selimut tebal dengan keringat sebesar biji jagung di dahi si pemuda Park. Hyungseob meletakan tangan didahi Woojin yang tersikap dari helai rambut.
"Demamnya masih tinggi--" Gumamnya.
Hyungseob menatap sedih. Jika sudah seperti ini, Woojin pasti memaksakan diri hingga berujung jatuh sakit akibat kurangnya istirahat. Ia tau sekali kebiasaan buruk teman kecilnya itu.
"Hei, Woojin-ah. Aku sudah datang"
Si surai merah membuka mata. Melirik ke sosok gadis perawakan mungil yang menatapinya penuh cemas.
"Sudah makan?"
Woojin menggeleng lemah. Rasanya sulit sekali membuka mulut atau sekedar berucap 'tidak'. Tenggorokannya sakit, walaupun bersuara Woojin yakin jika suaranya akan terdengar serak.
Hyungseob tersenyum kecil. Membelai rambut merah si pria dengan posisinya yang setengah duduk. "Aku akan siapkan makanan dan obatmu. Jangan tidur lagi, dan gantilah bajumu"
Woojin mengangguk kecil. Tubuhnya bagian atasnya terasa panas namun dingin disaat yang bersamaan di kedua tungkainya. Sejak semalam, lepas ia selesai bekerja Woojin sudah merasa jika tubuhnya mulai menujukan gejala tak baik. Hingga saat subuh tiba, ia didera demam tinggi dengan tubuh menggigil hebat. Woojin tak bisa berbuat banyak, jika bangkit untuk sekedar mengambil air sangat melelahkan. Kepalanya pening luar biasa, lemas, tenggorokannya sakit, dan demam yang bisa dikatakan tak menurun sejak subuh.
Woojin tak mungkin meminta ibunya ketempatnya. Jarak antara rumah dengan unit Woojin memakan waktu lebih kurang satu jam setengah. Tak ada yg bisa dihubungi untuk sekarang. Hyunmin tak menjawab panggilannya, begitu juga dengan Yukhei. Tak ada pilihan lain selain menghubungi si gadis bersurai hitam.
Dengan suara parau, sesekali terbatuk. Woojin menghubungi Hyungseob. Memintanya datang ke unitnya yang berjarak empat puluh lima menit dari tempat Hyungseob. Si gadis mungil tentu terdengar cemas bukan main. Hyungseob mengerti benar bagaimana jika Woojin jatuh sakit. Tanpa berpikir dua kali, Hyungseob melangkah lebar menuju tempat Woojin (dengan lokasi yang sebelumnya pria park itu berikan).
Hyungseob memanaskan bubur yang sebelumnya ia beli saat perjalanan menuju apartemen Woojin. Menyiapkan segelas air hangat untuk si pria dengan beberapa obat yang ikut andil disana.
"Hyungseob-ah"
Hyungseob cepat menoleh. Cukup terkejut karena Woojin sudah berada tak jauh dari tempatnya. Pria bersurai merah itu menuruti ucapan Hyungseob untuk mengganti bajunya yang basah karena keringat.
"Tunggu saja dikamar jika kau terlalu lemas untuk berjalan kesini"
Woojin menggeleng. Menarik kursi lantas duduk disana. Panas tubuhnya masih seperti subuh tadi namun peningnya berangsur mereda.
"Makan dengan perlahan, lalu minum obatmu"
Hyungseob tak tega melihat Woojin sebegitu pucatnya.
"Dan, jangan memaksakan diri terlalu keras. Tubuhmu butuh istirahat. Jangan lewatkan jam makanmu dengan alasan tugas. Jika sudah seperti ini kau juga yang akan susah"
Woojin terkekeh lirih. Hyungseob memang cerewet saat si gadis itu mendapati dirinya jatuh sakit, berbeda dari Hyungseob yang biasanya tenang.
"Maaf karena memintamu jauh-jauh kesini hanya untuk merawat orang sakit"
"Maka dari itu turuti ucapanku mengenai 'tidak memaksakan diri terlalu keras' tuan sempurna"
Woojin terkekeh lagi. Berniat meletakan sendok, menyudahi makannya. Sungguh, mulutnya terasa pahit saat mengunyah bubur jagung yang Hyungseob bawakan.
"Habiskan buburmu"
Woojin merengut. Lidahnya pahit dan tak bisa mengecap rasa apapun. "Sudah kenyang. Lidahku pahit, tidak enak"
"Itu karena kau sakit! cepat habiskan, setidaknya makanlah dua hingga tiga sendok lagi. Lalu minum obatmu"
Meski begitu, Woojin menurut. Kembali menyuap bubur tanpa rasa guna menambah energinya.
"Kau sangat cerewet"
"Ya, terimakasih pujiannya. Asal tau saja aku cerewet pun untukmu"
▪ still love you ▪
I’m waiting for you, my painful love
Hyungseob tersenyum tipis. Merapikan selimut yang menutupi tubuh tinggi Woojin hingga sebatas dada.
Seusai minum obat, pria Park itu kembali melanjutkan tidur. Demamnya berangsur menghilang, Hyungseob bersyukur untuk hal itu. Setidaknya ia bisa pergi dengan perasaan lega.
Matahari hampir terbenam, langit pun mulai menjingga. Hyungseob harus bergegas agar tak tertinggal bus. Sejenak mengelilingi kamar si pemilik, melihat beberapa pigura yang terpajang apik dimeja belajar juga beberapa ada polaroid yang ia tempel disekitaran jendela.
Hyungseob kembali menyunggingkan senyum. Diantara banyak potret, disana terdapat beberapa foto mereka berempat saat masih kecil. Dan beberapa diambil saat liburan bersama, lalu saat upacara kelulusan. Meski sebagian besar yang berada disana adalah potret kebersamaan Woojin dengan sang kakak; Jihoon, Hyungseob berusaha abai. Kembali mengingatkan diri jika, Jihoonlah kekasih si pria yang beberapa saat lalu merengek pusing padanya. Hyungseob hanya teman.
Senyumannya meluntur ketika selembar post it menempel kokoh dicermin seukuran tubuh didalam kamar si Park.
'melamar jihoonie setelah mendapat gelar sarjana! fighting^^'
"A-ah.. benar aku harus cepat pulang, sebelum. bus terakhir datang"
Meremat tali tas yang dipakai, tanpa ada niat melambatkan langkahnya menjauhi tempat tinggal Woojin.
Hyungseob sadar. Tak seharusnya ia kecewa. Ia cukup sadar untuk tau siapa dirinya disini. Siapa ia dalam kehidupan Park Woojin.
Tanpa berucap apapun, Hyungseob melangkah pergi tanpa ada niat untuk sekedar berpamitan kepada si pria bersurai merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still love you ;jinseob + deepwink ✔
FanficHyungseob hanya berharap, sedikitnya.. Woojin berbalik untuk menatapnya. (-) gs for bottom ©bibirsungwoon2018