Bagian Satu - Semua Juga Tahu, Dia Selalu Membuat Masalah (2)

3.2K 247 55
                                    

Sepuluh menit sebelum bel istirahat pertama berbunyi, teman-teman sekelas Aya sudah kembali ke kelas, pengecualian untuk Rico. Dugaan Aya, dia pasti sudah di kantin belakang atau di koridor ke arah kantin utama. Aya tidak akan heran jika cowok itu sibuk menggoda murid-murid cewek yang lewat dan meminta pajak jalan pada murid-murid cowok kelas sepuluh yang masih polos.

"Kamu mah enak, Ay. Tau nggak, tadi kita di lapangan disuruh lari keliling lapangan dua kali. Satu kilo ada kali, tuh," rungut Isha, teman sebangku Aya, dengan logat Sunda yang kental.

"Ya, namanya juga olahraga. Kalo disuruh makan krupuk, namanya lomba tujuh belasan, kali," sahut Aya enteng. Isha mendesis kesal, sementara Dewi dan Irma sudah terkikik geli di bangku belakang.

"Eh, eh, itu anak cowok! Erja, Erja!" Suara nyaring nan cempreng Fina menggelegar di dalam kelas. "Erja jagain pintunya yang bener, atuh! Tuh pada ngintip tuh, anak cowoknya!"

"Ye, ini juga udah bener, Pina," sungut Erja yang memang bukan satu-satunya orang di kelas yang menyebut F dengan P. "Kamu mah, ngomong aja. Coba sini, ganti kamu yang jaga."

"Gua kan, masih mau ganti baju, ih!" balas Fina kesal. Di kelas ini, ada beberapa anak yang menggunakan kata 'Gua' dan 'Elu', Fina salah satu di antaranya.

"Iya buruan, ih! Ngomel mulu. Udah untung ini teh, aku mau jagain." Erja masih kesal.

Pasalnya, Erja adalah satu-satunya murid cowok yang pro cewek. Yah, rada sedikit kecewekan gitu. Hati dan tingkahnya bisa gemulai banget macam cewek. Tapi dia sih, ngakunya masih cowok tulen. Bahkan, dia punya cewek yang dia taksir. Anak kelas sepuluh.

Begitu bel istirahat berbunyi, murid-murid cowok di luar kelas sudah mulai ribut ingin masuk ke kelas. Erja yang berjaga, akhirnya tak bisa lagi membendung anak-anak itu, membuat Fina seketika berteriak,

"Kok lu pada masuk, sih? Gua lagi ganti baju, nih!"

Padahal saat itu, Fina hanya tinggal memasang sabuk. Salah seorang murid cowok, Benny, salah satu pengikut setia Rico, berkomentar,

"Yang bisa diliat dari kamu teh apaan, Pin? Badan kerempeng gitu. Mending mah liat si Erja, masih ada isinya."

Menanggapi itu, seisi kelas riuh dengan tawa murid-murid cowok. Sementara, wajah Fina memerah malu dan Erja sudah menggurutu. Tapi, bukan Fina namanya jika tidak membalas. Aya yang sudah merasa cukup mendengar suara cempreng Fina bangkit dari duduknya.

"Aku ke kantin dulu, ya? Di belakang. Aku pesenin sekalian. Kamu mau apa?" tawarnya pada Isha yang masih melipat seragam olahraga.

"Oh, aku mah bakso aja, Ay. Ini udah mau selesai aku. Ntar aku terbang deh, nyusulin kamunya," sahut Isha.

Aya mendengus pelan. Dia tahu, Isha masih akan merapikan rambutnya. Mengingat, sisir yang tak pernah absen dari tas Isha. Tapi, Aya tak berkomentar dan meninggalkan kelas yang masih riuh dengan Fina dan Benny yang berdebat. Debat yang tidak penting.

Setelah memesan dua bakso dan dua es kelapa, Aya mengambil tempat di meja samping gerobak bakso Mang Udin. Meja itu adalah tempat strategis untuk mengamati Mang Udin, dan salah satu meja favorit Isha. Tak lama kemudian, Isha yang muncul dengan rambut sudah rapi bak iklan sampo, melambaikan tangan pada Aya dan berseru,

"Ay!"

Aya membalas lambaian tangan Isha yang sudah tersenyum lebar menghampirinya.

Tuh anak emang paling semangat kalo makan bakso di sini, batin Aya geli. Di mata Isha, Mang Udin itu ganteng, pakai banget. Makanya, dia hobi banget makan di sini.

"Mesra banget manggilnya, Ayang-Ayangan gitu di sekolah, bikin cemburu aja," komentar keras itu datang dari meja di pojok kantin. Aya bahkan tak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik suara itu.

Isha sendiri melirik kesal ke arah Rico, sebelum berkata pada Aya, "Ih, si Rico tuh, resek banget. Bikin malu aja, ih!"

"Cuekin aja. Anak nggak jelas gitu." Aya menenangkan Isha. "Tuh, Mang Udin dateng, tuh, bawa pesenan kita."

Mendengar nama Mang Udin, ekspresi keruh Isha langsung kembali cerah. "Mang, ntar pulang sekolah sisain dong baksonya," pinta Isha.

"Emangnya, nanti ekskul narinya latihan, Neng?" Mang Udin bertanya.

"Kok nari, sih? Cheerleader, Mang. Cheerleader," Isha meralat.

"Oh... cirlider?" Mang Udin menirukan dengan pengucapan seadanya, membuat Aya menahan tawa, sementara Isha hanya meringis pasrah. "Iya, nanti Mang Udin simpenin buat Neng Isha. Neng Aya juga ada ekskul nanti?"

Aya menggeleng. "Tapi, paling ntar juga nemenin Isha makan dulu, baru pulang, Mang. Dua porsi berarti, ya?" pesannya.

Mang Udin mengangkat jempolnya dan berkata, "Sip, Neng!" sebelum berbalik dan bergegas kembali ke gerobaknya untuk melayani murid-murid lain yang juga sudah kelaparan dan sebagian besar juga memang nge-fans sama Mang Udin.

"Ih, Mang Udin mah, suka nggak sadar pesona," gerutu Isha. "Tuh, tuh, senyum-senyum gitu ke anak-anak lain. Ck. Semua cowok tuh playboy, emang."

Mendengar itu, Aya menyembur tertawa. "Sha, please, deh. Kamu nggak ada niat buat nembak Mang Udin, kan? Lagian, dia kan lagi jualan. Kalo nggak ramah, mana ada yang mau beli? Kalo yang jual kayak kamu begini, ngamuk mulu, jelas baksonya nggak bakal laku."

Isha mendesis kesal ke arah Aya. "Masih mending Mang Udin ya, dibandingin cowok satu kota halaman kamu itu." Isha mengganti kata kampung halaman menjadi kota halaman untuk menyebutkan kota asal Aya, Jakarta.

Aya mengangkat alis. "Jakarta luas, lho. Dia mungkin di ujung lain tempatku."

"Tapi kan, masih sama-sama Jakarta. Sama-sama dari Jakarta." Isha tak mau kalah.

Tak ingin membuat suasana hati Isha lebih buruk lagi, mengingat Isha pasti sudah lelah karena olahraga, dan mungkin sudah kelaparan tingkat akut, Aya hanya membalas dengan mengangguk-anggukan kepala. Hanya dengan begitu dia bisa makan dengan tenang tanpa Isha mengungkit-ungkit tentang dirinya dan Rico yang memang sama-sama berasal dari Jakarta, meski itu tidak berarti apa-apa.

***

Let Me Hold Your HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang