Bagian Empat (1)

1.8K 196 24
                                    

Bagian Empat 

Ke Mana Kau akan Lari Ketika Takdir Selalu Membawamu Kepadaku, Lagi? (1)

Senin pagi itu, Rico dan Aya adalah yang pertama sampai di sekolah. Bagaimana tidak? Jam setengah enam Aya sudah ribut minta berangkat ke sekolah jika memang tantenya ingin mengantarnya. Dan itu, tentu karena Rico harus berangkat bersamanya.

Namun, saat mereka sudah tiba di sekolah, Aya bersikap seolah kejadian kemarin tidak pernah terjadi. Bahkan, cewek itu bersikap seolah mereka tidak saling kenal. Pun, saat dia akan keluar kelas untuk ke lapangan upacara bersama Isha, cewek itu bahkan tak menoleh sedikit pun saat melewati Rico. Tapi, meski Rico sudah menduga reaksi cewek itu, dia tak bisa melewatkan sebersit kekecewaan di dadanya karenanya.

Rico mendengus pelan, menertawakan pikirannya, membuat Benny bertanya,

"Kenapa, Ric?"

Rico menggeleng.

"Oh iya, itu tangannya kenapa, Ric? Tadi kamu belum jawab," kata Benny lagi seraya menunjuk lengan Rico yang diperban. "Kamu dikeroyok, ya?" Benny seketika tampak murka.

Rico menggeleng. "Jatuh dari motor kemaren," Rico berbohong.

Benny kontan tergelak mendengar itu. "Kok bisa? Pasti nggak liat jalan gara-gara liat cewek cantik, ya?" tuduhnya.

Rico hanya mengangguk, membuat teman-temannya yang lain tertawa. Setelah kelas itu kosong karena ada panggilan dari guru piket, barulah Rico dan teman-temannya beranjak ke lapangan upacara. Bukan apa-apa, mereka hanya ingin berada di barisan paling belakang. Barisan yang paling aman untuk mengobrol, dan juga paling teduh.

Rico menoleh ke barisan murid cewek kelasnya. Dia tak terkejut melihat Aya ada di baris ketiga dari depan. Tapi kemudian, tiba-tiba Isha menariknya pergi. Rico sempat mendengar Isha pamit pada guru piket, ke toilet. Saat mereka kembali beberapa saat kemudian, barisan di depan sudah penuh dan mereka harus berada di baris belakang, tepat di sebelah Rico.

"Ah, kamu sih, Sha, jadi kebagian barisan belakang, kan," protes Aya.

"Ih, di belakang enak gini, Ay. Teduh. Nggak panas," Isha membalas.

"Iya, tapi barisnya bareng-bareng ama guru piket, tuh. Nggak bisa main kertas gunting batu kan, kita," sungut Aya, membuat Rico nyaris tertawa.

"Oh, iya sih. Yah, bakalan bosen dong kita sejam berdiri di sini?" keluh Isha.

"Ck," decak Aya. "Tuh, manjat pohon di belakangmu aja biar nggak bosen," asalnya.

Rico tersenyum mendengarnya, sementara Isha sudah mendesis kesal.

"Kamu teh kenapa, Ric? Kok senyum-senyum sendiri?" Pertanyaan Benny membuat Rico segera melenyapkan senyum.

"Nggak pa-pa," balas Rico pelan.

"Keinget cewek cantik yang bikin kamu jatuh dari motor, ya?" goda Benny.

Rico hanya menganngguk, tak ingin Benny semakin membuat ribut. Tapi ternyata, anak itu masih melanjutkan dengan suara lebih keras kini,

"Cantik banget ya, Ric? Kamu biasanya nggak heboh liat cewek cantik. Yang ini ceweknya pasti cantik banget, ya?"

Rico melirik Aya ketika cewek itu menoleh ke arahnya karena keributan Benny.

Rico berdehem. "Iya, cantik. Udah ah, jangan tanya lagi," desis Rico.

Di sebelahnya, Benny malah tertawa. Ia lalu dengan bangganya mengumumkan pada teman-teman Rico yang lain,

"Si Bos kemaren jatuh dari motor gara-gara ngeliatin cewek cantik, oy!"

Sorakan ramai dari teman-temannya kemudian menarik perhatian tidak hanya Aya, tapi juga murid-murid lainnya. Keributan itu baru berakhir ketika seorang guru piket menendang pantat teman-teman Rico di barisan paling belakang. Sementara Benny mendapat pukulan di belakang kepalanya. Rico hampir saja mendapatkan pukulan di kepalanya ketika terdengar seruan dari barisan cewek,

"Jangan, Pak!"

Kini semua perhatian teralih pada Aya, si murid teladan kesayangan guru.

Aya berdehem, matanya menyorot panik kini.

"Itu ... tadi saya liat Rico abis kepleset di kelas. Kepalanya kebentur meja, Pak. Ntar kalo dipukul trus dia gegar otak gimana, Pak?" oceh cewek itu.

Rico mengangkat alis. Apa dia sedang bercanda?

"Bener, Rico?" guru piketnya bertanya.

Rico berdehem. "Itu ... iya, Pak," akhirnya dia mengakui, meskipun itu memalukan.

Di sebelahnya, Benny terbahak. "Kemaren jatuh dari motor gara-gara cewek cantik. Hari ini kepala kebentur meja, jangan-jangan gara-gara Neng Aya, ya?"

Rico menginjak kaki Benny, memaksanya diam.

Untunglah guru piketnya percaya pada Aya dan bertanya, "Kepalamu gimana, Rico? Sakit? Pusing? Kamu mau di UKS saja?"

Rico kontan menggeleng, tapi Aya sudah menyahut keras, "Iya, Pak!"

Semua mata kembali menatapnya.

"Ntar kalo dia pingsan di sini bisa repot. Suruh ke UKS aja, Pak. Lagian, dia kalo upacara suka bikin ribut, Pak. Kalo dia nggak ada kan, ntar temen-temannya nggak ada yang ribut juga," cewek itu beralasan.

Rico mendengus tak percaya.

"Neng Aya mah pitnah melulu, ih," Benny berkata, sok kecewa.

Tentu saja, Aya tak peduli.

"Ya sudah. Rico, kamu istirahat di UKS saja, biar petugas UKS-nya meriksa kepalamu juga. Aya, kamu antarkan Rico ke UKS, ya?!" perintah si guru piket.

Aya sudah akan protes, tapi gurunya sudah pergi. Cewek itu sekarang menatap Rico dengan tatapan menyalahkan.

Well, bukannya tadi dia yang membuat ribut?

"Wah, Bos, yang nganter si Eneng, tuh. Ntar di UKS jangan diapa-apain ya, Bos. Ntar kalo dia kenapa-napa, kita lawanya guru-guru, Bos," Benny iseng berkata.

Rico tak menanggapi, sementara Aya sudah melotot kesal ke arah anak itu.

"Neng Aya juga jangan galak-galak, ya? Ini nih, tangan si Bos sakit beneran," ujar Benny seraya mengangkat tangan Rico yang diperban. Lalu tiba-tiba, Benny menepuk lengannya yang terluka dengan cukup keras, membuat Rico mendesis kesakitan. Namun, yang lebih mengejutkannya, Aya kemudian ganti memukul tangan Benny dan mendorongnya menjauh, sebelum dia menarik Rico ke arahnya.

"Udah tau sakit, malah dipukul. Lo pengen dibikin sakit kayak gini juga?" Aya bahkan mengancam Benny.

Rico tak dapat menahan senyum saat Benny meringis mengangkat tangan, menyerah. Anak itu sebenarnya paling takut pada Aya, karena Aya adalah murid kesayangan guru, dan karena cewek itu galaknya minta ampun. Jika tidak ada Rico, dia pasti tidak akan berani menggoda cewek itu.

Saat Aya menarik Rico meninggalkan lapangan upacara, membawanya ke UKS, Rico hanya menurut, dengan tatapan lekat pada cewek itu. Sepertinya, dia tidak benar-benar tidak mempedulikan Rico. Rico tersenyum memikirkan itu.

***    

Let Me Hold Your HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang